Jalan Panjang Petani Gunung Anten Peroleh Hak Tanah

1 day ago 9
  • Para petani Gunung Anten pun akhirnya mendapatkan hak tanah pada Oktober 2023 lewat sertifikat tanah komunal, ini kali pertama di Indonesia.
  • Para petani Gunung Anten mulai memperjuangkan hak atas tanah sejak 1994. Mereka baru benar-benar legal memperoleh sertifikat hak milik (SHM) untuk tanah pertanian pada Januari 2024. Perjuangan panjang dan penuh lika-liku. Kini, mereka sudah punya tanah dan bisa bercocok tanam walau tantangan masih ada seperti penyerobotan oleh organisasi masyarakat (ormas).
  • Tanah komunal seluas 127 hektar jadi milik petani Gunung Anten, anggota P2B. Lahan kemudian jadi 12 sertifikat tanah komunal atau sertifikat kepemilikan bersama. Dari luasan itu, 32 bidang tanah seluas 23 hektar atas nama petani laki-laki, 17 bidang seluas 11 hektar atas nama petani perempuan. Lalu, 49 bidang seluas 34 hektar atas nama petani muda berusia 35 tahun ke bawah.
  • Junarcia Molisna Naibaho, Juru Kampanye dan Manajemen Pengetahuan KPA mengatakan,  perjuangan petani Gunung Anten melahirkan sertifikat komunal ini terobosan reforma agraria.  Mereka layak mendapatkan hak itu karena memang turun menurun hidup di sana mengandalkan alam dengan mengelola tanah pertanian.

Rintik hujan pagi membasahi Kampung Damara, di Desa Gunung Anten, Kecamatan Cimarga, Lebak, Banten, 16 Februari 2025. Hawa dingin dan tanah pun menjadi lunak serta licin lantaran hujan mengguyur desa sedari 15 Februari malam.

Warga duduk di depan teras rumah sembari mengobrol dan bercengkrama dengan keluarga. Rumah-rumah warga terbuat dari bambu. Mereka hidup sebagai petani maupun pekebun.

Mayoritas warga desa ini Suku Baduy beragama Sunda Wiwitan,  ada juga yang Islam karena perkawinan. Mereka hidup rukun berdampingan, damai dan bergotong royong.

“Masyarakat banyak yang menanam seperti jahe, lengkuas, lada. kunyit kencur. Padi gogo, jagung dan pisang. Juga pisang, durian, kopi, dan pohon sengon,” kata Omo, petani Anten, 17 Februari 2025.

Laki-laki 59 tahun ini bilang, hasil panen padi untuk konsumsi sendiri, sedang yang lain mereka jual untuk memenuhi kebutuhan hidup.

Kepercayaan Masyarakat Baduy, padi tidak untuk jual dan pantang bagi mereka menanam padi di tanah berlumpur. Mereka hanya menanam padi gogo agar bisa tumbuh di tanah padat.

“Panen ada yang tiga bulan, ada juga setahun untuk jenis padi lokal,” katanya.

Hasil panen padi mereka letakkan di lumbung. Kebiasaan itu pun warga lain ikuti. Ada tiga lumbung padi di Desa Damara.

“Kalau beras habis kan tinggal ambil saja. Ini semacam tabungan buat petani, bisa dijual untuk kebutuhan mendesak saja,” katanya.

Sarah, perempuan Baduy, sedang menenun. Foto: Irfan Maulana/Mongabay Indonesia

Omo mengatakan, meski terlihat tidak modern, namun para petani di Desa Gunung Anten tak merasa miskin. Justru mereka merasa kaya karena alam telah menyediakan keberkahan untuk kesejahteraan masyarakat.

“Kita punya uang karena menjual hasil pertanian yang kita tanam di tanah, mau makan tinggal ambil di alam, beras ada, sayur ada, buah ada, jadi alam ini sudah menyediakan kebutuhan sandang pangan,” katanya.

Selain di ladang, para petani juga menanam tanaman di kebun kolektif. Kebun kolektif itu jadi tempat penyemaian bibit sebelum petani tanam di ladang. Ada beberapa bibit, seperti alpukat, belimbing, mangga dan rambutan.

