Izin Tambang, Perguruan Tinggi dan Bunuh Diri Ekologi

1 week ago 20

Tanpa partisipasi publik yang bermakna, tiba-tiba elite politik di DPR merivisi Undang-undang (UU) Mineral dan Batubara (Minerba). Alih-alih memasukkan perspektif keadilan ekologi dan sosial dalam revisi UU itu, para elite politik ini justru berupaya melegalkan bagi-bagi konsesi tambang untuk organisasi massa (ormas) keagamaan dan mengusulkan agar perguruan tinggi juga bisa dapat konsesi tambang.

Tanpa ada rasa malu dan bersalah para elite politik mempertontonkan kesesatan berpikir yang akut dalam pengelolaan sumberdaya alam. Mereka sedang melakukan tindakan bunuh diri ekologi secara massal. Para elite politik itu tidak peduli terhadap krisis iklim yang tengah mengancam kehidupan seluruh penduduk bumi.

Bencana iklim makin sering terjadi di berbagai belahan dunia, termasuk Indonesia. Pada 2024, misal, panas ekstrem menyengat selama ibadah haji dikabarkan menewaskan lebih 1.300 jiwa. Suhu di Arab Saudi, pada saat itu sempat mencapai 51,8 derajat celsius

Bukan hanya di Arab Saudi, panas ekstrem juga melanda Yunani.  Di sana, gelombang panas memicu kebakaran hutan yang mengerikan. Panas ekstrem mematikan juga menerjang sejumlah negara seperti Thailand, India, dan Amerika Serikat.

Setahun sebelumnya, laporan World Meteorological Organization (WMO) berjudul, State of the Climate in Asia 2023, menyebutkan, kecenderungan kenaikan pemanasan  di Asia meningkat hampir dua kali lipat sejak periode 1961-1990.  Laporan Emergency Events Database juga mengungkapkan, pada 2023, di kawasan Asia telah terjadi 79 bencana iklim.  Bencana iklim di Asia itu telah menyebabkan lebih dari 2.000 korban jiwa.

Berbagai bencana iklim di Asia itu juga Indonesia rasakan. Laporan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), berjudul Data Bencana Indonesia 2023, memperlihatkan, bencana pada 2023 dominasi kejadian hidrometeorologi dampak krisis iklim dengan 5.365 kejadian. Ini artinya, dominasi bencana di Indonesia selama 2023 karena krisis iklim.

Krisis iklim akan makin parah bila gas rumah kaca (GRK) terus mencemari atmosfir. Emisi GRK dari energi fosil, khususnya batubara, menjadi penyebab utama peningkatan emisi GRK di atmosfir.

Terkait itulah muncul desakan dari masyarakat internasional kepada pemimpin negara-negara di dunia untuk segera meninggalkan energi fosil dan beralih ke energi terbarukan.

Transisi energi ini bukan sekadar perpindahan penggunaan energi dari fosil ke terbarukan, juga membawa konsekuensi untuk meninggalkan model pembangunan ekstraktif.

Ironsinya, Indonesia justru berjalan ke arah berlawanan dari kecenderungan di tingkat global itu. Indonesia,  justru sedang memperkuat model pembangunan ekstraktif. Indonesia tengah melakukan bunuh diri ekologi di tengah bangkitnya kesadaran ekologi masyarakat dunia.

Upaya memperkuat model pembangunan ekstraktif itu mulai menguat di era pemerintahan Joko Widodo (Jokowi). Indikasinya, tanpa mempedulikan dampak sosial dan ekologi, rejim Jokowi membagi-bagi konsesi tambang batubara ke ormas agama.

Elite di Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama (NU),  akhirnya menerima tawaran pemerintah untuk mengelola izin tambang. Para  elite di kedua ormas keagamaan itu sama sekali tidak mempedulikan suara publik, termasuk generasi muda di dalam organisasinya, yang menolak tawaran pemerintah itu.

Rezim Jokowi sudah berakhir, alih-alih mengoreksi kebijakan menyesatkan terkait bagi-bagi konsesi tambang batubara ke ormas, elite politik hasil pemilu 2024 justru mengusulkan perguruan tinggi dapat konsesi batubara. Usulan yang menyesatkan dari elite politik yang mendapat upah dari uang pajak publik.

Apa dampaknya bila perguruan tinggi menerima konsesi tambang batubara? Dengan menerima konsesi tambang, perguruan tinggi menjadi bagian dari bisnis ekstraktif itu. Konsekuensinya, perguruan tinggi perlahan tetapi pasti akan meninggalkan fokusnya sebagai lembaga pendidikan dan penelitian.

Penelitian perguruan tinggi akanterarah  untuk memberikan legitimasi bagi keberlangsungan bisnis tambang, yang sudah menjadi bisnisnya. Mereka akan berupaya menghalangi pemerintah untuk lebih memperkuat komitmen terhadap keadilan ekologi dan sosial. Kenapa demikian? Karena makin kuat komitmen pemerintah akan makin mengancam bisnis tambang mereka.

