Nasib Warga Kala Tambang Nikel Kuasai Pulau Kabaena

3 weeks ago 39
  • Pulau-pulau kecil nan kaya sumber alam jadi sasaran tambamg, seperti di Kabaena, Sulawesi Tenggara (Sultra). Aktivitas penambangan nikel menyebabkan pencemaran laut, sedimentasi tinggi dan lain-lain.
  • Satya Bumi, organisasi lingkungan telah menguji sampel sedimen itu dan terbukti mengandung logam berat dalam kadar yang berbahaya. Konsentrasi nikel (Ni) menempati urutan tertinggi hingga 3,464 mg per liter.
  • Agung Wardana, pakar hukum lingkungan Universitas Gadjah Mada (UGM) mengatakan, langkah pemerintah membuka jalan tambang di pulau kecil sebagai penghormatan terhadap hukum.
  • Data Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) 2011 menunjukkan,  sekitar 28 pulau kecil di Indonesia tenggelam dan 24 terancam tenggelam. Aktivitas pertambangan akan memperparah situasi itu.

Puluhan orang, laki-laki dan perempuan di Pesisir Desa Baliara, Sikeli, Pulau Kabaena, Kabupaten Bombana, Sulawesi Tenggara (Sultra) sibuk memasukkan lumpur ke karung-karung putih. Anak-anak ikut membantu. Lumpur sedimen tambang nikel mengandung logam berat yang mereka pegang tanpa rasa khawatir. 

Ternyata, aksi warga ini berawal dari janji PT Timah Investasi Mineral (TIM) yang akan membeli material sisa limbah itu. Maklum, semenjak tambang itu beroperasi, penghasilan sebagai nelayan terus menurun karena laut sudah tercemar. “Kebetulan ini pembodohan,” kata Renaldi, pemuda setempat. 

Dia kebingungan kemana protes atas degradasi lingkungan yang jadi tempat tinggal warga Suku Bajo ini. TIM yang beroperasi di sekitar pemukiman tak memiliki kantor perwakilan di Kabaena. Padahal, gara-gara aktivitas tambang itu menyengsarakan penghidupan nelayan. “Tambang beroperasi sejak saya masih anak-anak.”

Mongabay melayangkan surel kepada TIM pada 14 Januari, untuk meminta tanggapan atas situasi itu. Hingga tulisan ini terbit, perusahaan tidak merespons. Begitu juga dengan Nur Alaina Samad, Kepala Bidang Perekonomian, Sumber Daya Alam, Infrastruktur dan Kewilayahan, Bappeda Bombana.

Pada tahun 2024, Satya Bumi, organisasi yang fokus isu lingkungan selidiki dampak lingkungan dari penambangan nikel di Kabaena. Dalam laporannya itu, Satya Bhumi menyebut, tambang nikel sejak 2009 itu cemari pesisir dan laut Kabaena. 

Di Desa Baliara, limbah bijih nikel masuk ke laut melalui sungai dan mengendap, membentuk sedimen setinggi lutut orang dewasa. Laut Baliara yang semula biru kini berkelir orangye. 

Satya Bumi sampel menguji sedimen itu dan terbukti mengandung logam berat dalam kadar yang berbahaya. Konsentrasi nikel (Ni) menempati urutan tertinggi hingga 3,464 mg per liter. “Ribuan kali lipat dari batas yang seharusnya boleh untuk biota laut,” kata Dhany Alfalah, peneliti Satya Bumi. Paparan logam berat ini yang menyebabkan kematian kehidupan laut, termasuk kerang.

Temuan lain Satya Bumi, kesehatan warga menurun yang diduga terpapar polusi tambang. Mereka alami gatal-gatal. Terlebih lagi, ada tiga kasus anak tenggelam di perairan berlumpur itu. Satya Bumi juga bersurat ke TIM, namun juga tak berbalas.

Warga Desa Baliara, Pulau Kabena, Sulawesi Tenggara (Sultra) mengumpulkan sedimen lumpur dari sisa tambang. Foto: Dokumen warga.

