- Kawasan pesisir dan laut yang menjadi ruang hidup Suku Bajo di Kabaena, Sulawesi Tenggara, terus tercemar limbah industri nikel. Walhi Sulawesi Tenggara (Sultra) merilis berbagai dampak negatif dari tambang nikel di Pulau Kabaena, terutama di Desa Baliara. Menurut Walhi, aktivitas tambang untuk memenuhi ambisi sebagai pemain utama baterai kendaraan listrik itu telah menghancurkan ruang hidup Suku Bajo. Mereka terdampak dari aspek kesehatan sampai sumber penghidupan.
- Direktur Walhi Sultra, Rahman, melihat persoalan di Baliara adalah bentuk nyata dari abainya negara terhadap hak hidup masyarakat pesisir. Tambang nikel tidak hanya merusak ekosistem, tapi merampas ruang hidup.
- Syafiudin Yusuf, pakar Ilmu Kelautan dari UNHAS mengatakan anak-anak kehilangan ruang bermain dan keterampilan menyelam, ibu-ibu tak mampu olah hasil perikanan, bapak-bapak sulit beradaptasi dan kehilangan mata pencaharian sebagai nelayan. Semua terjai karena laut yang tercemar.
- Ulil Amri, Antropolog Lingkungan di Creighton University, USA mengkritik kebijakan transisi energi di Indonesia yang terkesan buru-buru dan pragmatis. Pada akhirnya, banyak kelompok masyarakat yang dikorbankan, termasuk Masyarakat Adat Bajo
Kawasan pesisir dan laut yang menjadi ruang hidup Suku Bajo di Kabaena, Sulawesi Tenggara, terus tercemar limbah industri nikel. Walhi Sulawesi Tenggara (Sultra) merilis berbagai dampak negatif dari tambang nikel di Pulau Kabaena, terutama di Desa Baliara. Menurut Walhi, aktivitas tambang untuk memenuhi ambisi sebagai pemain utama baterai kendaraan listrik itu telah menghancurkan ruang hidup Suku Bajo. Mereka terdampak dari aspek kesehatan sampai sumber penghidupan.
“Ada efek buruk pada mata pencaharian, kesehatan, dan lingkungan masyarakat. Tangkapan ikan nelayan Bajo menurun dan budidaya rumput laut dicemari polusi lumpur nikel,” kata Andri Rahman, Direktur Eksekutif Walhi Sultra dalam keterangan tertulis.
Pesisir Baliara yang menjadi ruang hidup dan sumber penghidupan warga tercemar. Ikan-ikan diduga terkontaminasi logam berat hingga tak lagi bisa untuk konsumsi.
Begitu juga dengan laut yang jadi ‘pekarangan’ rumah bagi Suku Bajo , berubah warna karena sedimentasi lumpur tambang nikel. “Tak berani konsumsi ikan, kuatir mengandung logam berbahaya,” kata Rahma, warga Kabaena, dalam rilis Walhi.
Desa Baliara, dulu menggantungkan hidup dari laut, kini menghadapi masalah serius akibat pencemaran. Sebelumnya, para nelayan bisa mendapat penghasilan hingga Rp700.000 per hari, kini hanya Rp200.000 setelah melaut seharian.
Cemaran lumpur juga berdampak pada budidaya rumput laut dan keramba ikan. Banyak rumput laut gagal tumbuh dan ikan mati. Padahal, selama ini, komoditas itu menjadi sumber warga dapatkan penghasilan.
Untuk kesehatan, dampak tambang nikel di Kabaena juga tak kalah parahnya. Air laut yang dulu menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari kini menimbulkan keluhan seperti gatal-gatal setelah kontak langsung.
Meningkatnya frekuensi banjir sejak aktivitas tambang berlangsung juga menambah penderitaan warga. Insiden tenggelamnya seorang anak di laut yang penuh sedimen lumpur nikel meningkatkan kekhawatiran Rahma akan masa depan anak-anak Suku Bajo.
Menurut Rahma, laut adalah bagian dari hidup Suku Bajo. Masyarakat suku ini biasa sudah mahir berenang sejak usia belia. Dengan kondisi laut penuh lumpur, jelas tak aman. “Kami, hanya ingin hidup yang layak, bukan kemewahan.”

Negara abai
Rahman melihat, persoalan di Baliara adalah bentuk nyata dari abainya negara terhadap hak hidup masyarakat pesisir. Padahal, tambang nikel di Kabaena tidak hanya merusak ekosistem, juga merampas ruang hidup. Kualitas lingkungan, ekonomi, dan kesehatan warga menurun drastis.
“Pemerintah wajib hadir bukan sekadar sebagai pengatur, tetapi untuk melindungi warganya.”
Dia mengecam lemahnya pengawasan pemerintah terhadap operasi tambang yang merusak lingkungan. Dia mendesak, pemerintah memberi perhatian serius dan melakukan evaluasi menyeluruh terhadap aktivitas pertambangan di pulau kecil ini.
