Menyoal Pemutihan Sawit Hampir 800 Ribu Hektar

5 days ago 14
  • Kementerian Kehutanan mengeluarkan surat keputusan soal pemutihan kebun sawit di dalam kawasan hutan hampir 800 ribu hektar, sebagian korporasi besar. Pemutihan ini memberikan status legal terhadap kebun-kebun sawit bermasalah, sebagai bagian dari kebijakan itu.
  • Berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan No. 36/2025 (Kepmenhut 36/2025), ada 436 perusahaan perkebunan sawit beroperasi di kawasan hutan tanpa perizinan sah. Sekitar 790.474 hektar kebun sawit masih dalam proses penyelesaian untuk memenuhi kriteria aturan. Ada penolakan permohonan seluas 317.253 hektar kebun sawit karena tidak memenuhi kriteria Pasal 110A UU Cipta Kerja.
  • Lalu Hendri Bagus, peneliti Transparency International Indonesia (TII) mengatakan, kebijakan pemutihan sawit dalam kebijakan terbaru ini sangat jelas tidak hanya menguntungkan korporasi besar, juga memberi legalitas instan kepada mereka yang sudah melanggar aturan selama bertahun-tahun.
  •  Achmad Surambo, Direktur Eksekutif Sawit Watch, mengatakan,  Kepmenhut ini bagian dari langkah penting yang pemerintah lakukan untuk menciptakan transparansi dalam penyelesaian masalah sawit di kawasan hutan.  Namun, transparansi ini tidak hanya berhenti pada pengumuman daftar perusahaan, juga mesti berlanjut hingga tahap akhir penyelesaian. Publik, perlu mengetahui langkah konkret terhadap kebun-kebun yang permohonannya ditolak.

Pemerintah sudah memberikan pemutihan kebun sawit di dalam kawasan hutan hampir 800 ribu hektar, dengan dominan korporasi besar. Pemutihan ini melalui Surat Keputusan Menteri Kehutanan SK Kemenhut) 36 Tahun 2025  ini memberikan status legal terhadap kebun-kebun sawit bermasalah, sebagai bagian dari kebijakan pemutihan sawit.

Berdasarkan SK itu, ada 436 perusahaan perkebunan sawit beroperasi di kawasan hutan tanpa perizinan sah. Sekitar 790.474 hektar kebun sawit masih dalam proses penyelesaian untuk memenuhi kriteria aturan. Ada penolakan permohonan seluas 317.253 hektar kebun sawit karena tidak memenuhi kriteria Pasal 110A UU Cipta Kerja.

Lalu Hendri Bagus, peneliti Transparency International Indonesia (TII) mengatakan, kebijakan pemutihan sawit dalam SK terbaru ini sangat jelas tidak hanya menguntungkan korporasi besar, juga memberi legalitas instan kepada mereka yang sudah melanggar aturan selama bertahun-tahun.

“Sejarah telah menunjukkan, kebijakan semacam ini yang selalu dikemas sebagai solusi, justru lebih banyak memberi keuntungan kepada perusahaan besar yang seharusnya bertanggung jawab atas kerusakan hutan,” katanya kepada Mongabay.

Dia menilai,  kebijakan pemutihan perkebunan sawit di kawasan hutan yang tak memiliki izin kehutanan menimbulkan polemik besar dalam tata kelola industri sawit di Indonesia.

Menurut dia, lahirnya Kepmenhut 36/2025 ini akan menambahkan catatan buruk soal tata kelola industri ke depan.

“Realitas ini, tentu menambah beban bagi masyarakat, khusus petani kecil dan komunitas adat, yang tetap berada dalam posisi paling lemah. Jika kebijakan seperti ini dibiarkan terus berlanjut, kita hanya membuka pintu belakang bagi praktik ilegal tanpa ada konsekuensi hukum yang adil,” katanya.

Hendri bilang, pemutihan izin perkebunan sawit di kawasan hutan merupakan langkah kontroversial dalam tata kelola sumber daya alam di Indonesia. Data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) dalam (SK Datin I-XII), setidaknya sebanyak 1,7 juta hektar kebun sawit telah diputihkan meliputi 1.679 izin kebun sawit.

