Reforma Agraria Bakal Makin Sulit?

4 weeks ago 42
  • Konflik agraria terus terjadi bahkan meningkat pada era Joko Widodo. Berbagai kalangan pun menilai, kondisi   tidak akan berbeda di era Pemerintahan Presiden Prabowo.
  • Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) mencatat, terjadi  kenaikan 21% konflik agraria pada  2024 dari sebelumnya. Dari  241 kejadian pada  2023, menjadi 295 kasus tahun lalu. Konflik ini terjadi di atas tanah seluas 1.113.577,47 hektar dan berdampak pada 67.435 keluarga di 349 desa. 
  • Kebijakan kontroversial  sebelumnya membuat peluang reforma agraria di rezim Prabowo makin sulit.  Menurut Dewi Kartika, Sekjen KPA, reforma agraria bukan menjadi misi utama Prabowo.
  • Eko Cahyono, Peneliti dari Sajogyo Institute, mengatakan,  nasib reforma agraria pada  rezim ini  tak akan berbeda jauh dengan sebelumnya. Laporan KPA,  menjadi peringatan sulitnya mewujudkan reforma agraria.

Konflik agraria terus terjadi bahkan meningkat pada era Joko Widodo. Berbagai kalangan pun menilai, kondisi ini tidak akan berbeda di era Pemerintahan Presiden Prabowo. Pelaksanaan reforma agraria bakal makin sulit. 

Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) mencatat, terjadi kenaikan 21% konflik agraria pada 2024 dibanding sebelumnya. Dari 241 kejadian pada 2023, menjadi 295 kasus. Konflik ini terjadi di atas tanah seluas 1.113.577,47 hektar dan berdampak pada 67.435 keluarga di 349 desa. 

Analisis KPA, konflik agraria sepanjang 2024 merupakan konflik lawas yang meledak lagi lantaran tindakan sepihak pemerintah, badan usaha, baik swasta maupun milik negara, maupun  aparat keamanan. 

“Sebagian besar merupakan konflik yang  berlangsung sejak 10 tahun terakhir, atau kasus agraria baru yang terjadi di era pemerintahan Jokowi. Sisanya merupakan konflik-konflik agraria lama (latent, manifest) yang  berumur puluhan tahun, namun belum kunjung selesai ,” kata Dewi Kartika, Sekjen KPA, dalam peluncuran Catahu KPA 2024, di Jakarta, baru-baru ini.

Jokowi, katanya, memecahkan rekor sebagai presiden dengan letusan konflik agraria tertinggi sepanjang sejarah pemerintahan Indonesia. Sepanjang 2015-2024, sedikitnya ada 3.234 konflik dengan luas mencapai 7.422.838,47 hektar dan korban sebanyak 1.826.744 keluarga. Terdapat 2.841 kasus kriminalisasi, 1.054 kasus penganiayaan, 88 orang tertembak dan 79 tewas. Setiap tahun selalu terdapat korban tewas dalam penanganan konflik agraria. 

Dewi bilang, kebijakan-kebijakan yang lahir di rezim Jokowi juga melanggengkan konflik agraria. Misal, UU Cipta Kerja  yang diklaim menjadi terobosan dalam mengakselerasi proses pembangunan nasional, terlebih dengan memberikan kemudahan berusaha, berkembangnya investasi dan penyederhanaan hukum.

Alih-alih menyederhanakan, UU ini justru memperumit peraturan perundangan. Sejak disahkan, terdapat 1.114 peraturan turunan berupa UU, Perppu, PP dan Perpres. Sekitar  237 adalah peraturan yang mengatur agraria, termasuk perkebunan.

Menurut Dewi, UU Cipta Kerja malah memperumit peraturan perundangan. Misal, pasal 110 a dan 110 b yang mengatur tentang pemutihan perusahaan sawit yang membuka kebun secara ilegal di dalam kawasan hutan.

“Jadi, bukan lagi diambil alih oleh negara tapi justru diampuni hanya dengan sanksi administratif sehingga bisnis bisa tetap berjalan. Ini juga kontraproduktif terhadap upaya pemerintah untuk menyelesaikan konflik agraria atau mengakui masyarakat adat atas wilayahnya.”  

Menurut dia, UU Cipta Kerja juga memuat kebijakan-kebijakan kontroversial, seperti pembentukan Badan Bank Tanah, menghidupan kembali asas domein verklaring melalui kebijakan hak pengelolaan (HPL), dan kebijakan layaknya sistem cultuur stelsel atau tanam paksa melalui  pengembangan pangan skala besar (food estate).

