Nelayan Kecil Natuna di Tengah Himpitan Kapal Besar dan Asing

6 days ago 21
  • Perairan Natuna, Kepulauan Riau (Kepri) memiliki kekayaan ikan melimpah. Demi menjaga keberlanjutannya, nelayan tradisional tangkap ikan dengan cara-cara tradisional, misal, alat tangkap bagan gerak. Sayangnya, mereka harus bersaing  dengan kapal-kapal besar dan nelayan asing. 
  • Tantangan alat tangkap ini, tidak bisa beroperasi saat bulan terang, antara tanggal 13-17 pada sistem penanggalan Jawa. Sebabnya, sinar terang purnama mengalahkan cahaya lampu yang berfungsi menarik perhatian ikan.
  • Nelayan mengaku, pendapatan mereka terus menurun dari tahun ke tahun. Salah satu penyebabnya diduga keberadaan kapal asing di laut lepas. Kapal-kapal asing yang banyak berseliweran tidak hanya mengganggu jalur migrasi ikan, tapi juga masa depan nelatan lokal.
  • Hadi Suryanto, Kepala Dinas Perikanan Natuna mengatakan, sebut pada 2024, produksi perikanan tangkap capai 165.000 ton. Dari jumlah itu, produksi tangkapan kapal besar mendominasi. Hanya 50 ribu ton hasil tangkapan nelayan lokal.

Kapal-kapal bagan nelayan berjejer di Pelabuhan Sentra Kelautan dan Perikanan Terpadu Natuna (SKPT) Selat Lampa, Kabupaten Natuna, Kepulauan Riau (Kepri), awal Februari. Sejumlah nelayan tengah sibuk turunkan hasil tangkapan berseling canda dan tawa.

Ada ratusan kilogram ikan mereka keluarkan dari boks fiber di atas kapal, lalu bawa ke mobil pikap. Sebagian besar adalah jenis ikan selayang. “Akan dikirim ke pengepul di Ranai,” kata Asbi Solikin, tekong kapal di lokasi.  Ranai adalah pusat kota Natuna. Dari Selat Lampa menuju kesana, butuh waktu sekitar 2 jam.

Di Selat Lampa, rata-rata kapal bagan milik pengepul. Tekong, hanya mengoperasikan dengan dibantu Anak Buah Kapal (ABK). Hasil tangkapan, biasanya dibagi rata oleh mereka bertiga. 

Pagi itu Asbi memang baru kembali dari melaut. Dia berangkat sehari sebelumnya, kembali esok hari saat boks penuh ikan. “Memang begitu, nelayan bagan bekerja tergantung pendapatan, ketika hasilnya belum ada mereka akan bertahan di laut,” katanya. 

Dua hari ini, Asbi merasa beruntung. Hari pertama bisa mendapat 20 boks fiber ikan atau sekitar tiga ton. Esoknya, ada sekitar 500 kilogram. Rata-rata dalam sebulan melaut, Asbi bisa mndapat 10 ton ikan. 

Nelayan menjadi pekerjaan utama sebagian masyarakat di Natuna. Aktivitas melaut mereka lakoni dengan cara-cara tradisional dengan alat angkap sederhana, seperti bagan gerak, atau juga pancing ulur.

Asbi sudah melaut hampir 10 tahun dengan alat tangkap bagan gerak. Setiap hari dia  melaut dengan jarak lima mil. Hari itu, dia sengaja sandar di Selat Lampa karena lebih teduh, meskipun Natuna sedang  musim angin utara atau cuaca ekstrem. “Kalau musim angin utara selesai, baru kami pindah ke Ranai,” kata pria asli Pulau Midai, Natuna itu. Dalam satu bulan, Asbi  melaut sekitar 20 hari. 

Kapal bagan juga memiliki tantangan tersendiri, selain cuaca. Alat tangkap ini tidak bisa beroperasi saat bulan terang. Sebab, cahaya lampu untuk menarik ikan akan kalah dengan cahaya bulan yang terang. Praktis, nelayan bagan tidak akan melaut pada H-2 dan H+2 bulan purnama, atau tanggal 13-17 penanggalan Jawa. 

Nelayan, kata Asbi, akan kembali melaut saat sinar bulan mulai meredup,  setelah tanggal 17 dalam sistem penanggalan Jawa. Itu pun tidak semalam penuh karena bulan masih terlihat terang. “Baru ketika bulan tak muncul, nelayan bekerja dari sore hingga pagi hari. Dari jam 6.00 sore, sampai 5.00 pagi dengan kondisi lampu yang terus menyala semalaman.”

