- Warga Desa Tani Indah, Konawe, Sulawesi Tenggara, terdampak polusi PLTU batubara dari kawasan industri yang beroperasi di wilayah mereka.
- Kamriadi, petani tambak, alami rugi puluhan juta karena tambaknya menghitam, terdampak debu batubara dan limbah buangan PLTU captive, Oktober 2024.
- Warga Tani Indah dan beberapa organisasi masyarakat sipil menggugat ke pengadilan atas dugaan pelanggaran HAM dan kerusakan lingkungan hidup.
- Walhi Sulawesi Tenggara sudah melakukan uji laboratorium terhadap air limbah, dan menemukan kandungan kadmium dan tembaga yang melebihi baku mutu.
Kamriadi, warga Desa Tani Indah, Konawe, Sulawesi Tenggara, pasrah menatap tambaknya menghitam. Angin barat yang bertiup, Oktober 2024, membawa debu hitam dari Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) dalam kawasan industri (captive), 200 meter sebelah utara rumahnya.
Dia lemas bukan main. Mimpi menghidupi keluarganya dari budidaya bandeng buyar dalam waktu beberapa jam. “Kita mau apa lagi,” katanya.
Kala itu, pria 34 tahun ini bangun seperti biasa sekitar pukul 3.00. Dia bergegas ke tambak terdekat, memantau bandeng yang siap panen.
Kamriadi bahagia tiap kali melihat kilau sisik bandeng yang kena sinar terang senternya. Dini hari itu, Ikan-ikan dalam kondisi sehat. Dia membuka pintu irigasi saluran air tambak yang mengatur aliran air ke tambak, menguras air payau di dalamnya.
Pagi harinya, ikan-ikan itu mengambang, mati.
Nasib miris tak hanya menimpa Kamriadi, petani tambak lain, juga merugi. Aktivitas PLTU PT Obsidian Stainless Steel (OSS) yang diduga membuang limbah cair panas beracun ke sungai jadi biang kerok.
Air sungai itu mengalir masuk ke tambak. PLTU OSS beroperasi dekat area tambak yang mengitari pemukiman warga.
Bahar, Humas OSS membantah tudingan itu. Saat meninjau langsung lokasi tambak dengan ikan yang mati, Dia menyatakan, sudah memastikan tidak ada limbah cair PLTU masuk ke sungai, lalu mengalir ke tambak.
“Itu (limbah) tidak langsung dikasih keluar. Ada pembuangan (khusus) yang kita buat di dalam,” katanya. Perusahaan dianggap tidak transparan memperlihatkan sistem pengolahan limbah cair panas PLTU ke warga.
Ucapan Bahar pun membuat kecewa warga Tani Indah. Sejak lama mereka menderita paparan polusi aktivitas smelter OSS. Selain OSS, ada juga PT Virtue Dragon Nickel Industry (VDNI). Keduanya, perusahaan smelter nikel yang mengapit desa.
OSS dan VDNI, merupakan dua perusahaan yang beroperasi di dalam satu wilayah bernama kawasan industri nikel Morosi. Kedua perusahaan itu bergerak di bidang pertambangan dan pengolahan nikel, dan menjadi bagian PT Indonesia Morowali Industrial Park (IMIP).
OSS fokus pada produksi stainless steel, sedang VDNI mengolah nikel menjadi produk olahan seperti feronikel.
“Dulunya, di sini daerah tambak besar. Tahun 2014, beralih status menjadi mega industri,” kenang Kamriadi.
Sebelum PLTU beroperasi, panen bandeng setiap tiga bulan. Kini, frekuensi panen jadi satu kali dalam satu tahun. “Adapun ukuran ikan panen sekarang tubuhnya mengerdil,” katanya.
Dia sudah pernah melapor ke Kepolisian terdekat mengenai dugaan aktivitas PLTU OSS merusak lingkungan. “Kurang direspon kalau masyarakat yang melapor (ke polisi), beda halnya kalau perusahaan yang melaporkan masyarakat,” katanya.
Walhi Sultra menginisiasi uji laboratorium pembuangan limbah cair panas PLTU OSS ke sungai yang mengalir masuk ke tambak. Hasilnya, kandungan logam berbahaya Kadmium (Cd) sebesar 0,0977 mg/L, baku mutu hanya 0,01 mg/L, serta Tembaga (Cu) 0,0485 mg/L dengan baku mutu wajar 0,02 mg/L.
Kadmium merupakan logam beracun bagi kehidupan air, dapat menyebabkan masalah pernapasan, kerusakan organ, gagal reproduksi, dan dampaknya bagi kesehatan manusia meliputi kerusakan ginjal, tulang rapuh, dan risiko kanker. Sementara tembaga berbahaya bagi organisme air, mempengaruhi respirasi dan reproduksi, dan berisiko pada manusia bisa hati dan ginjal.

Gugat hukum
Warga pun ajukan gugatan hukum atas dugaan pelanggaran HAM dan kerusakan lingkungan OSS dan VDNI, Desember 2024. Gugatan warga lakukan bersama Walhi Sultra, LBH Kendari, dan Yayasan Lembaga Bantuan Hukum (YLBH) Makassar ke Pengadilan Negeri Unaaha, Konawe.
