- Pernyataan kontroversial Presiden Prabowo soal sawit yang tidak menyebabkan deforestasi justru bisa memicu ekspansi sawit secara serampangan.
- Di Desa Kwala langkat, Kabupaten Langkat, Sumatera Utara (Sumut), warga menjadi saksi alih fungsi ekosistem mangrove yang selama ini jadi penyangga ekonomi dan ekologi mereka menjadi perkebunan sawit. Warga pun dikriminalisasi dan hidup dalam teror.
- Walhi Sumut juga mencatat sekitar 120 konflik agraria di provinsi ini melibatkan perkebunan sawit. Memicu perampasan tanah petani, deforestasi, pelanggaran HAM dan kemiskinan struktural.
- Di Kecamatan Jejangkit, Kabupaten Barito Kuala, Kalimantan Selatan (Kalsel). Warga sempat menjadi korban banjir tahun 2021 dan 2023 akibat aktivitas perkebunan sawit.
Pernyataan Presiden Prabowo terkait sawit yang tidak menyebabkan deforestasi berisiko memicu ekspansi sawit secara serampangan yang mengancam lingkungan dan masyarakat. Padahal, kondisi di lapangan banyak memperlihatkan praktik perkebunan sawit yang kerap menimbulkan masalah.
Di Desa Kwala langkat, Langkat, Sumatera Utara (Sumut), warga menjadi saksi alih fungsi ekosistem mangrove yang selama ini jadi penyangga ekonomi dan ekologi mereka, menjadi perkebunan sawit. Warga malah terjerat hukum dan hidup dalam teror.
Ilham Mahmudi, warga Desa Kwala Langkat mengatakan, mereka harus mengungsi ke hulu karena air laut makin masuk ke pemukiman sejak sawit datang. Warga jadi sulit mendapat ikan seperti dulu.
“Kita bahkan bisa mencari ikan hanya dari pekarangan rumah. Sekarang sudah ada perusak hutan,” katanya pada Mongabay.
Pria berusia 40 tahun itu bilang, ribuan hektar kawasan lindung berganti sawit. Desa pun jadi tidak aman untuk hidup dan mencari nafkah.
Kondisi serupa terjadi pada warga Desa Kwala Serapuh, di sebelah barat Kwala Langkat. Warga harus pergi jauh mencari ikan dan kepiting karena banyak sungai ditutup oleh aktivitas perkebunan sawit.
Sudarwati, masih ingat secara detail perbedaan kehidupan di desa sebelum dan sesudah perkebunan sawit datang. “Mata pencaharian tidak begitu mudah didapat. Dulu, bisa mencari ikan atau kepiting di pekarangan rumah. Sekarang harus jauh mencarinya,” katanya.
Ibu tiga anak itu bilang, perusahaan sawit masuk sejak 2.000-an. Sejak itu, akses jalan umum warga ditutup dan ada pagar bergembok.
Tidak sedikit warga Desa Kwala Serapuh memilih merantau. Yang bertahan, hidup menjadi kuli bangunan.
“Perkebunan datang dan hanya beberapa penduduk saja yang bekerja (di sana), sisanya ada ratusan lain yang merasakan dampaknya,” kata perempuan berusia 44 tahun itu.
Dia berharap, bisa mengembalikan kondisi ekosistem mangrove seperti dulu. Warga pun berinisiatif tanam mangrove demi menjaga desa aman dari bencana.
“Kami sering protes, tapi tidak berani ke pengusahanya langsung. Karena kami takut,” kata Sudarwati.
Rianda Purba, Direktur Eksekutif Walhi Sumut, menyebut, kondisi yang warga Desa Kwala Langkat dan Kwala Serapuh alami merupakan buah dari buruknya tata kelola sawit. Pelanggaran izin dan konflik agraria karena sawit menghadirkan dampak serius.
Sumut memiliki 176.000 ribu ekosistem mangrove. Sekitar 59.000 hektar sudah rusak.
“Langkat menjadi salah satu wilayah dengan kerusakan mangrove yang signifikan,” katanya.
Kerusakan mangrove karena sawit juga membuat penurunan jumlah nelayan. Catatan Walhi Sumut, dari 250.000 nelayan pada 2013, jadi 194.000 di 2016.
Walhi Sumut juga mencatat sekitar 120 konflik agraria di provinsi ini melibatkan perkebunan sawit. Ia memicu perampasan tanah petani, deforestasi, pelanggaran HAM dan kemiskinan struktural.
“Banyak lahan masyarakat tergusur, dan hutan dibabat untuk perkebunan swasta dan negara,” ucap Rianda.
Dengan begitu, ucapan presiden terkait sawit ini bisa memicu ekstensifikasi dan berbahaya bagi lingkungan dan sosial.
“Prabowo menyamakan fungsi hutan dengan kebun sawit dalam hal penyerapan karbon, tapi tidak memperhitungkan dampaknya,” kata Rianda.
Deforestasi karena kebun sawit, katanya, menyebabkan habitat satwa hilang, keanekaragaman hayati rusak, krisis air bersih dan krisis iklim. Perkebunan sawit hanya berorientasi pada keuntungan ketimbang pelestarian lingkungan.
“Sinyal kerusakan lingkungan makin kuat.”

