- Byuku [Orlitia borneensis], merupakan jenis kura-kura air tawar terbesar di Asia Tenggara. Tersebar di Indonesia [Kalimantan dan Sumatera] serta Malaysia [Semenanjung Malaysia].
- Spesies semi akuatik ini adalah penghuni lanskap lahan basah [danau-danau besar, rawa-rawa, dan sungai-sungai yang mengalir pelan]. Ekologinya kurang dipahami, namun kemungkinan besar adalah omnivora.
- Byuku bersama kura-kura air tawar lainnya, punya peran penting dalam menjaga kesehatan lahan basah, khususnya sebagai “pemulung” bangkai ikan yang dapat membahayakan kesehatan ekosistem air tawar.
- Lahan basah memiliki peran layaknya ginjal pada manusia, bertugas memfilter semua racun dan limbah yang ada di perairan tawar, dan memastikan kualitas air yang penting bagi kehidupan semua makhluk hidup.
Sebuah kerapas atau tempurung kura-kura berukuran besar yang tergantung di pondok kebun warga, menarik perhatian kami. Panjangnya sekitar 60 sentimeter dengan diameter sekitar 30 sentimeter.
“Orang sini menyebutnya byuku. Itu belum seberapa, masih anakan. Kami pernah melihat yang lebih besar dari itu,” kata Kasmin, pemilik pondok yang baru selesai menyadap karet di kebunnya, di sekitar Desa Tempirai, Kabupaten Penukal Abab Lematang Ilir [PALI], Sumatera Selatan, akhir Desember 2024.
Diceritakan Kasmin, tempurung byuku itu sudah tergantung di kebunnya sekitar 10 tahun. Warnanya menguning karena terkena sinar matahari dan asap dari dapur pondoknya.
“Byuku itu tidak sengaja memakan umpan tajur [pancing] yang terpasang sekitar dua hari di sekitar rawa-rawa Sungai Penukal. Saat kami hampiri, ternyata byuku sudah mati,” katanya.
Byuku, merupakan spesies yang berperan penting di lahan basah Desa Tempirai yang luasnya mencapai 13.904 hektar. Namun, dalam 10 tahun terakhir, warga Desa Tempirai yang berkebun sekaligus mencari ikan, mulai jarang melihatnya.
“Dulu sangat mudah ditemui, terutama saat air mulai surut dan muncul lebung-lebung tempat berkumpulnya ikan,” kata Hoimi, pencari ikan di Desa Tempirai.
Ibrahim, Kepala Dusun VII Desa Tempirai Selatan mengatakan, penurunan populasi byuku mungkin disebabkan perburuan yang dilakukan orang dari luar Tempirai.
“Kalau ikan, di sini masih banyak. Kami juga tidak mengonsumsi byuku,” lanjut Ibrahim.
Byuku, biuku, bajuku, atau kura-kura gading, memiliki nama ilmiah Orlitia borneensis, masuk dalam keluarga Geoemydidae dan tersebar di Indonesia [Kalimantan dan Sumatera] serta Malaysia [Semenanjung Malaysia]. Seperti julukannya [Malaysian Giant Turtle], kura-kura air tawar ini merupakan jenis terbesar yang ada di Asia Tenggara.
Mengutip ecologyasia.com, panjang kerapas byuku dapat mencapai 80 cm dan berat maksimum 50 kilogram. Spesies semi akuatik ini menghuni danau-danau besar, rawa-rawa, dan sungai-sungai yang mengalir pelan. Kaki berselaputnya besar, berfungsi layaknya dayung, dengan cakar panjang dan tebal.
“Ekologi jenis ini kurang dipahami, namun tampaknya sangat omnivora. Mungkin memakan buah-buahan yang jatuh dan bahan tanaman lainnya, serta ikan dan vertebrata lain yang tersedia.”
Baca: Kura-kura Matahari, Statusnya Tidak Dilindungi Meski Terancam Punah
Menjaga Kesehatan Lahan Basah
Lahan basah memiliki peran layaknya ginjal pada manusia, bertugas memfilter semua racun dan limbah yang ada di perairan tawar, dan memastikan kualitas air yang penting bagi kehidupan semua makhluk hidup.
Menurut Hoimi, byuku di Desa Tempirai memakan ikan, buah-buahan hutan yang jatuh ke air, dan bangkai ikan atau apapun yang dapat mengancam kualitas air.
Mengutip penelitian Santori dan kolega [2020], yang menelusuri peran penting kura-kura dalam menjaga kesehatan ekosistem air tawar, kematian ikan dapat menurunkan kualitas air dengan meningkatkan konsentrasi amonia dan nitrat, dan mendorong mekarnya fitoplankton dan sianobakteri, yang menurunkan konsentrasi oksigen terlarut.
“Bersama-sama, efek-efek ini dapat menyebabkan hilangnya keanekaragaman hayati yang menghancurkan dan merusak ekosistem. Kematian ikan juga memiliki dampak pada manusia; mekarnya bakteri dan sianobakteri dapat menyebabkan penyakit serius, seperti botulisme,” tulis Santori dan kolega.
