- Ambisi pemerintah untuk menjadi pemain utama nikel di tingkat global menghadirkan nestapa di Kabaena, pulau kecil di Kabupaten Bombana, Sulawesi Tenggara (Sultra). Wajah pulau dengan daratan hijau dan lautan nan indah, porak poranda. Pesisir dan laut, penuh semburat kuning kemerahan terpapar limbah tambang.
- Kajian Satya Bumi dan Walhi Sultra sebut, selama 20 tahun (2001-2022), sekitar 3.374 hektar tutupan hutan hilang di Kabaena karena tambang. Deforestasi ini mengakibatkan penurunan kualitas air dan pencemaran berat di sungai dan laut. Konsentrasi nikel, asam sulfat, dan kadmium jauh lebihi batas aman standar Indonesia, Badan Kesehatan Dunia (WHO), dan Badan Perlindungan Lingkungan Hidup Amerika (US-EPA).
- Andi Makkawaru, Kepala Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Sultra, membantah, kalau laut di Kabaena tercemar sedimen lumpur dari aktivitas pertambangan nikel. Indeks kualitas air laut (IKL) perairan Bombana dalam kualitas baik, berdasarkan penilaian kategori kurang–cukup–baik–baik sekali.
- Nur Arafah, Pakar Lingkungan Fakultas Kehutanan dan Ilmu Lingkungan, Universitas Halu Oleo (FKIL-UHO) Kendari, sebut aktivitas pertambangan nikel di Kabaena merusak ekosistem pulau. Limbah lumpur nikel cemari perairan terbukti dengan pengamatan indrawi, terjadi perubahan warna, bau, rasa dan tumpukan sedimen.
Ambisi pemerintah untuk menjadi pemain utama nikel di tingkat global menghadirkan nestapa di Kabaena, pulau kecil di Kabupaten Bombana, Sulawesi Tenggara (Sultra). Wajah pulau dengan daratan hijau dan lautan nan indah, porak poranda. Pesisir dan laut, penuh semburat kuning kemerahan terpapar limbah tambang.
Walhi Sultra menyebut, apa yang terjadi di Kabaena sebagai bukti nyata kegagalan pemerintah mengelola kekayaan alamnya. Kabaena yang merupakan pulau kecil dan undang-undang melarang adanya tambang, nyatanya dibiarkan diobrak-abrik.
“Padahal, seharusnya ini menjadi atensi besar oleh pemerintah maupun para penegak hukum karena kerusakan yang terjadi di sana sudah sangat massif,” kata Andi Rahman, Direktur Walhi Sultra, pada 20 Februari 2025.
Sebelumnya, bersama Satya Bumi, Walhi Sultra menyelidiki dampak tambang nikel di Pulau Kabaena. Hasil penyelidikan itu kemudian dituangkandalam laporan berjudul Bagaimana Demam Nikel Menghancurkan Pulau Kabaena dan Ruang Hidup Suku Bajau? yang dirilis baru-baru ini.
Para peneliti dalam laporan itu banyak merinci kerusakan lingkungan oleh pertambangan, termasuk penggundulan hutan, pencemaran air, dan kontaminasi makanan laut dengan logam berat. Padahal, ada peraturan yang melarang penambangan di pulau-pulau lebih kecil dari 2.000 km². Laporan itu juga mengekspos keterlibatan orang-orang yang terpapar secara politik (PEP) dalam industri pertambangan nikel di Kabaena, serta melacak rantai pasoknya.

Deforestasi
Dalam kajian Satya Bumi dan Walhi Sultra itu, selama 20 tahun (2012-2022), sekitar 3.374 hektar tutupan hutan hilang di Kabaena karena tambang. Konsesi tambang terbesar dari PT Anugrah Harisma Barakah (AHB) dan PT Tonia Mitra Sejahtera (TMS), masing-masing mencatat hilangnya hutan 641 hektar dan 285 hektar.
Deforestasi ini mengakibatkan penurunan kualitas air dan pencemaran berat di sungai dan laut. Temuan riset, kadar nikel, asam sulfat, dan kadmium jauh melebihi batas aman standar Indonesia, Badan Kesehatan Dunia (WHO), dan Badan Perlindungan Lingkungan Hidup Amerika (US-EPA).