Selain itu, katanya,  berdasarkan II Surat Keputusan (SK) Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) yang berhasil dia peroleh, ada lebih 1.000 perkebunan sawit korporasi mendapatkan legalisasi meskipun sebelumnya beroperasi ilegal selama bertahun-tahun sebelum Undang-undang Cipta Kerja ada.

Data KLHK (ikini Kementerian Lingkungan Hidup dan Kementerian Kehutanan, terpisah),  pada 2019, sekitar 3,37 juta hektar kebun sawit berada dalam kawasan hutan. Aktivitas ilegal ini seharusnya mendapat penegakan hukum tegas untuk menghindari kerusakan lingkungan dan konversi hutan yang tidak terkendali.

Namun, alih-alih menindak tegas, pemerintah justru menggunakan Pasal 110 A dan 110 B dalam UU  Cipta Kerja yang memberikan jalan bagi kebun sawit ilegal mendapatkan legalitas dengan memenuhi persyaratan administrasi tertentu, seperti izin pelepasan kawasan hutan.

Ironisnya, proses pemutihan kebun sawit melalui kedua pasal ini sangat tertutup dan kurang transparan. Data KLHK dalam menghitung luas konsesi dan hutan yang berubah menjadi kebun sawit tidak jelas asal-usulnya, dan tak ada kepastian mengenai verifikasi data dari laporan mandiri perusahaan.

“Kebijakan tersebut menjadi jalan terjadinya deforestasi, membuka celah korupsi, dan mengabaikan hak-hak masyarakat yang bergantung dengan hutan.”

Warga mulai ada tanam sawit mencapai 30 hektar tersebar di beberapa desa di Pulau Enggano. Foto: Elviza Diana/Mongabay Indonesia

Dokumen: SK 36 Tahun 2025

Pemain besar

Keputusan ini membawa dampak signifikan bagi industri perkebunan sawit di Indonesia, di mana banyak perusahaan yang sebelumnya dianggap telah mematuhi prinsip keberlanjutan, baik melalui sertifikasi Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO) maupun Roundtable Sustainable Palm Oil (RSPO) Sejumlah nama besar seperti Sinarmas Agro, Musim Mas, Djarum, Wilmar, Duta Palma, dan lain-lain, termasuk dalam daftar perusahaan itu.

Achmad Surambo, Direktur Eksekutif Sawit Watch, mengatakan,  Kepmenhut ini bagian dari langkah penting yang pemerintah lakukan untuk menciptakan transparansi dalam penyelesaian masalah sawit di kawasan hutan.

Namun, katanya, transparansi ini tidak hanya berhenti pada pengumuman daftar perusahaan, juga mesti berlanjut hingga tahap akhir penyelesaian. Publik, katanya,  perlu mengetahui langkah konkret terhadap kebun-kebun yang permohonannya ditolak.

Surambo juga menyoroti pentingnya keberlanjutan pengawasan atas kebun-kebun sawit yang ditolak, untuk memastikan kawasan itu tidak jatuh ke tangan pihak yang tidak bertanggung jawab.

“Jika dibiarkan tanpa pengawasan, kami khawatir kebun-kebun sawit yang ditolak ini akan dimanfaatkan atau malah menjadi ‘bancakan’ bagi kelompok-kelompok tertentu yang hanya mengejar kepentingan pribadi,” kata Rambo, sapaan akrabnya dalam siaran pers yang Mongabay terima.

Sawit Watch mendesak penegakan hukum segera dilakukan, terutama oleh aparat penegak hukum.  Satgas Penertiban Kawasan Hutan harus segera berkoordinasi untuk menindaklanjuti ini dengan proses hukum pidana kehutanan terhadap perusahaan-perusahaan yang melanggar aturan.

Organisasi ini juga mengkritik komitmen perusahaan besar yang selama ini mengklaim telah menerapkan prinsip-prinsip keberlanjutan. Banyak dari perusahaan yang terdaftar dalam daftar Kepmenhut 36/2025, telah memperoleh sertifikasi ISPO maupun RSPO.

