- Konflik manusia dengan buaya muara masih terjadi di Nusa Tenggara Timur (NTT).
- Data BBKSDA NTT menunjukkan, sejak 2019 hingga Februari 2025, telah terjadi 60 konflik. Sebanyak 31 orang meninggal dan 29 orang terluka hingga cacat.
- Masyarakat diminta menghindari wilayah yang sudah dipasang papan peringatan bahaya buaya, serta tidak menurunkan anggota tubuh saat berperahu. Jika terpaksa melakukan aktivitas mandi dan mencuci di sungai, usahakan membangun pagar
- Buaya muara [Crocodylusporosus] tersebar luas di perairan Indonesia, mulai Sumatera hingga Papua. Buaya muara biasa ditemukan di air keruh yang dalam dan gelap. Ia memangsa amfibi, krustasea, reptil kecil, hinga ikan. Semakin besar tubuhnya, semakin besar mangsanya.
Telepon kantor Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Nusa Tenggara Timur (NTT) berdering, Senin (24/2/2025), sekitar pukul 13:54 WITA. Kepala Bidang Kedaruratan dan Logistik BPBD Kabupaten Kupang melaporkan warga Desa Manusak, Kecamatan Kupang Timur, resah dengan kemunculan buaya di sekitar permukiman. Merespons laporan tersebut, tiga anggota Unit Penanganan Satwa (UPS) Balai diturunkan.
Di lokasi, tim menemukan seekor buaya muara dan memutuskan untuk menangkapnya menggunakan snar bite dan harpoon. Snar bite merupakan alat terbuat dari kawat sling yang berfungsi sebagai perangkap sedangkan harpoon terbuat dari gagang dan mata tombak yang tersambung pada sebuah tali kecil.
“Buaya jantan yang ditangkap itu panjangnya 2,4 meter dan diamankan di kandang penampungan sementara,” jelas Arief Mahmud, Kepala BBKSDA NTT, melalui keterangan tertulisnya, Rabu (26/2/2025).
Menurut Arief, sejak 2019 hingga Februari 2025, sudah terjadi 59 konflik. Sebanyak 31 orang meninggal dan 28 orang terluka hingga cacat.
Kejadian terbanyak di Kabupaten Kupang (18 kasus), Malaka (9 kasus), Sumba Timur dan Sumba Barat Daya (7 kasus), Lembata (6 kasus), Timor Tengah Selatan (5 kasus), Belu dan Rote Ndao (2 kasus), serta Ende, Sikka dan Kota Kupang (1 kasus).
“Serangan buaya biasanya terjadi saat warga mancing, atau ketika mandi dan mencuci,” jelasnya.
Terbaru, mengutip situs BBKSDA NTT, konflik kembali terjadi pada 28 Februari 2025. Yafet Maak, warga Desa Sumlili, Kecamatan Kupang Barat, Kabupaten Kupang, diserang buaya saat memanah ikan di Danau Tuadale. Korban selamat dan dirawat di Rumah Sakit Ben Boi Kupang.
Baca: Konflik Manusia dan Buaya Muara Kembali Terjadi di NTT. Bagaimana Pencegahannya?

Laporan kemunculan buaya muara
Sejak awal 2025, pihak balai telah menerima lima laporan kemunculan buaya muara.
“Pada musim hujan, ketika air sungai meluap, biasanya buaya bergerak ke daratan atau hulu. Situasi ini harus diwaspadai, terutama masyarakat yang beraktivitas di sungai maupun dekat muara,” terang Arief.
Masyarakat diminta menghindari wilayah yang sudah dipasang papan peringatan bahaya buaya, serta tidak menurunkan anggota tubuh saat berperahu. Jika terpaksa melakukan aktivitas mandi dan mencuci di sungai, usahakan membangun pagar pembatas.
“Segera lapor ke pemerintah atau kepolisian setempat saat melihat kemunculan buaya,” paparnya.
Baca juga: Kebiasaan Unik Buaya Muara, Mempelajari Pola dan Gerakan Mangsanya

Pendidikan lingkungan
Yuvensius Stefanus Nonga, Deputi Walhi NTT, mengatakan pemerintah perlu mengambil langkah-langkah pencegahan agar konflik tidak terus berulang.
“Pemetaan wilayah antara habitat buaya dan tempat tinggal manusia serta titik-titik akses masyarakat ke pesisir harus ada,” jelasnya, beberapa waktu lalu.
Menurut Yuven, secara teknis harus ada kebijakan daerah yang melindungi habitat buaya. Peraturan ini bertujuan memastikan perlindungan ruang hidup satwa, selain menjauhkannya dari konflik dengan manusia.
“Pastikan juga tidak ada aktivitas yang mengancam habitat buaya, serta ada pendidikan lingkungan bagi masyarakat yang hidup berdampingan dengan satwa liar,” jelasnya.

Buaya muara mudah beradaptasi
Mengapa buaya menyerang manusia? Berdasarkan keterangan IUCN Crocodile Specialist Group, insiden serangan buaya terhadap manusia dapat terjadi karena :
- Buaya mencari makan: Semua jenis buaya bersifat oportunis. Bertambah besar tubuhnya maka bertambah besar pula mangsanya dan ukuran tubuh manusia sesuai kriteria tersebut.
- Mempertahan wilayah teritorial: Berbagai jenis buaya, termasuk buaya muara, memiliki wilayah jelajah dan akan mempertahankan area tersebut terhadap para pengganggu, termasuk kehadiran manusia.
- Mempertahankan sarang atau anak: Sifat protektif ini dilakukan untuk melindungi telurnya dari serangan predator.
- Salah target: Kejadian ini bisa terjadi saat buaya bermaksud menyerang anjing atau binatang lain yang berada dekat manusia. Atau, nelayan yang hendak memeriksa jaring diserang dikarenakan buaya tertarik dengan ikan di jaring tersebut.
- Bentuk pertahanan diri: Sebagaimana umumnya satwa liar, buaya juga akan mempertahankan diri dalam kondisi terancam.
Buaya muara [Crocodylus porosus] tersebar luas di perairan Indonesia, mulai Sumatera hingga Papua. Jenis ini merupakan predator puncak yang mudah beradaptasi. Pada individu dewasa warna tubuhnya lebih gelap ketimbang remaja. Bagian ventral tubuhnya berwarna kuning gading kecuali bagian ekor yaitu abu-abu.
Ukuran individu jantan mencapai 5-6 meter, sedangkan betina kisaran 2,5-3 meter. Kematangan seksual biasanya pada umur 10 tahun. Buaya muara biasa ditemukan di air keruh yang dalam dan gelap. Ia memangsa amfibi, krustasea, reptil kecil, hinga ikan.
Mengutip Australia Zoo, saat musim kawin, yang biasanya terjadi pada musim hujan, buaya jantan besar akan keliling untuk melindungi wilayah teritorinya dari ancaman jantan lain. Antara 4-6 minggu setelah masa kawin, betina akan bertelur 40-60 butir di sarangnya.
DAS Rusak, Biang Konflik Manusia dengan Buaya Muara di Bangka Belitung