Dalam dokumen itu, terungkap pula nikel TMS dan AHB masuk dalam rantai pasok global industri baterai kendaraan listrik. Nikel ini diproses di smelter Sulawesi Mining Investment (SMI) dan Virtue Dragon Nickel Industry (VDNI) di Kawaasan Indonesia Morowali Industrial Park (IMIP).
Riset ini juga menemukan, keterkaitan SMI dengan QMB New Energy Materials, penyuplai bahan pembuatan baterai ke sejumlah produsen. Seperti Samsung SDI, CATL, dan Tsingshan. Dimana, baterai-baterai mereka masuk ke sejumlah merek kendaraan terkemuka, seperti Tesla, Stellantis, Volkswagen, Ford, dan BYD.
Tim peneliti juga menemukan dua perusahaan tambang di Kabaena terindikasi sebagai entitas yang terhubung dengan politically exposed persons (PEPs). Menurut informasi yang tertuang dalam AHU Kementerian Hukum dan HAM, AMI dan TMS terindikasi berafiliasi dengan PEPs.
Direktur Utama AMI, Achmad Fachruz Zaman, merupakan purnawirawan jenderal bintang dua di Polri. Selain itu, menurut AHU Data Perseroan tertanggal 21 Maret 2024, TMS juga dipimpin Purnawirawan Jenderal Bintang Dua Polri, Sigit Sudarmanto.
Satya Bumi mengurai bagaimana kepentingan politik berpotensi mempengaruhi pengelolaan nikel di Kabaena. Mantan Gubernur Sulawesi Tenggara, Nur Alam, terlibat dalam penerbitan izin usaha pertambangan (IUP) untuk AHB . Nur Alam terbukti bersalah dalam kasus korupsi terkait penerbitan IUP itu dan kena hukuman 12 tahun penjara (bebas bersyarat Januari 2024).
Laporan ini juga menunjukkan, beberapa perusahaan tambang di Kabaena berafiliasi dengan PEPs, seperti mantan direktur PT Billy Indonesia, Widdi Aswindi, merupakan Ketua DPP Partai Amanat Nasional (PAN) dan konsultan pemenangan Nur Alam.

Dampak kesehatan
Tim juga menemukan penambangan nikel menimbulkan permasalahan kesehatan serius di enam desa di Pulau Kabaena. Masyarakat Bajo di Desa Baliara dan Puu Nunu alami gangguan kulit parah seperti gatal-gatal hingga bernanah.
Kasus infeksi saluran pernapasan akut (ISPA) juga meningkat tajam, terutama pada anak-anak dan nelayan. Permasalahan kesehatan itu akibat dari kontak langsung responden dengan air laut yang tercemar.
Hasil uji laboratorium terhadap sampel air laut dan sungai di beberapa lokasi di Kabaena temukan parameter kimia jauh lebihi batas. Konsentrasi nikel, sulfat, kadmium, dan timbal telah mencapai 200% hingga 7000% lebih tinggi dari batas aman, berdasarkan PP No. 22/2021, Batas Maksimum Pencemaran Logam dalam Pangan sebagaimana instruksi SNI 7387:2009, WHO, dan US EPA. Tingginya konsentrasi logam berisiko menyebabkan berbagai masalah kesehatan, termasuk gangguan neurologis, penyakit kardiovaskular, dan kanker.
Andi Makkawaru, Kepala Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Sultra, membantah, kalau laut di Kabaena teridentifikasi tercemar sedimen lumpur dari aktivitas pertambangan nikel. Dia mengatakan, indeks kualitas air laut (IKL) perairan Bombana dalam kualitas baik, berdasarkan penilaian kategori kurang–cukup–baik–baik sekali.
“Untuk hasil sampling di Desa Baliara di Pulau Kabaena tidak spesifik di titik desa itu tetapi di sekitar perairan Kabaena telah di sampling dalam pemantauan kualitas air laut (IKL). Dari 67 titik sampling, yang diterima 57 titik pengamatan,” tulis Andi melalui pesan kepada Mongabay, 21 Februari 2025.