Syafiudin Yusuf, Pakar Kelautan Universitas Hasanuddin (Unhas) melihat pertambangan nikel di Kabaena telah memperburuk kehidupan Suku Bajo. Pencemaran laut karena sedimentasi dari tambang menyebabkan terumbu karang rusak dan ikan berkurang. Akibatnya, Suku Bajo kehilangan mata pencaharian mereka sebagai nelayan.
Masyarakat Suku Bajo memiliki budaya yang tak ada di suku lain. Yakni, memandikan memandikan bayi baru lahir dengan air laut bersih di pantai. Akan tetapi, laut yang buruk perlahan menghilangkan tradisi penting itu.
“Ruang hidup dan budaya mereka terancam hilang. Mereka terpaksa beradaptasi dengan kehidupan di darat, yang tidak sesuai dengan kebiasaan mereka sebagai nelayan. Hal ini mengancam hilangnya generasi penerus Suku Bajo yang memiliki keahlian menyelam dan pengetahuan tentang laut.”
Yusuf pernah hidup lama bertahun-tahun bersama Suku Bajo di pesisir-pesisir Sulawesi. Dia mengadvokasi mereka untuk beradaptasi/mengembangkan cara mengelola sumber daya laut tempat mereka bermukim. Bahkan, keberadaan Suku Bajo di suatu pesisir bisa jadi petanda wilayah tersebut memiliki habitat terumbu karang yang bersih dari pencemaran.
“Karena masyarakat Bajo sangat bergantung pada perairan bersih dan terumbu karang yang sehat,” katanya.
Suku Bajo memiliki korelasi kuat dengan pelestarian ekosistem laut atau konservasi laut. Mereka dikenal sebagai penyelam ulung yang memiliki pengetahuan tradisional tentang laut, cara menjaga kelestarian terumbu karang dan laut.
Masyarakat Suku Bajo mencari nafkah dari hasil laut, sehingga mereka memiliki kesadaran tinggi terhadap pentingnya menjaga kebersihan laut. “Mereka itu punya tidak punya keinginan ekonomi yang terlalu besar, sangat cinta pada lingkungannya.”
Yusuf mengatakan, pertambangan nikel tidak hanya berdampak pada ekonomi dan budaya mereka, tetapi juga pada konservasi laut tradisional.
Rusaknya ekosistem dan hilangnya sumber daya laut yang berharga lain akan menghilangkan kemampuan mereka melestarikan laut. “Yang paling dirugikan adalah anak-anak, ibu-ibu, dan bapak-bapak yang sudah tua.”
Anak-anak kehilangan ruang bermain dan keterampilan menyelam karena pencemaran laut, sehingga mereka tidak bisa lagi melaut. Ibu-ibu kehilangan kemampuan untuk mengolah dan menjual hasil perikanan karena sumber daya laut berkurang. Bapak-bapak yang sudah tua sulit beradaptasi dengan lingkungan baru dan kehilangan mata pencaharian sebagai nelayan.
Kalau pemerintah tidak campur tangan untuk melindungi hak-hak mereka dan memastikan kelangsungan hidup mereka, akan berdampak pada degradasi lingkungan yang sangat parah. Tidak ada lagi kelompok yang akan melestarikan laut menggunakan cara-cara tradisional yang arif.

Ancam masa depan
Erni Bajau, Ketua Perkumpulan Orang Bajo Indonesia (POBI), khawatir eksploitasi pulau-pulau kecil berdampak buruk terhadap masyarakat Bajo di masa depan.
“Karena kita ini Orang Bajo kan selalu dianggap masyarakat nomor dua di sebuah daerah tertentu sehingga kita punya kebutuhan, kita punya kondisi, selalu diabaikan oleh pemerintah apalagi masalah tambang.”
Dalam kunjungannya ke Kabaena di November 2024, dia menyaksikan sedimen lumpur dari limbah nikel merusak ekosistem laut, melumpuhkan aktivitas pertanian rumput laut. Perempuan Bajo kesulitan mengolah hasil laut. Masyarakat Bajo kesulitan menyuarakan protes terhadap pertambangan, terutama di Baliara.
Erni berpendapat, pertambangan nikel tidak memiliki dampak positif bagi masyarakat Bajo, karena kerusakan lingkungan jauh lebih besar daripada manfaat. Menurut dia, hanya sebagian kecil masyarakat Bajo merasakan manfaat dari tambang nikel, sebagian besar kehilangan mata pencaharian.
“Secara umum di dunia memang kelompok-kelompok mereka ini (masyarakat lokal dan adat) yang jadi tumbal pertama kali proyek pembangunan,” kata Ulil Amri, Antropolog Lingkungan di Creighton University, USA, yang menyoroti dampak buruk pembangunan ekstraktif khusus terhadap Orang Bajo dan masyarkarat adat di Kabaena.