Selain itu, Jokowi juga kembali mengesahkan UU yang memungkinkan pemberian HGU dan HGB dalam dua siklus sekaligus. Akibatnya, kata Dewi, para investor di Ibu Kota Negara Nusantara (IKN) dapat mengantongi konsesi kelas premium berupa 190 tahun HGU dan 160 tahun HGB. 

Dua hari sebelum pelantikan Prabowo, Jokowi pun masih menerbitkan kebijakan kontroversial lain dengan menandatangani Perpres 131/2024 tentang Badan Otorita Pengelola Kawasan Food Estate Sumatera Utara.

“Situasi kelam di atas seturut dengan perkembangan pelaksanaan reforma agraria. Dalam catatan KPA, Joko Widodo hanya mampu menertibkan tanah terlantar dari bekas HGU dan HGB seluas 77.000 hektar. Artinya, hanya 1% dari 7,24 juta hektar potensi tanah terlantar yang diklaim sendiri oleh pemerintah,” ucap Dewi.

Letusan konflik agraria di periode kedua Jokowi. Sumber: KPA

Bagaimana era Prabowo?

Kebijakan kontroversial Jokowi ini membuat peluang reforma agraria di era Prabowo makin sulit. Menurut Dewi, reforma agraria bukan menjadi misi utama Prabowo.

Dalam Asta Cita yang menjadi janji politiknya, Prabowo tidak menjelaskan reforma agraria secara eksplisit. Poin kedua dalam Asta Cita  soal agraria pun sumir. 

“Dari sisi target belum terlalu jelas,” kata Dewi. 

Menurut dia, poin kedua Asta Cita justru tak sejalan dengan reforma agraria. Swasembada pangan yang muncul dengan food estate kerap menghilangkan ruang hidup masyarakat, seperti proyek perkebunan tebu dan bioetanol seluas 2 juta hektar di Merauke, Papua Selatan, serta lokasi ketahanan pangan lain.

“Model-model pembangunan untuk mencapai swasembada pangan ini ke sistem pertanian monokultur atau food estate yang berbasiskan korporasi bersifat menggantikan posisi petani nelayan sebagai produsen pangan digantikan oleh korporasi-korporasi pangan,” katanya.

Model ketahanan pangan ini sebenarnya berjalan mulai dari era Presiden Soeharto, Susolo Bambang Yudhoyono, hingga Jokowi. Semua berujung pada kegagalan. 

Dewi bilang, pemerintah menghamburkan uang. Anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) 2024, yang teralokasi  untuk  pangan mencapai Rp114,3 triliun atau naik Rp13,4 triliun dibanding tahun sebelumnya. Tahun 2025, pemerintah  mengalokasikan anggaran food estate  Rp124,4 triliun.

Proyek-proyek ini hanya untuk memberi ‘makan’ investor dan mengorbankan rakyat. Dalam konteks swasembada pangan, tanah-tanah subur justru dalam kuasa korporasi.

Industri sawit, kebun kayu, hingga tambang menguasai 61 juta hektar tanah. “Sangat timpang dengan yang dikuasai petani kita yang rata-rata gurem,” katanya.

Dalam 100 hari pertama Prabowo-Gibran pun masih banyak konflik agraria. Catatan KPA, sedikitnya terjadi 63 letusan konflik agraria dengan luas 66.082,19 hektar dan korban terdampak sebanyak 10.075 keluarga.  

Konflik karena kebijakan era Jokowi. Namun, Prabowo bisa menghindari jika mengeluarkan instruksi kepada para pihak, terutama pemerintah, aparat keamanan, perusahaan, atau badan- badan otorita untuk menahan diri dan menjaga kondusi  lapangan.

“Itu tidak terjadi jika melihat dinamika selama 100 hari pertama ini. KPA juga menemukan, beberapa konflik  selama 100 hari pertama Prabowo banyak dipicu  program-program prioriritasnya sendiri, salah satunya terkait  swasembada pangan.”  