“Kebun ini sebagai tempat petani mengembangkan tanamannya, mengetes tanaman cocok gak di tanam di sini, kalau cocok di tanam di ladang,” kata Omo.

Mereka bisa seperti saat ini, pula tanah untuk menanam itu bukan perkara mudah, para petani Gunung Anten, perlu perjuangan panjang.

Para petani Gunung Anten mulai memperjuangkan hak atas tanah sejak 1994. Mereka baru benar-benar legal memperoleh sertifikat hak milik (SHM) untuk tanah pertanian pada Januari 2024. Perjuangan panjang dan penuh lika-liku. Kini, mereka sudah punya tanah dan bisa bercocok tanam walau tantangan masih ada seperti penyerobotan oleh organisasi masyarakat (ormas).

Abay Haetami, Ketua Pergerakan Petani Banten mengatakan, masyarakat Gunung Anten ini mengandalkan alam dan hutan sebagai sumber kehidupan. Mereka menanam berbagai tanaman dari sayur mayur, padi, maupun buah-buahan sepetti durian, pisang, rambutan maupun sengon.

Dia bilang, masyarakat mulai menggarap pertanian di lahan ini 1989, awalnya kehidupan mereka tenang.

Omo, petani Gunung Anten. Foto: Irfan Maulana/Mongabay Indonesia

Ancaman mulai datang pada 1994,  ketika Badan Pertanahan masa itu menerbitkan hak guna usaha (HGU) kepada PT The Bantam Preanger dan Rubber (Bantam). Perusahaan yang bergerak di bidang pengolahan karet ini menguasai HGU seluas 1.100 hektar di empat kecamatan yakni Cileles, Bojongmanik, Cimarga dan Kecamatan Leuwidamar.

Sejak itu, perusahaan mulai menggusur pemukiman dan ladang pertanian masyarakat lantaran berada di HGU perusahaan.

Aparat desa dan organisasi masyarakat kala itu  turut melakukan tindakan intimidatif. Ruang hidup petani kian sempit, mereka kesulitan menggarap ladang karena lahan perusahaan kuasai.

“Saat itu, ternyata perusahaan tidak memanfaatkan HGU-nya, tidak beroperasi. Tahun 1998,  petani kembali menggarap pertanian karena memang tidak ada kegiatan perusahaan,”  katanya 16 Februari lalu.

Perusahaan tak terima. Petani tetap memberanikan diri menggarap lahan. Tidak ada pilihan lain karena mereka menggantungkan hidupnya di alam.

Hingga 2002, izin HGU perusahaan itu habis. Pada 2010,  petani menyatukan kekuatan dengan membangun organisasi yang memperjuangkan hak tanah garapannya.

Perusahaan sempat menanam ulang pohon karet tanpa memperpanjang HGU. Petani pun melawan balik dan tetap bertani.

Abay bilang, perjuangan petani dapat ujian ketika tiga petani Gunung Anten kena kriminalisasi perusahaan. Tiga orang petani itu pun masuk penjara atas tuduhan melakukan perusakan dan penyerobotan lahan HGU yang sebenarnya belum perusahaan perpanjang.

“Tapi petani tidak gentar, justru semakin solid, semakin kuat. Kemudian, kita membentuk Pergerakan Petani Banten yang menjadi wadah perjuangan petani Desa Gunung Anten ini,” katanya.

P2B yang berkoalisi dengan Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) pun mendaftarkan Gunung Anten sebagai lokasi prioritas reforma agraria (LPRA) pada 2016. Di 2017, para petani P2B membuat pemukiman bernama Kampung Desa Maju Reforma Agraria (Damara) agar memudahkan koordinasi dan menyatukan kekuatan memperoleh hak atas tanah.

“Perjuangan petani penuh lika-liku, tekanan dari perusahaan banyak sekali. Mereka menyewa preman untuk mengusik kami, ladang dan bangunan petani pernah dibakar supaya kami takut,” ucap Abay.

Bentang Gunung Anten, yang jadi hak komunal warga. Foto: Irfan Maulana/Mongabay Indonesia

Hak tanah  komunal

Setelah melewati jalan panjang itu, para petani Gunung Anten pun akhirnya mendapatkan hal tanah komunal, kali pertama di Indonesia.