Orang Bajo, katanya, seolah menjadi target atau tumbal pembangunan karena mereka tidak memiliki kekuatan untuk bernegosiasi, advokasi, atau melawan. Mereka juga tidak memiliki sumber daya untuk melawan kebijakan yang merugikan. Selain itu, negara belum mengakui suku Bajo sebagai bagian dari masyarakat adat, sehingga mereka tidak memiliki perlindungan hukum yang memadai.
Pembangunan, baik yang berorientasi baik maupun brutal, seringkali mengabaikan hak-hak masyarakat adat, termasuk hak hidup, hak adat, hak ekonomi, hak politik, hak beragama, hak spiritualitas, dan hak lingkungan.
Dia melihat, Indonesia mengeksploitasi kekayaan alamnya secara brutal, mengatasnamakan kemajuan ekonomi. Aturan diubah, termasuk dengan omnibus law, untuk memuluskan investasi, mengabaikan hukum yang melindungi masyarakat adat dan lingkungan.
Akibatnya, masyarakat adat terpaksa beradaptasi dengan lingkungan dan budaya baru, yang seringkali dipaksakan dan menimbulkan trauma. Trauma ini dapat berdampak pada generasi mendatang, menciptakan historical trauma terkait pembangunan.
Amri mengkritik kebijakan transisi energi di Indonesia yang terkesan terburu-buru dan pragmatis. Pemerintah Indonesia, meskipun menyadari dampak perubahan iklim, lebih fokus pada keuntungan jangka pendek daripada membangun infrastruktur untuk transisi energi yang berkelanjutan.
“Tidak cuma infrastruktur fisik, tapi juga yang non-fisik misalnya hukum, undang-undang. Bagaimana kalau ada sudah jelas ada hukum yang melindungi masyarakat adat, bagaimana kalau sudah ada hukum yang melindungi hak asasi manusia.”
Dia contohkan, kasus Flint Michigan di Amerika Serikat, pemerintah lokal menghemat anggaran dengan menggunakan sumber air yang tercemar, mengakibatkan kerugian kesehatan dan ekonomi yang jauh lebih besar.
Amri mengingatkan, eksploitasi nikel akan berdampak buruk bagi masyarakat adat dan lingkungan. Keuntungan jangka pendek dari eksploitasi nikel jauh lebih kecil dibandingkan dengan biaya yang keluar untuk memperbaiki kerusakan lingkungan dan kesehatan masyarakat.
Pemerintah, katanya, harus menetapkan moratorium eksploitasi nikel dan perlu kebijakan tata kelola tambang lebih baik dan manusiawi. Juga wajib melibatkan masyarakat adat dalam pengambilan keputusan terkait pembangunan dan lingkungan.
Dia menyerukan, perlu kebijakan lebih adil dan berkelanjutan, yang mempertimbangkan hak-hak masyarakat adat dan lingkungan. Mereka yang terkena daya rusak dari penambangan nikel harus dapat kompensasi atas kerusakan lingkungan dan perlu skema reklamasi yang efektif.
Amri berkesimpulan, Pemerintah Indonesia pada akhirnya tidak produktif untuk melakukan ‘tackling’ atas perubahan iklim atau isu lingkungan jangka panjang.
“Karena sudah gagal di awal. Persiapan yang yang setengah hati, mentah dan masih prematur yang (masih) menjadi persoalan besar.”

Dalam catatan Badan Pemeriksaan Keuangan (BPK) Perwakilan Provinsi Sultra, menyebut, tambang di Pulau Kabaena hadir setelah ada revisi aturan tata ruang Sultra pada 2010. Salah satu usulan dalam revisi itu adalah menurunkan status kawasan hutan, dari hutan lindung menjadi hutan produksi. Revisi itu makin kuat dengan Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor SK.465/Menhut-II/2011.
Surat Keputusan Menteri Kehutanan mengubah fungsi kawasan hutan seluas 115.111 hektar di Sultra, termasuk Pulau Kabaena. Penghilangan status kawasan hutan lindung membuat banyak perusahaan tambang bisa masuk ke Pulau Kabaena. Secara keseluruhan, luas konsesi yang pernah tercatat ada di Pulau Kabaena sekitar 76.438,1 hektar (85,79 persen dari luas Pulau Kabaena.
Rizal Irwan, Deputi Bidang Penegakan Hukum (Gakkum) Kementerian Lingkungan Hidup, saat dikonfirmasi 12 Maret 2025, mengatakan, sudah memerintahkan jajarannya verifikasi lapangan baru-baru ini. Namun sampai saat ini dia mengaku belum menerima laporan.
“Minggu depan, kami yang dari sini–PPLH dari kementerian akan turun ke sana. Tapi didahului oleh Balai Gakkum, dulu,” katanya.
*****