Kontroversi Gasifikasi Batubara: Antara Kemandirian Energi dan Ancaman Lingkungan

1 week ago 19
  • Indonesia sedang menghidupkan kembali rencana untuk mengembangkan pabrik gasifikasi batu bara guna memproduksi hidrogen dan dimetil eter (DME), dengan tujuan mengurangi ketergantungan pada impor gas petroleum cair (liquefied petroleum gas/LPG).
  • Proyek gasifikasi akan menggunakan pendanaan dari dana kekayaan negara (sovereign wealth fund), Danantara yang baru diluncurkan akhir Februari lalu
  • Para ahli memperingatkan bahwa gasifikasi batubara tidak layak secara ekonomi, pemerintah mungkin perlu memberikan subsidi besar untuk membuat inisiatif ini layak secara finansial.
  • Produksi DME dikhawatirkan akan melepas emisi karbon tinggi, peningkatan polusi udara, deforestasi, dan ancaman terhadap keanekaragaman hayati, yang bertentangan dengan komitmen transisi energi Indonesia.

Rencana terbaru pemerintah untuk mengubah batubara menjadi gas atau bahan bakar cair mendapat penolakan dan kritik dari para ahli iklim. Mereka menyebut rencana ini akan berdampak buruk secara ekologis dan ekonomi.

Proposal gasifikasi batubara sendiri termasuk dalam perintah yang dikeluarkan oleh Presiden Prabowo Subianto dalam rapat dengan tim ekonomi energi di Jakarta pada 3 Maret 2025 lalu.

Pabrik gasifikasi rencananya akan didirikan di pulau Sumatera dan Kalimantan yang akan mengolah batubara kualitas rendah menjadi hidrogen dan dimetil eter (DME). DME digadang-gadang akan dapat menggantikan liquefied petroleum gas (LPG), yang hihngga sekarang masih diimpor oleh Indonesia.

Bahlil Lahadalia, Menteri Energi dan Kepala Tim Ekonomi Energi, menyatakan pendanaan pabrik gasifikasi batubara akan berasal dari Danantara, sebuah inisiatif sovereign wealth fund yang baru diresmikan pemerintah berdasarkan persetujuan DPR pada 26 Februari 2025 lalu.

“Kita tidak perlu investor [asing]. Semua urusan negara melalui kebijakan presiden dengan memanfaatkan sumber daya dalam negeri,” kata Bahlil seperti dikutip katadata.

Namun, ia menambahkan pemerintah masih perlu mengimpor teknologi untuk memproduksi DME.

Sebuah tongkang mengangkut batubara di Kalimantan Timur, Foto: Tommy Apriando/Mongabay Indonesia

Hilirisasi Batubara, Proyek Tidak Layak Investasi?

Pada tahun 2022, Indonesia yang merupakan produsen batubara termal terbesar di dunia, mengumumkan rencana investasi senilai USD 15 miliar dari perusahaan AS, Air Products and Chemicals, untuk membangun pabrik gasifikasi batubara.

Kurang dari satu setengah tahun kemudian, perusahaan tersebut menarik diri karena menilai proyek itu berbiaya tinggi. Kemudian, dilaporkan sebuah “perusahaan dari Tiongkok” tertarik untuk masuk dalam proyek tersebut, meski itu juga tidak terwujud.

“Saya pikir kali ini tidak ada ketergantungan pada pemangku kepentingan lain,” kata Bahlil.

Meskipun detail tentang mekanisme pendanaan pabrik gasifikasi batubara melalui Danantara, masih belum jelas, para ahli iklim dan energi telah memperingatkan potensi dampak negatif ekonomi dan lingkungan dari rencana ini.

“Masalah utama untuk setiap jenis proyek hilirisasi batubara selalu terkait biaya modal dan pengembalian dari modal tersebut,” kata Ghee Peh, analis keuangan di Institute for Energy Economics and Financial Analysis (IEEFA), kepada Mongabay melalui email.

Analisis IEEFA pada tahun 2020, 2022, dan 2023 menunjukkan bahwa proyek DME Indonesia dalam bentuk yang diusung oleh pemerintah tidak akan menguntungkan, dan rencana hilirisasi batubara bakal berakhir dengan kegagalan.

“Ada kemungkinan untuk membangun pabrik DME dengan skala yang sama pada tahun 2025, subsidi dari pemerintah Indonesia mungkin jauh lebih besar daripada perhitungan tahun 2020. Jika tidak ada subsidi, maka kecil kemungkinan investor atau bank akan menyediakan modal untuk proyek ini,” ujarnya.

Biaya pengolahan dan modal untuk membangun pabrik gasifikasi batubara pun telah meningkat lebih dari 30% sejak tahun 2020.