Hingga kini proses persidangan telah berlangsung beberapa kali.
“Harus ada sanksi tegas dari pemerintah, terhadap perusahaan yang selama ini tidak menjalankan prosedur pengolahan lingkungan dengan baik,” kata Andi Rahman, Direktur Eksekutif Walhi Sultra. “Selama ini, pemerintah tidak transparan mengawasi aktivitas PLTU di dua perusahaan tersebut.”
Mongabay coba mengonfirmasi laporan dan temuan ini ke Ihsan Amar, Humas VDNI. Sayangnya, upaya komunikasi lewat pesan atau telpon, tidak ada respons sampai Jumat (7/3/25).

Polusi dan ISPA
Samsudin selalu tersiksa di malam hari, setiap kali berusaha menarik nafas panjang. “Dada saya sakit,” kata pria 69 tahun itu.
Dia memperlihatkan hasil rontgen Instalasi Radiologi Rumah Sakit Umum Daerah Kendari. Katanya, dokter yang memeriksa hasil rontgen itu mengatakan paru-parunya infeksi, terpapar banyak debu.
“Setiap pagi–malam, kita kedatangan tamu debu batubara,” kata Besse, istri Samsudin.
Dia menunjuk ke sebaran debu batubara menempel di atap seng dan di dinding-dinding papan rumahnya. Di mana-mana ada debu batubara. Mereka berdua hidup dalam satu petak ruangan sempit, pengap, lembab, dan tidak layak huni.
Satu-satunya tambak mereka di pekarangan rumah sudah tidak produktif. Terkontaminasi polusi batubara dari cerobong PLTU OSS yang berhadap-hadapan langsung dengan tambaknya.
Zainuddin, tetangga mereka, bahkan kehabisan cara melindungi kebun jagungnya dari paparan polusi debu batubara dari cerobong PLTU OSS. Ladang di pekarangan rumahnya pun perlahan-lahan mati, menyisakan jagung yang hanya tumbuh di atas lahan kecil seluas 4×4 meter persegi.
Pria 30 tahun itu jadi satu-satunya petani jagung di Tani Indah. Tapi, polusi batubara bagai hujan yang turun menutupi tanaman jagungnya setiap saat.
“Selama ada perusahaan (PLTU), ada penurunan kualitas (tanaman).”
Kehadiran dua PLTU captive membuat lelaki di Desa Tani Indah hanya memikirkan cara bagaimana pertanian mereka aman dari polusi. Sementara ibu-ibu rumah tangga, sibuk membersihkan debu batubara yang mengotori lantai rumah, dinding, perabot, dan peralatan makan, pagi dan sore hari.
Tumpukan batubara mengepung Tani Indah dari berbagai sisi. Hanya arah barat laut mereka saja yang aman, itu pun masih ada tambang nikel yang debunya kerap masuk ke desa ini.
“Seperti resep obat, dua kali satu,” kata seorang ibu rumah tangga yang kesal karena harus bersih-bersih secara berkala.
Masyarakat pun selalu mendapati sajian makanan di meja dapur terpapar debu batubara. Debu batubara menyibukkan semua orang.
Warga Tani Indah pun teriserang Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA). Sebagian kecil berobat ke dokter spesialis penyakit dalam di kota. Sebagian besar lainnya ke pelayanan kesehatan terdekat di Puskesmas Motui.
Puskesmas itu mencatat 549 pasien ISPA tahun 2023. Menurut Puskesmas, ISPA akibat terpapar polusi debu, tanpa merinci jenis debu yang dia maksud.
“Saya hanya minum obat herbal, takut minum obat kimia,” katanya.
Dia berharap, Pengadilan Unaaha memenangkan gugatan mereka atas OSS dan VDNI. “Karena harapan masyarakat ya sisa itu,” ujar Kamriadi.
Fatih Gama Abisono, kandidat doktor ilmu politik Universitas Gadjah Mada (UGM) yang sedang meneliti penggunaan batubara di tengah isu transisi energi, berpendapat, batubara mereka perlukan untuk peleburan nikel tetapi bermasalah dan berdampak buruk pada lingkungan maupun masyarakat terlebih musim kemarau.
“Bulan-bulan yang bermasalah itu di Juli, Agustus, September, Oktober,” kata Abisono.
Berbeda saat musim hujan, air bisa menangkap tebaran partikel batubara. Namun kondisi itu berbeda dengan situasi cuaca sekarang yang terus berubah-ubah, terdampak krisis iklim.
Menurut dia, perlu perbaikan tata kelola penggunaan batubara untuk mengurangi dampak negatif PLTU, antara lain, dengan memastikan proses hulu-hilir batubara terkelola dengan baik.
Selain itu, perencanaan awal juga penting, seperti pemukiman, area produksi, dan area bongkar muat batubara di jarak yang aman dari pemukiman.
*****
Sumber Pangan Terancam Musnah saat Tambang Nikel Sesaki Pulau Gebe