 Themmy Doaly/ Mongabay IndonesiaAksi petani tuntut cabut UU Cipta Kerja di Jakarta, Juli lalu. Foto: Themmy Doaly/ Mongabay Indonesia

Tak jauh beda

Eko Cahyono, Peneliti dari Sajogyo Institute, mengatakan, nasib reforma agraria di rezim Prabowo tak akan berbeda jauh dengan Jokowi. Laporan KPA,  menjadi peringatan sulitnya mewujudkan reforma agraria karena bertolak belakang dengan kebijakan Prabowo.

“Jadi saya sampai pada kesimpulan, kita akan surplus pembangunan tapi minus kebahagiaan,” katanya  kepada Mongabay.

dia bilang, perbedaan kedua rezim terletak pada prioritas masing-masing. Jokowi lebih fokus pada pembangunan infrastruktur, sedangkan Prabowo pada hal seperti aset, energi dan pangan. 

Tujuannya,  untuk meningkatkan  produk domestik bruto (PDB) yang akan merangsang pertumbuhan ekonomi.

“Indeksnya kan rasio, yang basisnya makro ekonomi. Jadi, seluruh upaya ini untuk memberikan karpet merah pada investor skala besar, itu akan diupayakan bahkan bisa mengabaikan dimensi sosial dan ekologis.” 

Eko bilang kedua rezim juga meletakkan alam dan isinya sebagai  barang dagangan. Hal ini tercermin dalam kebijakan pemerintah yang memudahkan investor mendapatkan konsesi dan mengelola industri tanpa memandang dampak yang dialami masyarakat serta pelabelan proyek strategis nasional (PSN). 

Pemerintah juga melibatkan aparat untuk mengawal proyek, seperti food estate melibatkan  Tentara Nasional Indonesia (TNI).

“Watak komodifikasi ini yang masih akan berlanjut karena paradigma pembangunan masih tumbuh mengejar standar itu, standar pertumbuhan tapi minus pemerataan. Kan, sudah terjadi, pulau-pulau kecil diprivatisasi, laut juga sudah dibikin HGB dan SHM, seperti di pesisir Tangerang ” kata Eko.

Data Komnas HAM  menunjukkan, sektor perkebunan, pertambangan, tanaman industri, infrastruktur menjadi penyebab konflik agraria. Hal ini diperparah dengan pelabelan PSN. 

Pelabelan ini membuat setiap proyek mendapat kemudahan dan fasilitasi  khusus. PSN pun menyebabkan berbagai pelanggaran HAM, baik hak-hak sipil dan politik, hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya, maupun hak kolektif serta  kelompok rentan.

“Ketika disebut objek vital negara atau proyek strategis nasional, maka perusahaan boleh minta TNI Polri untuk membantu mengamankan proyek-proyek mereka. Kasus Rempang, misal, negosiasi Rempang itu menunjukkan hal itu juga pada setahun lalu,” katanya.

Keterlibatan TNI/Polri ini,  menurut Eko membuat potensi konflik meninggi.

“Terlebih sekarang , yang kita khawatir atas nama kebutuhan nasional atau agenda kebangsaan, itu boleh menggunakan kekuatan militer untuk membantunya.” 

Suraya Abdulwahab Afiff, Antropolog Universitas Indonesia, menyebut, Prabowo hanya melanjutkan kebijakan era Jokowi. Kondisi ini membuat penyelesaian konflik agraria tak jelas, karena masih terjadi tumpang tindih kepentingan dan ketimpangan akses.

“Tidak fokus bagaimana sebenarnya dijalankan. Sehingga kita bisa menduga kalau satu program tidak jelas, ya enggak akan ada target jelas. Kemarin saja pada masa Jokowi dengan target jelas, banyak masalah.”

Dia prediksi, nasib reforma agraria di era Prabowo akan sulit terwujud antara lain,  karena banyak kepentingan oligarki. 

Sekarang  pun menggembar-gemborkan program sertifikasi tanah melalui Percepatan Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap (PTSL) sebagai dalih reforma agraria, seperti  yang Jokowi lakukan. Padahal, katanya, itu kewajiban dasar presiden, seperti  dalam UU Nomor 5/1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA).

“Program sertifikasi tanah tidak akan memperbaiki ketimpangan dan kondisi agraria di Indonesia. Perampasan lahan, hilangnya ruang hidup masyarakat adat masih akan terjadi.”

******

Tiada demokrasi tanpa reforma agraria.Foto: Irfan Maulana/Mongabay Indonesia

*****

Konflik Agraria Tinggi, 5 Rekomendasi KPA pada Presiden Baru

Read Entire Article
Apa Kabar Berita | Local|