Di tengah ancaman berbagai aktvitas antropogenik yang mengepung dan merusak lahan basah, peristiwa kematian ikan diperkirakan akan meningkat. Dan, keberadaan kura-kura menjadi penting.
“Kura-kura adalah pemulung penting dalam sistem air tawar, tetapi penurunan global mereka berarti bahwa peran ini sedang hilang,” tulisnya.
Penelitian yang sama menyimpulkan bahwa kelimpahan kura-kura yang besar secara historis sangat penting untuk membuang bangkai dengan cepat sebelum membusuk, menjaga ekosistem air tawar yang sehat dan mempercepat pemulihan kualitas air selama kematian ikan.
“Penurunan konsentrasi amonia yang lebih cepat akibat pemulungan oleh kura-kura, kemungkinan akan membantu mencegah kematian hewan akuatik lebih lanjut dan mengurangi tingkat pertumbuhan cyanobacterial setelah kematian ikan, sehingga membantu manusia terhindar dari penyakit yang diakibatkannya.”
Baca: Hutan Adat Talun Sakti, Rumah bagi Kura-Kura Hutan yang Langka
Evolusi
Meskipun telah berada di bumi sejak ratusan juta tahun lalu, evolusi kura-kura air tawar belum cukup membantu mereka untuk selamat dari ancaman kepunahan.
Mengutip buku “Turtles of the World” yang ditulis Thomson [2021], keanekaragaman kura-kura dan penyu [chelonia] di dunia sekitar 356 spesies, dengan 122 subspesies tambahan yang diketahui. Akan tetapi, 11 dari spesies dan subspesies ini telah punah.
“Dari semua taksa penyu yang masih hidup, 7 spesies adalah penyu laut, sehingga tersisa 341 spesies dan total taksa 460 kura-kura dan penyu air tawar dan darat yang masih hidup,” tulis penelitian tersebut.
Sementara byuku [Orlitia borneensis], mengutip Daftar Merah IUCN, sudah sangat berkurang di sebagian besar wilayah sebarannya, dengan pengurangan populasi lebih dari 80 persen akibat eksploitasi selama tiga generasi terakhir [90 tahun].
“Subpopulasi Malaysia hampir sepenuhnya menghilang dan kelimpahannya menurun di Indonesia sehingga memenuhi syarat untuk status Kritis [CR] atau satu langkah lagi menuju kepunahan di alam liar.”
Masih dari situs Daftar Merah IUCN, sejumlah faktor ancaman populasi byuku datang dari perdagangan di pasar makanan Asia Timur dalam jumlah besar, baik hewan berukuran sedang maupun besar, meskipun berstatus legal.
“Sebelumnya, spesies ini diekspor dalam jumlah besar dari Indonesia meskipun ada perlindungan resmi [dilindungi]. Konversi habitat di sekitarnya menjadi perkebunan sawit menimbulkan ancaman tambahan.”
Baca juga: Kura-Kura Leher Ular Rote dan Masa Depan Konservasinya
Pada 2006, berdasarkan laporan lembaga konservasi fauna Kadoorie Farm & Botanic Garden [KFBG], sekitar 10.000 cangkang bawah kura-kura yang diselundupkan dari Jawa, Indonesia, digagalkan Pemerintah Hongkong.
Dari hasil pengecekan tim, tidak ada penyu dewasa berukuran besar dalam sampel yang ditangkap. “Penangkapan tunggal ini hanya mewakili sebagian kecil dari perdagangan besar-besaran spesies ini dan jelas perdagangan kura-kura liar ini tidak berkelanjutan.”
Sebagai informasi, menurut data Hutan Kita Institute [Haki], diperkirakan 231.741 hektar rawa gambut berubah fungsi menjadi perkebunan sawit oleh 70 perusahaan di Sumatera Selatan.
Sebarannya berada di Kabupaten Ogan Komering Ilir [OKI], Kabupaten Banyuasin, Kabupaten Ogan Ilir [OI], Kabupaten PALI, Kabupaten Musi Banyuasin, Kabupaten Musi Rawas, dan Kabupaten Musi Rawas Utara.
Selain perkebunan sawit, sekitar 17 perusahaan menjadikan rawa gambut sebagai hutan tanaman industri [HTI] seluas 559.220 hektar. Serta, sekitar 332.158 hektar dijadikan permukiman [transmigran], perkebunan rakyat, pabrik, dan jalan.
Referensi:
Santori, C., Spencer, R.-J., Thompson, M. B., Whittington, C. M., Burd, T. H., Currie, S. B., Finter, T. J., & Van Dyke, J. U. (2020). Scavenging by threatened turtles regulates freshwater ecosystem health during fish kills. Scientific Reports, 10(1), 14383. https://doi.org/10.1038/s41598-020-71544-3
Thomson, S. (2021). Turtles of the World: Annotated Checklist and Atlas of Taxonomy, Synonymy, Distribution, and Conservation Status. Phyllomedusa: Journal of Herpetology, 20, 225–228. https://doi.org/10.11606/issn.2316-9079.v20i2p225-228