- Konflik agraria puluhan tahun antara petani Padang Halaban dengan PT Sinar Mas Agro Resources and Technology (SMART), terus berlarut-larut. Bahkan, mereka was-was hingga kini meskipun tak ada penggusuran pada Kamis (6/3/25). Petani Padang Halaban dan berbagai pihak mendesak, pemerintah mengeluarkan tanah petani dari hak guna usaha (HGU) perusahaan.
- Muhammad Syafiq, Peneliti Agrarian Resource Center (ARC) Indonesia, mengatakan, petani memiliki hak atas tanah yang kini menjadi HGU grup Sinar Mas ini. Warga memegang surat kartu tanda pendaftaran pendudukan tanah (KRPPT) era Presiden Sukarno. Kala itu, ada dalam Undang-undang Darurat 1954 soal pemakaian tanah oleh rakyat.
- Dewi Kartika, Sekjen Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) menegaskan, petani Padang Halaban mempunyai hak atas tanah itu. Undang-undang Pokok Agraria (UUPA) menyatakan, setiap HGU dari penjarahan tanah-tanah rakyat pada masa kolonial, harus kembali kepada rakyat.
- Kementerian HAM meminta polisi menghindari tindakan kekerasan, termasuk tindakan intimidatif dan pengusiran paksa terhadap warga. Juga, mencegah dan menghindari potensi eskalasi konflik dengan cara mengedepankan perlindungan dan pemenuhan HAM.
Konflik lahan puluhan tahun antara petani Padang Halaban dengan PT Sinar Mas Agro Resources and Technology (SMART), terus berlarut-larut. Warga was-was hingga kini meskipun tak ada penggusuran pada Kamis (6/3/25)
“Apapun yang terjadi, akan tetap bertahan dan mempertahankan hak dari perusahaan. Warga bertahan di sana karena itulah satu-satunya lahan untuk kami bertahan hidup,” kata Misno, petani Padang Halaban, saat konferensi pers di Jakarta, Selasa (4/3/25).
Saat ini, pemerintah menggadang-gadang program pangan. Petani di Padang Halaban ini, katanya, jelas-jelas produsen pangan. Kalau tanah petani terampas, katanya, petani akan kehilangan tempat hidup sekaligus ruang produksi pangan mereka.
Dia sebutkan, konflik agraria yang menimpa petani Padang Halaban sangat panjang, mulai pada. zaman kolonial Belanda hingga kini.
Muhammad Syafiq, Peneliti Agrarian Resource Center (ARC) Indonesia, mengatakan, petani memiliki hak atas tanah yang kini menjadi HGU grup Sinar Mas ini.
Warga memegang surat kartu tanda pendaftaran pendudukan tanah (KRPPT) era Presiden Sukarno. Kala itu, ada dalam Undang-undang Darurat 1954 soal pemakaian tanah oleh rakyat.
“Artinya, itu bukti legal pemerintah mengakui keberadaan warga,” katanya kepada Mongabay, Kamis (27/2/25).
Syafiq meneliti konflik agraria Padang Halaban beberapa tahun ini, memegang berbagai dokumen mencatat sejarah penguasaan dan kepemilikan tanah oleh petani.
Pada 1940-an, perusahaan Belanda-Belgia SUMCAMA NV kala itu memiliki HGU, mengeluarkan sebagian lahan konsesi mereka untuk rakyat.
“Setiap kepala keluarga diperbolehkan menggarap lahan maksimal dua hektar,” ujar Syafiq.
Dewi Kartika, Sekjen Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) menegaskan, petani Padang Halaban mempunyai hak atas tanah itu. Undang-undang Pokok Agraria (UUPA) menyatakan, setiap HGU dari penjarahan tanah-tanah rakyat pada masa kolonial, harus kembali kepada rakyat.
Tanah seluas 83,5 hektar yang petani garap ini, merupakan objek reforma agraria. Jadi harus terdistribusi kepada rakyat karena konstitusi menjaminya. Rakyat berhak atas tanah.

Karena itu, kata Dewi, Badan Pertanahan Nasional (BPN) harus meninjau ulang pemberian HGU terhadap SMART. “Teman-teman Padang Halaban ini mengalami pelanggaran oleh banyak pihak.”