Sawit Watch lakukan rekapitulasi, sejumlah perusahaan besar yang menjadi anggota RSPO yang mengelola ribuan hektar kebun sawit di kawasan hutan. Di Riau, misal, sebanyak 11 grup besar anggota RSPO mengelola kawasan hutan seluas 59.817,70 hektar. Di Kalimantan Tengah terdapat 10 grup besar dengan total luasan 134.319,63 hektar.

“Bagi RSPO, tindakan tegas sangat perlu untuk mempertahankan integritas dan kredibilitasnya. Kami mendesak RSPO membekukan keanggotaan dan sertifikat keberlanjutan perusahaan-perusahaan yang terbukti membuka kawasan hutan tanpa izin.”

Pemerintah perlu audit menyeluruh terhadap perusahaan-perusahaan yang memiliki sertifikat ISPO, untuk memastikan sertifikasi benar-benar mencerminkan praktik-praktik keberlanjutan sesungguhnya. Bukan hanya label tanpa substansi.

Ahmad Zazali, Ketua Pusat Hukum dan Resolusi Konflik (PURAKA), mengapresiasi langkah Menteri Kehutanan Raja Juliantoni mengeluarkan daftar perusahaan dengan permohonan ditolak. Mengingat ini sering tersumbat di era menteri yang terdahulu.

Namun, dia juga menyoroti ada celah belum terungkap jelas, yaitu, langkah-langkah konkret terhadap kebun-kebun sawit yang ditolak.

Kebun-kebun sawit yang ditolak ini akan langsung masuk skema penyelesaian Pasal 110B UUCK, yang memungkinkan penguasaan kembali kawasan hutan oleh negara, ataukah kebun-kebun masuk dalam skema pemulihan kawasan hutan sesuai dengan Pasal 3 Perpres 5/2025.

“Selain itu, siapa yang akan bertanggung jawab atas pengelolaan kebun sawit yang ditolak ini, dan apakah tanaman sawit akan ditebang untuk dikembalikan menjadi hutan ataukah akan diberikan kepada entitas bisnis lain untuk dikelola?” ungkap Zazali.

Gunawan, Penasehat Senior Indonesia Human Rights Committee for Social Justice (IHCS), juga mengingatkan, perubahan dalamUU  Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan melalui UU Cipta Kerja menambah kompleks dan ketidakpastian dalam penyelesaian masalah perkebunan sawit di kawasan hutan.

“Pasal-pasal baru yang disisipkan, seperti Pasal 110A dan 110B, menimbulkan kebingungan. Apakah penyelesaian ini akan melibatkan pemidanaan, ataukah akan diberlakukan pemutihan melalui sanksi administratif berupa denda?”

Sebaliknya Hendri mengatakan, Kepmenhut 36/2025 membuktikan, transparansi dalam proses legalisasi perkebunan sawit memang sangat minim. Apalagi, perusahaan yang masuk dalam daftar SK ini dominan kelompok bisnis besar yang mengantongi sertifikasi keberlanjutan, seperti ISPO dan RSPO.

Hal ini mengindikasikan ada pola sistematis, entitas besar mendapatkan keuntungan dari kebijakan ini. Terlebih lagi, katanya, dalam struktur kepemilikan saham dan jaringan bisnis perusahaan-perusahaan itu melibatkan aktor politik yang berpengaruh memungkinkan mereka untuk mengamankan kepentingan dengan perlindungan hukum yang lebih kuat.

Dia bilang, kebijakan ini biasa dibuat dalam ruang tertutup, sementara masyarakat hanya tahu setelah semua terjadi, bahkan baru terungkap ketika ada kasus yang muncul di Kejaksaan Agung.

Menurut dia, kebijakan pemutihan ini hanya memberikan keuntungan besar bagi perusahaan-perusahaan yang sebelumnya beroperasi ilegal, yang memperoleh manfaat utama dari legalisasi ini. Realitas itu, katanya, menambah beban bagi masyarakat, terutama petani kecil dan komunitas adat, yang tetap berada dalam posisi paling lemah.