Sisi lain, perguruan tinggi juga akan mereproduksi dalil-dalil, yang terkesan ilmiah, untuk menormalisasi polusi udara, air dan tanah di sekitar wilayah operasi tambang. Dengan berbagai dalil, yang seolah-olah ilmiah, segala aktivitas pertambangan merusak tetap bisa berjalan.

Untuk menormalisasi konflik agraria di sekitar tambang, mereka juga akan mereproduksi dalil-dalil guna membenarkan perampasan lahan-lahan warga untuk tambang.

Akademisi, mahasiswa dan masyarakat turun ke Sungai Bandung menyuarakan dampak perubahan iklim.  Perguruan Tinggi dan para akademisi  mestinya jadi pilar kuat penyelamat negeri jadi kondisi lebih buruk, bukan sebaliknya.  Foto: Suryadi/Mongabay Indonesia

Bila konsesi tambang untuk ormas agama bisa untuk membungkam para penolak tambang dengan label komunis, atheis, penista agama maka perguruan tinggi bisa melakukan hal sama dengan memberikan label anti-ilmu pengetahuan, kurang pendidikan kepada para penolak tambang. Dengan itu semua,  maka perlawanan masyarakat akan makin melemah.

Celakanya, pelemahan perlawanan masyarakat ini juga berbanding lurus dengan kerusakan alam dan konflik sosial.

Bagaimana jika gagasan DPR itu kemudian pemerintah setujui? Kalau gagasan memberikan konsesi tambang ke perguruan tinggi pemerintah setujui, maka tidak terbantah lagi bahwa Prabowo Subianto sebenarnya sedang membawa negeri ini ke arah bunuh diri ekologi.

Bagaimana tidak, sebelumnya akhir 2024, Presiden Prabowo Subianto secara terang-terangan mengajak pemerintah daerah untuk melakukan bunuh diri ekologi dengan cara terus ekspansi sawit tanpa harus takut deforestasi. Tak  berselang lama, imbauan bunuh diri ekologi itu ditindaklanjuti pernyataan Menteri Kehutanan Raja Juli Antoni.

Dia katakan, Pemerintahan Prabowo Subianto akan membuka hutan hampir dua kali lipat Pulau Jawa untuk pangan dan energi.

Tanda-tanda elite politik membawa negeri ini ke arah bunuh diri ekologi makin terlihat jelas. Publik tentu harus mencegah tindakan segelintir elite politik itu. Publik harus mulai bersuara untuk mengingatkan bahwa pemerintah sedang berada di jalan yang sesat.  Model pembangunan ekstraktif, yang sedang pemerintah gaungkan, akan banyak menimbulkan korban.

Publik pun tak bisa menunggu niat baik dari elite di perguruan tinggi untuk  menolak tawaran konsesi tambang. Dengan konsesi tambang oleh elite di ormas Islam, Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah (MU) harus menjadi pelajaran.

Dulu,  publik sempat percaya bahwa elite di kedua ormas agama itu akan mengutamakan keselamatan umat. Ternyata,  publik harus menelan pil pahit karena elite di kedua organisasi keagamaan itu tidak peduli dengan keselamatan manusia dan alam. Mereka tergoda rayuan konsesi tambang yang merusak alam.

Ketidakpedulian terhadap keselamatan manusia dan alam sangat mungkin juga menjangkiti elite perguruan tinggi. Bukan tidak mungkin sebagian elite di perguruan tinggi akan menerima konsesi tambang yang merusak alam. Argumentasi mereka akan sama dengan segelintir elite di ormas NU dan MU yang lebih dahulu menerima konsesi tambang.

Mereka pun berdalih akan mewujudkan green mining (tambang hijau) yang ramah lingkungan hidup di konsesinya. Padahal,  green mining tak lebih hanya greenwashing, sebuah upaya memanipulasi kesadaran publik atas lingkungan hidup.

Perguruan tinggi sebagai benteng kekuatan moral dan intelektual tidak boleh jatuh di tangan elite politik yang sedang kecanduan tambang. Publik harus bersuara agar upaya elite membawa rakyat Indonesia ke arah bunuh diri ekologi segera dihentikan. Bila publik diam, cepat atau lambat, publik yang akan menjadi korban.  Sedang segelintir elite politik dan pemain bisnis di industri tambang berpesta pora saat sebagian besar rakyat jadi korban kerusakan alam.

Stockpile batubara di tepi Sungai Batanghari yang mencemari lingkungan.  Entah apa jadinya Indonesia, kalau perguruan tinggi juga jadi pemain bisnis merusak ini?  Foto: Jaka Hendra Baitri/Mongabay Indonesia

******

*Penulis: Firdaus Cahyadi, pendiri Indonesian Climate Justice Literacy dan mahasiswa Pascasarjana Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan, IPB University. Tulisan ini merupakan opini penulis.

Akademisi Was-was Wacana Izin Tambang untuk Perguruan Tinggi

Read Entire Article
Apa Kabar Berita | Local|