Penelusuran Mongabay, HGU SMART di atas lahan petani Padang Halaban ini sudah dua kali perpanjangan. Pertama, pada 1999 hingga Januari 2024, kedua, hingga 2084.
Dia mendesak, Kementerian Agraria Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) mengeluarkan surat keputusan enclave (mengeluarkan dari konsesi) tanah yang petani kuasai, kemudian jadi objek reforma agraria.
Sementara Aliansi Gerakan Reforma Agraria (AGRA), mengatakan, SMART berkewajiban mengeluarkan 20% dari luas HGU untuk perkebunan masyarakat atau petani lokal.
“Catatan kami, luas HGU-nya sekitar 5.600 hektar, sekitar 1.000 hektar harusnya dibebaskan ke masyarakat,” kata Saiful Wathoni, Sekjen AGRA, kepada Mongabay, Senin (3/2/25).
Ia sejalan dengan Peraturan Menteri ATR/BPN Nomor 18/2021 tentang Tata Cara Penetapan Hak Pengelolaan dan Hak Atas Tanah.
Menurut penelusuran Agrarian Resource Center (ARC) Indonesia, SMART tidak pernah menjalankan kewajiban pelepasan 20% lahan untuk petani plasma Suherman, petani Padang Halaban benarkan itu.
Selama Suherman bertani, SMART tidak pernah berikan petani plasma. Kakek 71 tahun ini bersama petani lain justru menduduki kembali lahan yang belakangan masuk HGU perusahaan, pada 2009.
Achmad Surambo, Direktur Sawit Watch, menilai, kasus Padang Halaban jangan anggap sebagai persoalan konflik agraria biasa. Petani Padang Halaban juga alami pelanggaran HAM masa lalu.
Rambo menuntut, negara turun tangan, bisa melalui Komnas HAM atau Komisi non-Yudisial untuk menangani kasus petani Padang Halaban ini.
telah mengajukan pertanyaan perihal pelepasan lahan buat petani, kepada SMART. Namun, Stephan Sinisuka, Kepala Komunikasi Korporasi SMART tak menanggapi substansi pertanyaan.
Dia hanya berujar, selama lebih dari 10 tahun, sistem peradilan Indonesia telah menyatakan bahwa klaim itu tidak berdasar.
“Meskipun demikian, perusahaan konsisten mencari solusi damai, meski sudah ada berbagai putusan dan peninjauan kembali dari pengadilan yang menyatakan bahwa klaim masyarakat tidak memiliki dasar.”

Tolak tawaran ganti rugi Rp5 juta
Sebelumnya, perusahaan meminta warga meninggalkan rumah dan lahan pertanian maupun kebun yang sudah menjadi tempat hidup warga puluhan tahun itu dengan menawarkan ganti rugi Rp5 juta per keluarga. Warga tegas menolak tawaran dari anak perusahaan Sinar Mas Group ini.
Tawaran itu muncul saat rapat koordinasi antara Kapolres Labuhanbatu Utara dengan perwakilan kelompok tani, 27 Februari lalu.
Misno, Ketua Kelompok Tani Padang Halaban, menengaskan, mereka menolak tawaran itu. Petani Padang Halaban, tak perlu uang tetapi lahan sebagai tempat dan sumber penghidupan.
“Warga kompak menolak! Buat apa sih? Itu kan kita di situ sejarah kita, sejarah sangat panjang mulai tahun 50-an sampai sekarang. Jadi, leluhur-leluhur kita dimakamkan di sini, kita juga lahirnya di situ,” kata Misno saat ditemui di Jakarta, Selasa (4/3/25).
Stephan Sinisuka, Kepala Komunikasi Korporat Sinar Mas Agribusiness and Food mengatakan—tawaran uang itu merupakan upaya penyelesaian konflik agraria antara petani dengan perusahaan.
Dia berdalih, SMART berkomitmen meminimalisir segala bentuk kendala dalam mengeksekusi lahan HGU sesuai putusan pengadilan. Namun, Stephan tidak merinci langkah apa saja yang diambil perusahaan.