Nelayan memindahkan ikan selayang hasil tangkapan ke mobil pikap untuk dijual ke pengepul, Minggu (2/2/2025). Foto Yogi Eka Sahputra

Cara kerja

Kapal bagan gerak ini seperti kapal pada umumnya. Namun, di sebelah kiri dan kanan kapal terdapat kayu tempat jaring bergantung. Di kayu-kayu yang membentuk sayap itu juga nampak lampu berukuran besar tergantung. 

Lampu-lampu inilah yang berguna menarik ikan agar datang ke sekitar kapal. Sedangkan jaring kapal turunkan ketika lampu sudah hidup. Perlahan tapi pasti, ketika ikan sudah berkumpul, baru angkat jaring.

“Kalau radar GPS kita sudah menandakan ada ikannya, arusnya memungkinkan, kita turunkan jaring, kita mulai kerja,” katanya. Kapan jaring mereka turunkan dan kapan mereka angkat, itu sudah menjadi keahlian para tekong. 

Dalam satu perjalanan melaut, kata Asbi, kapal menghabiskan modal Rp1.2 juta. Biaya itu,  untuk BBM 800 liter, es batu, makan dan lain-lain. “Jadi, kalau dapat tiga fiber aja ikan itu sudah bisa untung.”

Selain ikan selayang, sekali waktu ia juga bisa mendapat ikan benggol, cumi, hingga tongkol. 

Menurut Asbi, pendapatan melaut ini sama dengan orang kantoran. Rata-rata dalam sebulan, upah ABK  Rp5 juta lebih. “Kalau kami ini kan melaut, target pendapatan harus disamakan orang kerja di kantor, kalau macam tukang bangunan Rp150.000 sehari, sebulan Rp3 juta, kita harus dapat sama juga, kalau kurang tekor,” katanya. 

Sebuah kapal Vietnam sedang mencuri ikan di perairan Laut Natuna Utara pada 13 Agustus 2024. Foto : Tangkapan Layar Video Aliansi Nelayan Natuna

Ikan sulit

Asbi bilang, dulu, sumber ikan melimpah di Natuna. Saking melimpahnya, dulu, nelayan bagan sempat tak boleh  beroperasi karena para pengepul kelebihan setok. 

Berbeda dengan sekarang. “Cari ikan sudah agak susah sekarang, kalau dulu masih dapat cari ikan itu, pas ia naik itu melimpah-limpah, kalau sekarang tak lagi, kadang ada dapat, kadang tidak. Dulu, sampai nelayan disuruh tidak turun, karena pembeku penuh, sekarang ikan saja tidak ada,” katanya. 

Menurut Asbi, ada banyak faktor jadi penyebabnya. Salah satunya, kehadiran kapal ikan asing (Vietnam) di  Perairan Natuna. Akibatnya, ikan-ikan yang seharusnya bermigrasi dari perairan lepas ke  pesisir malah kena tangkap nelayan asing. “Kalau ikan berkurang tidak mungkin, karena ini ciptaan, kecuali olahan pabrik,” selorohnya. 

Bisa juga,  katanya, ikan makin jauh di ke tengah laut sedangkan nelayan bagan hanya bekerja paling jauh 7 mill. “Mungkin juga persaingan kita dengan kapal purse seine, sistem tangkap mereka lebih canggih daripada kita.”  

Di pesisir Selat Lampa saja, katanya, terdapat sekitar 15 kapal bagan gerak belum lagi di pulau-pulau sekitar. Di tengah situasi itu, dia berharap,  harga jual ikan naik, dari Rp7.000 menjadi Rp10.000. 

Hadi Suryanto, Kepala Dinas Perikanan Kabupaten Natuna  mengatakan, bagan memang masih menjadi alat tangkap andalan nelayan di Natuna. Meski begitu, kontribusi dari alat tangkap ini tak signifikan, kalah jauh dengan hasil tangkapan kapal-kapal besar. 

Data Mongabay, secara umum, tren produksi perikanan tangkap di Natuna meningkat, sebagaimana Laporan Kinerja Instansi Pemerintah (LKIP) Dinas Perikanan. Pada 2023,  misal, capai 135.171 ton, meningkat tipis dari tahun 2022 dan 2021 yang masing-masing catatkan 134.874 ton dan 132.632 ton. 

Pada 2024, produksi perikanan tangkap melonjak jadi 156.000 ton. Angka itu,  lebih banyak dari kapal-kapal besar dengan  izin dari provinsi dan pusat. Sedangkan dari nelayan tradisional, hanya  40.000-50.000 ton. “Armadanya kecil-kecil, hingga kalah bersaing,” kata Hadi. 

******

KKP Kembali Tangkap 8 Kapal Ikan Asing Ilegal dari Vietnam dan Malaysia

Read Entire Article
Apa Kabar Berita | Local|