Berhasil melawan
Kondisi serupa juga ditemukan di Kecamatan Jejangkit, Kabupaten Barito Kuala, Kalimantan Selatan (Kalsel). Warga sempat menjadi korban banjir tahun 2021 dan 2023 akibat aktivitas perkebunan sawit.
Rusbandi, warga setempat, masih ingat betul perjuangan mereka mendorong pemerintah merehabilitasi saluran irigasi dan sungai di Jejangkit. kalau tak ada normalisasi, maka kemungkinan besar Desa Jejangkit Pasar, akan terus jadi pelanggan banjir saat musim hujan tiba.
“Kami kebanjiran tahun 2021 dan 2023. Ketinggian air dari atas aspal bahkan sampai satu setengah meter lebih. Banjir itu terjadi hampir lima bulan waktu itu.”
Jejangkit berada di daerah rawa yang berkontur cekung. Bencana banjir, katanya, diperparah perkebunan sawit yang diduga membuang ribuan liter air dari kebun menggunakan pompa, hingga membuat sungai meluap.
“Air yang dibuang ke Jejangkit itukan disalurkan dengan menggunakan hampir ratusan pompa. Ya, kami kebanjiran jadinya di sini,” katanya.
Warga dan sejumlah aktivis lingkungan melakukan pengecekan langsung ke lokasi perusahaan perkebunan kelapa sawit. Dugaan itu pun terbukti.
Rahmadi, Ketua Ormas Tabuan, yang dibentuk untuk memperjuangkan keadilan korban banjir di Jejangkit, menyebut, 2.314 keluarga terdampak banjir pada 2023. Bencana ini tidak hanya merusak rumah warga, juga fasilitas umum, jembatan, hingga sekolah.
Masyarakat yang mayoritas petani pun harus gagal panen selama beberapa tahun, karena tak bisa tanami sawah mereka lagi. Padahal, Jejangkit satu dari 13 kecamatan penyumbang panen terbesar di Barito Kuala.
“Aduh! Kalo ingat saat-saat itu, warga mengungsi kesana-kemari. Yang bertahan ya harus membuat andang (panggung) di dalam rumah,” sebutnya. Momen yang paling dia ingat adalah saat hampir selusin mobil berangkat dari Jejangkit, membawa puluhan orang dalam perjalanan satu jam menuju Banjarmasin.
Raden Rafiq, Direktur Eksekutif Walhi Kalsel, mengatakan, kejadian di Jejangkit itu satu contoh dampak buruk perkebunan sawit. Industri ini, katanya, kerap menyebabkan kerusakan lingkungan, banjir, karhutla, sosial, ekonomi, hingga HAM.
“Sekarang saya tanya, di mana ada perusahaan perkebunan kelapa sawit yang tidak bermasalah dengan masyarakat?”
Dia bilang, perusahaan membuang air berlebih di kebun mereka saat musim hujan, dan menarik air dari sungai ke perkebunan ketika kemarau. Imbasnya, lagi-lagi dirasakan masyarakat sekitar.

Harusnya belajar
Kasus-kasus yang terjadi di beberapa daerah harusnya jadi pelajaran oleh Presiden Prabowo. Menurut Raden, tanaman sawit dan hutan hujan tropis memiliki perbedaan besar dalam menyerap air.
Sawit yang berjarak teratur tentu kurang efektif dibanding tanaman alami yang lebih beragam dalam satu hamparan hutan.
“Sawit rakus mengkonsumsi air, ia tidak menampungnya. Sawit melepaskan banyak emisi ke atmosfer, yang berkontribusi pada krisis iklim, intensitas hujan tinggi, timbulah banjir. Ini berbeda dengan tanaman alam yang dapat menahan laju air dan menampungnya.”
Raden khawatir, ucapan kontroversial presiden ke-8 itu akan menghasilkan dampak lebih besar ketika jutaan hektar lahan dibuka lagi untuk sawit.
“Kalau untuk pribadi orang, jelas keuntungan. Kalau untuk kepentingan orang banyak, jelas banyak mudaratnya. Yang saya dengar di kita ini sudah ada sekitar 535 hektar luas perkebunan sawit, mau ditambah berapa banyak lagi.”
Janang Firman Palanungkai, Manajer Advokasi, Kampanye, dan Kajian Walhi Kalteng bilang, pernyataan Prabowo bentuk dukungan terhadap deforestasi.
“Sebagai pejabat publik dan kepala negara, seharusnya Prabowo lebih bijak dalam mengeluarkan pernyataan yang dapat memicu kontroversi,” katanya.
Lebih dari 2 juta hektar lahan Kalteng, sudah dalam kuasa perkebunan sawit. Sektor kehutanan dan pertambangan di provinsi ini turut memperparah bencana ekologis yang terjadi.

“Contohnya, sekarang ini beberapa kabupaten di Kalteng juga sedang mengalami kebanjiran bahkan masih terjadi hampir setiap tahun.”
Selain banjir, kebakaran hutan dan lahan maupun konflik sosial karena pembukaan lahan juga meningkat setiap tahun di Kalteng. Karena itu, katanya, peningkatan perkebunan sawit bisa memperburuk kondisi.
Prabowo, seharusnya belajar dari desakan Uni Eropa untuk menolak komoditas yang sebabkan deforestasi. Artinya, dunia sangat memerhatikan kondisi ini.
“Kami berharap Prabowo dapat mengevaluasi kembali pernyataannya dan mengambil tanggung jawab penuh atas dampak yang telah dihasilkan, mengingat Kalimantan Tengah saat ini menghadapi bencana ekologis yang makin serius.”
*****