Pada Oktober 2023, Satuan Tugas LPRA pada Kementerian Agraria dan Tata Ruang / Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) menyepakati objek 195 bidang tanah seluas 127 hektar jadi milik petani Gunung Anten, anggota P2B.

Lahan kemudian jadi 12 sertifikat tanah komunal atau sertifikat kepemilikan bersama. Dari luasan itu, 32 bidang tanah seluas 23 hektar atas nama petani laki-laki, 17 bidang seluas 11 hektar atas nama petani perempuan. Lalu, 49 bidang seluas 34 hektar atas nama petani muda berusia 35 tahun ke bawah.

Pada 7 Januari 2024, KATR/BPN menyerahkan langsung sertifikat itu kepada masyarakat.

“Bentuk sertifikat komunal ini untuk mencegah konflik antar petani karena sudah memiliki bagiannya masing-masing. Sertifikat ini juga tidak bisa diperjualbelikan secara individual, harus persetujuan bersama karena sertifikatnya atas nama bersama bukan perorangan.”

Selain untuk pertanian, warga juga membangun pemukiman yakni Kampung Damara. Kampung ini terdiri dari petani anggota P2B.

Di Kampung Damara berisi rumah warga, lumbung padi, mushola dan Akademi Reforma Agraria Sejati (ARAS) yang berbentuk saung bambu luas. Aras jadi pusat pendidikan dan koordinasi petani Gunung Anten.

Junarcia Molisna Naibaho, Juru Kampanye dan Manajemen Pengetahuan KPA mengatakan,  perjuangan petani Gunung Anten melahirkan sertifikat komunal ini terobosan reforma agraria.

Mereka layak mendapatkan hak itu karena memang turun menurun hidup di sana mengandalkan alam dengan mengelola tanah pertanian.

“Kepemilikan kolektif adalah yang pertama, satu-satunya inovasi di negara kita, dalam konteks kepemilikan, karena kebanyakan dari kita hanya kepemilikan pribadi,” katanya.

 Potret peserta ILC asal Sri Langka saat menanam bibik jeruk nispis di lahan kolektif petani Gunug Anten .Foto: Irfan Maulana/Mongabay Indonesia

Setelah itu, para petani Gunung Anten pun bisa menggarap lahan pertanian mereka. Keberhasilan mereka pun menjadi inspirasi perjuangan memperoleh hak atas tanah petani, tak hanya dalam negeri juga mancanegara.

Seperti belasan aktivis agraria anggota organisasi dari berbagai negara asia dan Eropa, bagian dari International Land Coalition (ILC) mengunjungi pertanian petani Gunung Anten pada 16-18 Februari 2025. Dalam kunjungan itu, mereka melihat kehidupan, budaya dan mendengarkan langsung kisah perjuangan petani Gunung Anten.

Rudi Rubijaya, Direktur Landreform Direktorat Jenderal Penataan Agraria Kementerian ATR/BPN mengatakan,  pendampingan KPA mempercepat proses pemberian hak atas tanah untuk para petani. Dengan pendampingan ini KATR/BPN terbantu untuk memastikan objek dan subjeknya.

“Tepat sasaran, tidak ada penumpang gelap,” katanya.

Rudi bilang, pendampingan organisasi masyarakat sipil ini juga tak berhenti sampai pada sertifikat masyarakat terima. Melainkan berlanjut hingga pendampingan pengentasan masalah ekonomi dan mengembangkan pertanian.

“Ada sustainability. Setelah diselesaikan konfliknya dengan pendampingan CSO itu, sama-sama kita dorong kesejahteraannya.”

Dia bilang, total ada 70 LPRA di seluruh Indonesia selain di Gunung Anten. Dari jumlah itu, capaian redistribusi tanah dan penyelesaian konflik 24 lokasi luas 14.968 hektar dengan 5.133 keluarga.

Penyelesaian konflik dan redistribusi sertifikat ini, katanya, memang tak bisa cepat. Mereka, katanya, mengalami beberapa kendala termasuk di Gunung Anten perlu waktu bertahun-tahun baru sertifikat keluar.