Peh menyebut dengan harga minyak yang lebih tinggi, biaya utang saat ini, dan kemungkinan bahwa produsen DME akan meminta pengembalian yang lebih besar untuk mengompensasi risiko pembangunan proyek.

“Untuk tahun 2025, semakin sulit untuk menjustifikasi proyek ini,” sebutnya.

Meski demikian Bahlil menyebut empat proyek gasifikasi batubara di Provinsi Sumatera Selatan dan Kalimantan Timur akan dilanjutkan.

Meskipun ia tidak mengungkapkan seberapa besar masing-masing proyek, ia menyatakan bahwa proyek-proyek ini merupakan bagian dari upaya untuk mempercepat 21 proyek pengolahan sumber daya alam senilai total USD 40 miliar.

Selain itu, pemerintah berencana memperluas kapasitas penyimpanan bahan bakar dan mengembangkan kilang minyak berkapasitas 500.000 barel per hari untuk meningkatkan ketahanan energi. Kementerian Energi memperkirakan investasi kilang tersebut mencapai 12,5 miliar dolar AS.

Dana kekayaan negara (sovereign wealth fund) diharapkan dapat mengelola aset senilai lebih dari USD 900 miliar, terutama berupa saham-saham di perusahaan BUMN.

Presiden Prabowo berkomitmen menyediakan USD 20 miliar untuk investasi awal Danantara, dengan fokus pada pengolahan sumber daya alam, kecerdasan buatan, serta ketahanan energi dan pangan.

PLTU batubara di malam hari. Foto: Rabul Sawal/Mongabay Indonesia.

Apa Dampak Lingkungan dari DME?

Menurut para ahli lingkungan, kebangkitan kembali proyek gasifikasi batubara dinilai sebagai langkah mundur dalam komitmen Indonesia untuk transisi energi, termasuk dalam upaya menghapus penggunaan batubara dan mencapai target global untuk mengurangi emisi gas rumah kaca.

Meskipun DME sendiri merupakan bahan bakar yang lebih bersih daripada batubara, proses produksinya sangat intensif karbon dan energi.

Lembaga think tank energi yaitu Institute for Essential Services Reform (IESR), memperkirakan bahwa siklus hidup penuh konversi batubara menjadi DME dan kemudian menjadi energi menghasilkan 1.031 gram karbon dioksida ekuivalen per kilowatt-jam (gCO2e/kWh) — melebihi emisi kurang dari 1.000 gCO2e/kWh dari pembakaran batubara langsung.

Jejak karbon DME juga setidaknya 25 kali lebih tinggi daripada sumber energi terbarukan seperti tenaga surya, menurut IESR.

“Mengandalkan batubara sebagai bahan baku utama berisiko memperburuk kualitas udara dan meningkatkan bahaya kesehatan bagi masyarakat di sekitar lokasi proyek,” kata Bondan Andriyanu, juru kampanye iklim dan energi di Greenpeace Indonesia, kepada Mongabay melalui pesan teks.

“Selain itu, ekspansi pertambangan untuk memenuhi kebutuhan batubara proyek ini dapat mempercepat deforestasi, meningkatkan polusi air, dan mengancam keanekaragaman hayati.”

Bondan mencatat bahwa proyek gasifikasi batubara berisiko melanggar kebijakan dan komitmen lingkungan yang ada di Indonesia, yaitu Undang-Undang Lingkungan Hidup tahun 2009, yang mewajibkan proyek industri mengikuti prinsip pembangunan berkelanjutan.

Ia menambahkan bahwa proyek ini juga bertentangan dengan peraturan pemerintah tahun 2014 yang bertujuan memperluas porsi energi terbarukan dalam bauran energi.

Bondan juga menekankan bahwa membiayai proyek ini menggunakan dana dari Danantara akan meningkatkan risiko finansial bagi negara jika upaya gasifikasi gagal menghasilkan keuntungan yang cukup.

Hal ini dapat memaksa negara untuk mengandalkan keuangan publik, yang pada akhirnya membebani masyarakat luas, katanya.

“Mempertimbangkan faktor-faktor ini, jelas bahwa gasifikasi batubara bukanlah solusi transisi energi yang berkelanjutan. Sebaliknya, pemerintah harus memprioritaskan percepatan investasi dalam energi terbarukan, yang lebih kompetitif, ramah lingkungan, dan adil bagi masyarakat,” sebutnya.

Artikel ini dipublikasikan perdana di sini pada tanggal 13 Maret 2025 oleh Mongabay Global. Tulisan ini diterjemahkan oleh Akita Verselita.

***

Foto utama: tampak udara pertambangan batubara di Kaltim. Foto: Rhett A. Butler/Mongabay

Wacana Danantara Biayai Gasifikasi Batubara Tuai Kritik

Read Entire Article
Apa Kabar Berita | Local|