Kebijakan ini, berisiko memperburuk kerusakan lingkungan dan menciptakan ketimpangan akses bagi kebun rakyat.  “Kebijakan seperti ini harus diluruskan, karena berpotensi membuka celah bagi praktik korupsi. Izin bisa saja “dipermulus” bagi mereka yang memiliki koneksi politik atau ekonomi, sementara bagi petani kecil yang berusaha bertahan hidup, aturan semakin sulit untuk dipenuhi.”

Pembukaan lahan tanpa izin untuk jadi  kebun sawit ini dilakukan sejak Juli 2022. Apakah model-model seperti ini akan terus berlanjut karena ujung-ujungnya akan dapat pengampunan? Foto drone: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

Picu deforestasi

Kebijakan pemutihan sawit yang tercantum dalam Kepmenhut 36/2025 berisiko meningkatkan deforestasi di Indonesia.  Sawit Watch bersama 13 organisasi menemukan, angka ambang batas atas (cap) sawit di Indonesia adalah sebesar 18,15 juta hektar, ekspansi perkebunan sawit di beberapa wilayah telah mendekati atau bahkan melampaui kapasitas lingkungan.

Riset itu menunjukkan,  pengembangan sawit di Indonesia tidak lagi bisa secara menyeluruh di semua pulau karena banyak wilayah sudah melampaui ambang batas daya tampung dan daya dukung lingkungan, terutama di area rentan secara ekologi. Kalau ekspansi perkebunan sawit melampaui cap, akan berdampak signifikan ke lingkungan.

Adapun luas perkebunan sawit di Indonesia pada 2023 mencapai 17,3 juta hektar, atau hampir 1,5 kali luas Pulau Jawa. Luas ini merupakan hasil pemutakhiran peta tutupan sawit oleh Badan Informasi dan Geospasial (BIG) dan Kementerian Pertanian pada 2023.

Menurut data Forest Watch Indonesia (2025), penguasaan hutan dan lahan untuk konsesi perkebunan sawit mencapai 17,1567 juta hektar. Angka ini hanya terpaut sekitar 47.000 hektar dari konsesi pemanfaatan hutan alam (PBPH-HA), berada di peringkat pertama seluas 17,2037 juta hektar. Namun, terluas kalau dibandingkan konsesi lain, seperti pemanfaatan hutan alam, pemanfaatan hutan tanaman, dan pertambangan.

Angka-angka itu menegaskan posisi Indonesia sebagai negara dengan area perkebunan sawit terbesar di dunia, jauh melampaui Malaysia yang memiliki luas sekitar 5,87 juta hektar pada periode sama. Luas itu setara dengan sekitar 11% dari luas daratan Indonesia, menggambarkan betapa masif ekspansi sawit dalam beberapa dekade terakhir.

Anggi Putra Prayoga, Manager Kampanye, Advokasi, dan Media FWI, memperkirakan,  kebun sawit akan makin luas dengan ada kebijakan pemutihan sawit dalam Kepmenhut 36/2025. Bahkan, katanya, menggabungkan luas konsesi sawit tumpang tindih dengan konsesi lain, total bisa 20,9 juta hektar.

Menurut dia, pemutihan sawit bukanlah langkah tepat bagi Indonesia yang menghadapi tiga masalah krisis global ke depan, yakni,  soal pangan, energi, dan air. Kebijakan itu,  justru akan mempercepat laju kerusakan hutan yang memiliki fungsi sebagai sumber pangan, sumber energi, dan sumber air bagi masyarakat.

FWI mencatat, periode 2017-2023, deforestasi karena perkebunan sawit mencapai 330.000 hektar, dengan rata-rata laju deforestasi per tahun sekitar 55.083 hektar karena penambahan dan ekspansi tanaman sawit. Sementara, catatan Auriga (2025) menunjukkan,  deforestasi di dalam konsesi sawit mencapai 37.483 hektar pada 2024.

“Sawit menjadi salah satu komoditas utama yang menjadi driver of deforestation. Deforestasi itu dimaknai sebagai hilangnya kawasan hutan yang beralih menjadi lahan non-hutan, yang kemudian digantikan oleh komoditas lain seperti perkebunan sawit.”

*******

Pemutihan Kebun Sawit Ilegal: Hitungan Denda, Negara Berisiko Merugi

Read Entire Article
Apa Kabar Berita | Local|