“Untuk saat ini saya belum dapat memberikan detailnya,” katanya ketika Mongabay konfirmasi, Selasa (4/3/25).

Penggusuran = pelanggaran HAM
Komnas HAM mengingatkan risiko pelanggaran hak asasi manusia jika aparat tetap ngotot menggusur paksa petani Padang Halaban. Prabianto Mukti Wibowo, Komisioner Mediasi Komnas HAM, mengatakan, pemerintah dan aparat bertanggung jawab atas pelaksanaan hak asasi manusia.
“Berkewajiban menghormati, melindungi, dan memenuhi hak asasi manusia, termasuk juga hak atas tempat tinggal yang layak,” katanya kepada Mongabay, Senin lalu.
Menurut dia, Pasal 28D ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 mengamanatkan: perlindungan, pemajuan, penegakan dan pemenuhan hak asasi manusia adalah tanggung jawab negara, terutama pemerintah.
Korporasi juga memiliki tanggung jawab untuk menghormati HAM. Jadi, katanya, perusahaan tak boleh melakukan aktivitas mengganggu atau mengurangi penikmatan HAM yang diakui secara universal.
“Harus menghindari, mengurangi, mencegah, dan memulihkan dampak negatif dari operasional korporasi, terutama dalam kaitannya dengan hak atas tempat tinggal.”
Tanggung jawab korporasi dalam penghormatan HAM diatur dalam Prinsip-prinsip Panduan Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Bisnis dan HAM (the UN Guiding Principles on Business and Human Rights) 2011, selanjutnya teradopsi dalam Peraturan Presiden Nomor 60/2023 tentang Strategi Nasional Bisnis dan HAM.
Prabianto desak, SMART menghindari upaya penggusuran paksa terhadap petani Padang Halaban. Komnas HAM, meminta penyelesaian sengketa agraria Padang Halaban dengan proses transparan, adil, dan mengedepankan dialog semua pihak.
“Bukan dengan cara pemaksaan yang merugikan pihak yang lebih lemah (kelompok marjinal),” kata Prabianto.
Usman Hamid, Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, mengatakan, penggusuran merupakan pelanggaran berat HAM. Menurut PBB, penggusuran paksa tergolong sebagai gross violations of human rights atau pelanggaran hak asasi berat, dianggap kejahatan sangat serius.
“Hak untuk tidak digusur paksa itu adalah hak melekat, tidak boleh dikurangi dalam kondisi apapun. Karena dengan hak itulah mereka dapat menikmati tempat tinggal, menikmati air, dan segala keperluan hidup mereka secara layak,” kata Usman.
Dia mendesak, Polri untuk membatalkan eksekusi lahan pada 6 Maret. Aparat dan pemerintah wajib menjamin perlindungan kepada petani Padang Halaban dari segala penggusuran paksa.
Eksekusi lahan, kata Usman, hanya bisa terlaksana bila petani menyetujuinya secara sukarela tanpa paksaan.
Pada 27 Februari lalu, Direktorat Jenderal Pelayanan dan Kepatuhan Hak Asasi Manusia, Kementerian HAM menyurati Kapolres Labuhanbatu Utara untuk meminimalisir risiko pelanggaran HAM dalam proses penyelesaian konflik agraria di Padang Halaban.
Dalam surat itu, Kementerian HAM meminta polisi menghindari tindakan kekerasan, termasuk tindakan intimidatif dan pengusiran paksa terhadap warga. Juga, mencegah dan menghindari potensi eskalasi konflik dengan cara mengedepankan perlindungan dan pemenuhan HAM.
“Memperhatikan prinsip hak asasi manusia sebagaimana diatur Komite Hak Asasi Ekonomi, Sosial, dan Budaya dalam Komentar Umum Nomor 7 Tahun 1997 mengenai Pengusiran Paksa (Forced Eviction),. Begitu surat Kementerian HAM yang ditandatangani Osbin Samosir, Direktur Pelayanan Hak Asasi Manusia.

*****
Konflik Sinar Mas, Petani Padang Halaban Ngadu ke Komnas HAM