Syahrul Gelo, Direktur LSM Sagori menyangsikan penjelasan itu. Menurut dia, apa Makkawaru sampaikan tak masuk akal dan kontras dengan kondisi lapangan. “Bagaimana mungkin, air yang keruh seperti itu disebut baik? Jika yang begitu dinilai baik, bagaimana tidak baiknya?” katanya merasa heran.
Sagori intens memantau operasi pertambangan nikel yang hadir dan beroperasi sejak 2007 hingga sekarang. Dampak terburuk masyarakat Kabaena rasakan adalah banjir lumpur di wilayah yang ada aliran sungai.

Pencemaran parah
Nur Arafah, Pakar Lingkungan Fakultas Kehutanan dan Ilmu Lingkungan, Universitas Halu Oleo (FKIL-UHO) Kendari, sebut aktivitas pertambangan nikel di Kabaena merusak ekosistem pulau. Limbah lumpur galian nikel cemari perairan terbukti dengan pengamatan indrawi, terjadi perubahan warna, bau, rasa dan tumpukan sedimen.
Sedimen lumpur merusak biota, karang, ikan atau biota-biota yang kecil seperti bentos dan plankton yang berperan dalam rantai makanan ikan. Dampaknya, tidak hanya merusak biota laut dan biodiversitas hutan mangrove, juga mengancam kesehatan dan kehidupan masyarakat.
“Pencemaran itu adalah masuknya zat ke sesuatu atau lingkungan sehingga mengakibatkan terjadinya perubahan dari fungsi-fungsi ruang itu,” katanya.
Dia menilai, langkah pemerintah memberi izin tambang untuk separuh lebih Kabaena, sudah kelewat batas.
Tambang, katanya, jelas tidak sesuai tata ruang dan daya dukung Kabaena. Terlebih, luas Kabaena tak sampai 2.000 kilometer persegi, seharusnya bebas dari praktik tambang, sebagaimana ketentuan Undang-undang. Dalam konteks ini, kata Arafah, tambang di Kabaena bisa disebumasuk kategori ilegal.
Melihat berbagai dampak buruk dari aktivitas tambang ini, Arafah mendesak pemerintah melakukan moratorium izin pertambangan guna mengevaluasi izin-izin yang sudah ada.
Dia meminta, pemerintah daerah tidak hanya memikirkan kepentingan ekonomi sesaat, juga memperhatikan masyarakat dan kelestarian lingkungan. Dia berharap, pemerintahan baru dapat mengambil posisi jelas dan bertindak sesuai hukum.
“Sebenarnya, tidak perlu menunggu kajian ilmiah. Itu aparat penegak hukum, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Kepolisian silakan tegakkan hukum di sana, termasuk (Kementerian) ESDM,” ucap Arafah. Dia heran pemerintah cenderung diam, meski dampak buruk tambang di Kabaena sudah begitu parah.
Mongabay menghubungi Kepala Human Resource and General Affair TMS, Setyo Eko Wicaksono untuk meminta konfirmasi terkait kerusakaan lingkungan di Kabaena akibat aktivitas perusahaannya. Namun, mendapat respons. “Saya masih meeting,” tulisnya melalui aplikasi perpesanan.
Surat permintaan wawancara yang Mongabay kirim juga tak kunjung berbalas, hingga naskah ini terbit.
Sebelumnya, Sumangerukka dalam Debat Perdana Calon Gubernur–Calon Wakil Gubernur Sultra pada Oktober 2024, menjanjikan untuk menarik kembali kewenangan pengelolaan pertambangan ke pemerintah daerah. Dalihnya, agar daerah bisa mengelola sumber daya alam secara maksimal.
Desakan hentikan tambang di Kabaena juga dari Lembaga Advokasi Kebijakan Publik (LAPAK). Organisasi ini bahkan berulangkali berunjuk rasa dan mendatangi beberapa instansi di Kendari, seperti Balai Gakkum dan ESDM meminta setop tambang di Kabaena.
“Tapi seolah mereka mau lepas tangan tentang persoalan yang terjadi di Kabaena,…mereka mengarahkan kami ke Jakarta dengan alasan tidak lagi memiliki kewenangan.”
*******