Rudi bilang, rata-rata LPRA itu lahan berkonflik dengan perusahaan yang merasa masih memiliki HGU, padahal masa izin sudah habis namun tetap memanfaatkan lahan. Kondisi ini, katanya,  membuat masyarakat tak bisa memanfaatkan lahan.

Dalam upaya reforma agraria, pendaftaran LPRA bisa secara personal atau organisasi. Dia berjanji, KATR/BPN akan mempermudah proses.

Bagi yang berkepentingan, katanya,  bisa datang langsung ke kantor pertanahan atau bisa melalui media sosial, dan nomor pengaduan.

“Jadi,  mau lewat rutin bisa datang kantor, pasti kita bantu. Nanti di kantor bisa jelasin masuk PTSL (program pendaftaran tanah sistematis lengkap) atau enggak. Boleh individu, boleh kelompok. Karena kan sertifikasi juga individu bisa, kelompok juga bisa. Itu semua kita tampung,” katanya.

Perempuan Adat Baduy di Gunung Anten, Banten. Foto: Irfan Maulana/Mongabay Indonesia

Perempuan, pangan dan regenerasi petani

Peran perempuan dalam kehidupan masyarakat Gunung Anten begitu penting. Para perempuan terlibat dalam segala sektor dari rumah tangga sampai mengelola lahan pertanian.

Pagi itu, Juheti, petani perempuan Gunung Anten, tengah menyemprotkan pestisida organik ke tanaman padi gogonya agar tak terserang hama. Dia menggendong alat penyemprot pestisida manual seukuran badannya.

Dengan telaten, tangan kanan memompa alat itu agar pestisida keluar, sedangkan tangan kanan mencengkram gagang dan mengarahkan ke padi.

“Alhamdulilah yah, bisa tenang ke ladang sekarang. Saya di sini menanam padi gogo, ini jenis lokal, umurnya setahun baru bisa panen. Juga menanam jahe, kunyit, lengkuas. Ada nangka dan pisang juga,” katanya.

Juheti jadi tumpuan keluarga terlebih setelah suaminya sakit. Dalam bertani, anak-anaknya juga membantu meskipun tak setiap hari.

“Suami sakit, jadi sekarang saya ke ladang. Kadang dibantu juga sama anak, kan merantau kalau pulang suka bantuin,” katanya 18 Februari lalu.

Juju juga tumpuan keluarga ke ladang karena suami merantau dan bekerja sebagai supir truk di Jakarta Utara. Kalau suami ada, katanya, biasa bertugas menanam dan memanen. Juju bertugas mengurus tanaman sampai panen.

“Suami bantu kalau pulang. Kan pulangnya seminggu sekali.”

Tak hanya dominasi orang tua, para pemuda Gunung Anten pun giat bertani. Armadi dan Sarah, dua orang muda yang membuktikan regenerasi petani di Gunung Anten terus terjaga.

Armadi, kini menggarap lahan pertanian dan mengandalkan tanaman untuk menopang ekonomi keluarga. Pemuda 25 tahun ini bersama istri menggarap lahan pertanian.

“Aku garap lahan ini dari kecil sebenarnya bantu orang tua, sejak 2010. Aktif juga di organisasi jadi dapat lahan,” katanya.

Sarah juga memilih menjadi petani untuk melanjutkan tradisi nenek moyang. Meski baru sekadar membantu orang tua di ladang, perempuan 16 tahun ini senang menanam dan menjaga tanaman.

“Karena memang sudah dari kecil (bantu orang tua di ladang).”

Selain berladang, Sarah juga merajut, membuat kain khas Baduy. Dia telaten merajut benang dengan alat tradisional yang terbuat dari kayu. Hasilnya pun bisa dia jual untuk membantu perekonomian keluarga dan menambah uang jajan.

“Harganya ini dari Rp25.000-Rp300.000. Tergantung ukurannya.”

Kunjungan ALF di Gunung Anten, Banten. Foto: Irfan Maulana/Mongabay Indonesia

********

Kala Ormas Serobot Tanah Reforma Agraria Petani Gunung Anten

Read Entire Article
Apa Kabar Berita | Local|