- Proyek Kawasan Ekonomi Khusus Tanjung Sauh, mulai berjalan. Sejumlah alat berat dan dump truck berkapasitas 30 ton hilir mudik berpadu dengan tenaga para pekerja. Mereka seolah adu cepat untuk meratakan bukit dan menimbun hutan mangrove di pulau kecil yang jadi proyek strategis nasional (PSN) ini.
- Dari pantauan Mongabay, 16 Desember lalu, proyek ini mulai dari Pulau Tanjung Sauh Kecil. Setelah itu, pematangan lahan masuk ke Pulau Tanjung Sauh Besar. Panbil Group langsung menggarap PSN Pulau Tanjung Sauh seluas 840,67 hektar ini.
- Hendrik Hermawan, pendiri Akar Bhumi Indonesia (ABI) sudah datang ke lokasi proyek, pertengahan Desember 2024. Dia mendapatkan laporan dari nelayan dua minggu sebelumnya. Temuan ABI, kerusakan lingkungan jelas terjadi karena proyek ini. Hasil wawancara mereka bersama nelayan ada setidaknya sekitar 5 hektar hutan mangrove diduga kena timbun.
- Parid Ridwanuddin, Analis Kelautan dan Perikanan meminta, evaluasi PSN yang merusak tatanan sosial dan lingkungan masyarakat. UU Nomor 27/2007 menegaskan, pembangunan harus berdasarkan kesatuan ekologis dan ekonomi secara menyeluruh.
Proyek Kawasan Ekonomi Khusus Tanjung Sauh, mulai berjalan. Sejumlah alat berat dan dump truck berkapasitas 30 ton hilir mudik berpadu dengan tenaga para pekerja. Mereka seolah adu cepat untuk meratakan bukit dan menimbun hutan mangrove di pulau kecil yang jadi proyek strategis nasional (PSN) ini.
Amran sedang sibuk merapikan jaring saat beberapa pekerja keluar masuk ke rumah di pesisir Pulau Tanjung Sauh, Kota Batam, Kepulauan Riau, 16 Januari lalu. Dari pantai, berjarak hanya sepelemparan batu.
“Mereka para pekerja proyek di belakang,” kata Amran.
Pulau yang sebelumnya berbukit itu kini rata. Tutupan pohon yang menyelimuti pulau pun tak ada lagi. Amran bilang, hutan hilang bukanlah satu-satunya. Sekitar 70 keluarga terpaksa hengkang, termasuk dirinya. Rumah tempat pekerja keluar masuk tadi, dulu miliknya.
Perusahaan membeli bangunan yang dia tinggali dari kecil untuk mes pekerja. “Ya gimana, mau tidak mau harus pindah. Warga diminta keluar pulau karena akan dipakai kawasan industri,” katanya.
Dia memilih ‘sagu hati’ uang karena tak kuasa menolak. “Saya sudah jual rumah, pindah ke Kampung Jabi di Batam,” katanya tanpa menyebut nominal.
Beberapa warga yang Mongabay temui, sekitar 50℅ bersedia pindah. Namun, sebagian dari mereka masih bekerja di laut sekitar pulau. “Sekarang saya masih melaut, ya itulah ikan sudah kurang karena ada pekerjaan timbunan (proyek),” kata Amran.
Meski sudah menjual rumah kepada perusahaan, dia masih mempertahankan kelong cacak, alat tangkap ikan di pesisir pulau karena belum ada kesepakatan soal ganti rugi.
“Sudah ada yang menerima ganti rugi kelong, ada yang Rp5 juta, ada Rp15 juta untuk kelong cacak pusaka, harganya tidak bisa segitu, saya minta Rp80 juta,” katanya.

Bagi Amran, kelong cacak itu tak sekadar alat tangkap, tetapi pusaka dari nenek moyangnya. Dengan kelong cacak dia bersama saudara-saudaranya hidup di pesisir Pulau Tanjung Sauh, sejak puluhan tahun lalu.
“Bayangkan, kelong cacak saya itu bisa menghasilkan duit Rp150.000 setiap hari. Kalau dikalikan setahun, sudah berapa duitnya itu. Tidak bisa diganti dengan Rp5 juta. Maka saya belum mau jual kelong saya.”
Saat ini, negosiasi harga kelong masih berlangsung dengan perusahaan, tetapi melalui salah satu ormas di Batam.
Pembangunan PSN dengan pelaksana, Panbil Group ini mulai dari sisi utara, tepat di belakang tiga kampung di pinggiran pulau. Khadijah, warga masih belum bersedia untuk pindah.
“Belum tau, belum ada keputusan,” kata Siti Khadijah, warga Pulau Tanjung Sauh.
Di tengah kebimbangan warga untuk pindah, deru eskavator mengejar waktu meratakan bukit di pulau bagian belakang rumah-rumah penduduk. Dump truck berlalu lalang mengangkut material dan menimbun di lingkar luar pulau.
Tak terlihat lagi pohon-pohon rindang yang menyelimuti bukit di pulau ini. Termasuk hutan mangrove di sekeliling pulau, tersisa ranting-ranting kecil menjulang keluar dari tanah bekas penimbunan.