Dalam kekuasaan pertambangan 

Tambang di Kabaena, memunculkan pertanyaan banyak pihak. Sebab, praktik ini bertentangan dengan UU 27/2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (UU PWP3K), UU Nomor 1/2014. Aturan ini tak membolehkan ada aktivitas penambangan di pulau dengan luas dibawah 2000 km². Sedang Kabaena, luasnya hanya 837 km² dipenuhi dengan tambang nikel seluas 655 km² dengan 15 konsesi. 

“Itu berarti dari luas wilayah, 75% masuk konsesi tambang,” kata Dhany.

Dari 15 pemegang konsesi, hanya tiga perusahaan yang tidak berada di kawasan hutan. Konsesi belasan perusahaan lainnya tumpang tindih dengan hutan, baik hutan lindung, produksi maupun hutan produksi terbatas (HPT). 

Agung Wardana, pakar hukum lingkungan Universitas Gadjah Mada (UGM mengatakan, langkah pemerintah tetap membuka jalan penambangan di pulau kecil sebagai penghinaan terhadap hukum. “UU jelas melarang penambangan di pulau-pulau kecil, nyatanya terus mendapat izin.”

Selain Kabaena, tambang di Pulau Wawonii , oleh PT Gema Kreasi Perdana (GKP), anak perusahaan Harita Group adalah potret bagaimana UU perlindungan pulau kecil terabaikan. Bahkan, ketika dikeluarkan izin itu, aktivitas penambangan oleh perusahaan berjalan seperti biasa. 

Wardana khawatir, tindakan negara yang mengabaikan perlindungan pulau kecil akan memicu kerusakan di pulau-pulau lain. Situasi itu, dia yakini akan memperparah dampak perubahan iklim yang terjadi saat ini. 

visualisasi grafik

UU Khianati

Analisis Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) dalam laporan berjudul Nestapa pulau kecil di Indonesia: alam dijarah, penduduknya dimiskinkan, dan dikriminalisasi menyebut ‘Eksploitasi pulau-pulau kecil oleh pertambangan memperparah kemungkinan alami yang dihadapi masyarakat pesisir, semisal krisis iklim dan bencana alam.

Data Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) 2011 menunjukkan,  sekitar 28 pulau kecil di Indonesia tenggelam dan 24 terancam tenggelam. “Pertambangan jelas akan keramahtamahan ini.”

Kabaena merupakan pulau satelit terbesar ketiga di Sultra. Lapisan lumpur tebal, udara tercemar, debu polusi dan penurunan hasil penangkapan ikan akibat ekstraktif nikel adalah masalah klasik yang tidak pernah usai di Kabaena dalam kurun 14 tahun terakhir.

Tambang nikel di Kabaena hadir lebih dari satu dekade lalu ketika revisi tata ruang Sultra, status hutan lindung turun menjadi hutan produksi. Kehadiran tambang nikel tidak hanya mengancam manusia, juga keanekaragaman hayati , 27 merupakan endemik regional.

Sebelum ada penambangan ini, masyarakat Kabaena hidup sejahtera dari hasil perkebunan seperti kelapa, cengkih, jambu mete. Mereka bertani padi-jagung, sungai-sungai jernih, dan tangkapan laut di antara gugusan terumbu karang nan sehat. Kabaena juga sebagai penghasil gula aren terbaik di Sultra. Predikat itu kini terancam hilang kalau alam terus terkeruk tambang. 

Perairan di Desa Baliara, Pulau Kabaena, Sulawesi Tenggara (Sultra) yang tercemar tambang nikel. Foto: Satya Bumi.

Rawal Kastar, warga Kabaena mengatakan, sebelumnya bisa bikin 30 bungkus gula aren sehari. Situasi itu sejak berubahnya tambang nikel beroperasi dan menghancurkan batang-batang aren hingga mempengaruhi produksi air nira. Kini, Katsar hanya memproduksi 10 bungkus gula aren per hari. Gara-gara itu, banyak pembuat gula aren beralih, tinggal Kastar seorang. 

Kondisi yang sama dialami warga Suku Bajo di pesisir. Pendapatan petani rumput laut dan pembudidaya ikan turun drastis karena laut tercemar. “Kami seperti dikepung (tambang nikel). Di darat kena, di laut pun kena” keluh Ridwan, nelayan Kabaena. 

*****

Mahkamah Konstitusi Tolak Gugatan PT GKP, Pulau Kecil Tak Boleh Ada Tambang

Read Entire Article
Apa Kabar Berita | Local|