Dari pantauan Mongabay, 16 Desember lalu proyek ini mulai dari Pulau Tanjung Sauh Kecil. Setelah itu, pematangan lahan masuk ke Pulau Tanjung Sauh Besar.
Dulu, kedua pulau ini terpisah, sekarang sudah terhubung dengan jembatan buatan yang menimbun laut. Sekarang, truk pengangkut tanah silih berganti melintasi jembatan itu.
Hendrik Hermawan, pendiri Akar Bhumi Indonesia (ABI) sudah datang ke lokasi proyek, pertengahan Desember 2024. Dia mendapatkan laporan dari nelayan dua minggu sebelumnya. “Memang di pulau itu jauh dari pengawasan ya,” katanya.
Temuan ABI, kerusakan lingkungan jelas terjadi karena proyek ini. Hasil wawancara mereka bersama nelayan ada setidaknya sekitar 5 hektar hutan mangrove diduga kena timbun. ABI juga mendapatkan keluhan dari nelayan soal laut jadi keruh karena proyek ini.
“Laut Pulau Tanjung Sauh ini tidak hanya tempat nelayan menangkap, juga fishing ground nelayan di kampung-kampung lain, termasuk nelayan di Pulau Ngenang,” kata Hendrik.
Apalagi, katanya, depan Pulau Tanjung Sauh adalah pesisir Nongsa Batam juga terancam rusak karena reklamasi Blue Steel.
Menurut Hendrik, nelayan terjepit dengan dua proyek besar yang merusak.
Dia meminta, pemerintah tak mengejar kepentingan ekonomi semata dan mengabaikan kepentingan lingkungan dan masyarakat. Sebab, lingkungan rusak, pada akhirnya berdampak pula secara ekonomi.

Apa kata perusahaan?
Panbil Group, mulai menggarap PSN Pulau Tanjung Sauh seluas 840,67 hektar ini. Johanes Kennedy Aritonang, Chairman Panbil Group mengatakan, perusahaan sedang pematangan lahan untuk membangun infrastruktur pendukung, seperti waduk, listrik dan pelabuhan. “Semua kita mulai dari awal, karena di pulau ini tidak memiliki sarana, pulau itu masih kosong,” katanya, awal Januari lalu.
Johanes sebut, sebagian warga sudah memilih pindah ke Pulau Ngenang, tak jauh dari Pulau Tanjung Sauh. “Kami siapkan kavling, kebanyakan dari warga ambil uang ganti rugi terus bangun sendiri,” katanya.
Hanya ada beberapa warga sementara masih bertahan. “Tetapi relatif tidak ada masalah, seperti tempat (PSN) lain”.
Dia mengklaim senantiasa menjalin hubungan baik dengan warga terdampak. Bahkan, sebagian dari mereka berharap bisa bekerja di PSN ini.
“Jumlah warga, tadinya 180 keluarga, sisanya, sekarang sekitar 70-an keluarga, dari tiga kampung. Mereka memang sengaja kita biarkan di kampung dulu karena kita butuhkan untuk berjaga di sana, ada yang bekerja untuk kita,” kata Johanes.
Beberapa rumah warga juga jadi tempat kos-kosan pekerja. “Sedangkan ganti rugi, termasuk ganti rugi tanam tumbuh, sejauh ini sudah berjalan baik, tidak ada masalah serius, ada satu dua, tetapi itu karena menunggu keluarga.”
Terkait kelong cacak yang masih terjadi negosiasi, katanya, mereka sebenarnya sudah mendata dengan melibatkan RT dan RW. Belakangan, setelah didata warga mendirikan kelong cacak baru.
“Kelong cacak itu kita sudah sepakati kalau itu mata pencaharian, kami ikuti permintaan mereka (ganti rugi), tetapi belakangan ada juga yang dibuat baru (kelong cacak), akhirnya yang mendaftar pertama cemburu,” katanya.
Dia juga merespon soal pekerjaan nelayan terancam dengan proyek ini. Johanes bilang, ketika PSN terlaksana banyak lapangan pekerjaan terbuka.
“Kita kasih pilihan, kalau yang bertani kita masukan dalam staf perusahaan, kalau yang melaut kita relokasi ke Pulau Ngenang, kembali ke tradisi awal (melaut).”
Sedangkan kerusakan laut karena pematangan lahan, katanya, sudah membangun batu armor besar penahan tanah. “Awalnya, aja warna air (laut) berubah. (Nanti) ikan lebih berkembang biak sekitar situ, karena sudah kita jaga dan benahi pantainya, akan lebih banyak pantai tertata dengan batu besar sebagai dinding penahan tanah,” kata Johanes.

Dorong evaluasi
Parid Ridwanuddin, Analis Kelautan dan Perikanan meminta, evaluasi PSN yang merusak tatanan sosial dan lingkungan masyarakat.
Menurut Parid, dalam Pasal 23 UU Nomor 27/2007, menyebutkan, hanya beberapa kegiatan boleh ada di pesisir pulau kecil dan perairan. Seperti buat konservasi, pendidikan, pelabuhan, pariwisata, usaha perikanan dan beberapa kegiatan lain.
“Merujuk pasal itu tidak ada pembangunan besar apalagi PSN di pulau-pulau kecil yang luasnya terbatas. Karena pulau-pulau kecil rentan bencana,” kata Parid.
Undang-undang itu, katanya, juga menegaskan pembangunan harus berdasarkan kesatuan ekologis dan ekonomi secara menyeluruh.
Seharusnya, kebijakan investasi tidak hanya berskala besar, aksi masyarakat pesisir menjaga laut dan pulau kecil hingga lestari adalah bentuk investasi masa depan.
“Pengalaman kita, banyak tempat pulau kecil diserahkan kepada investasi versi korporasi ada problem sosial dan ekologisnya.”
Padahal, katanya, menurut FAO masa depan laut berada di tangan masyarakat skala kecil bukan perusahaan besar.
Baru-baru ini, katanya, Prabowo sebut akan evaluasi PSN. “Ini momentum penting pemerintah melihat mengevaluasi dan hentikan berbagai PSN yang sebetulnya menggusur hidup masyarakat dan merusak lingkungan. Pemerintah harus punya keberanian kalau benar-benar berpihak kepada masyarakat.”
********
PSN Sasar Pulau Kecil di Batam, Kampung Suku Laut Bakal Relokasi