- Berbagai pola lama khas kolonialisme masih ada di perkebunan sawit hingga kini. Struktur dan peristilahan kolonial seperti afdeling atau komidel masih jadi bagian dari keseharian di kebun sawit. Walaupun industri ini sudah lama, kondisi buruh perkebunan sawit masih jauh dari ideal. Mereka masih terus terpinggirkan.
- Rizal Assalam, Koordinator Transnational Palm Oil Labour Solidarity Network (TPOLS) mengatakan, enam poin penting masalah ini masih sangat relevan dan tak pernah berubah lebih 100 tahun industri sawit beroperasi di Indonesia sejak 1911. Kondisi buruh di industri sawit sangat tipikal, atau tak ada perubahan dari masa ke masa.
- Dianto Arifin, dari Serikat Pekerja Sawit Indonesia mengatakan, sebagian besar buruh, tak memiliki jaminan kerja layak, karena perusahaan seringkali menerapkan sistem pengupahan berdasarkan satuan hasil kerja dan satuan waktu. Kondisi ini, membuat mereka jadi kelompok rentan kecelakaan kerja, apalagi tak ada pemeriksaan kesehatan memadai oleh perusahaan.
- Uli Arta Siagian, Manajer Kampanye Hutan dan Perkebunan Walhi Nasional, mengatakan, ekspansi perkebunan sawit skala besar, berdampak tak hanya lingkungan, juga menciptakan tenaga kerja murah. Wilayah masyarakat adat dan komunitas lokal bisa saja perusahaan ambil untuk jadi kebun sawit.
Berbagai pola lama khas kolonialisme masih ada di perkebunan sawit hingga kini. Struktur dan peristilahan kolonial seperti afdeling atau komidel masih jadi bagian dari keseharian di kebun sawit. Walaupun industri ini sudah lama, kondisi buruh perkebunan sawit masih jauh dari ideal. Mereka masih terus terpinggirkan.
Berbagai pola lama khas kolonialisme masih ada di perkebunan sawit hingga kini. Struktur dan peristilahan kolonial seperti afdeling atau komidel adalah bagian dari keseharian masyarakat kebun. Walaupun industri ini sudah lama, kondisi buruh perkebunan sawit masih jauh dari ideal. Mereka masih terus terpinggirkan.
Serikat-serikat buruh, pejuang agraria dan kelompok sipil yang tergabung dalam Jaringan Solidaritas Transnational Palm Oil Labour Solidarity Network (TPOLS) menemukan setidaknya ada enam poin penting seputar masalah buruh di industri perkebunan sawit di Indonesia sepanjang 2024.
Rizal Assalam, Koordinator TPOLS mengatakan, enam poin penting masalah ini masih sangat relevan dan tak pernah berubah lebih 100 tahun industri sawit beroperasi di Indonesia sejak 1911. Kondisi buruh di industri sawit sangat tipikal, atau tak ada perubahan dari masa ke masa.
Pertama, kondisi kerja buruk dengan upah rendah masih jadi masalah utama. Banyak pekerja industri sawit yang bekerja musiman dengan status tidak jelas, atau hanya pekerja harian lepas. Parahnya, mayoritas pekerja dengan status harian lepas ini adalah perempuan.
Ironisnya, upah buruh harian lepas ini bergantung pada jumlah tandan buah segar (TBS) hasil panen, atau hanya bayar per hari tanpa jaminan. Dengan sistem seperti ini, katanya, buruh sering kali terpaksa melibatkan anggota keluarga, termasuk anak-anak, demi meningkatkan pendapatan mereka.
Kedua;, eksploitasi berbasis gender dan kondisi kerja membahayakan. Temuan menunjukkan, buruh perempuan di sektor pemupukan dan perawatan kebun sawit seringkali alami eksploitasi dengan risiko kerja tinggi. Mereka sering kali tidak peroleh alat pelindung diri (APD) sesuai standar, dan tak dapatkan pemeriksaan kesehatan memadai.

Fenomena ini, kata Rizal, sangat berdampak pada perempuan, terutama kesehatan reproduksi mereka. Di perkebunan, fasilitas air bersih sangat terbatas hingga jadi masalah besar bagi perempuan, terutama saat mereka menstruasi. Dampaknya, buruh perempuan seringkali terpaksa bertahan hingga 8 jam gunakan pembalut selama bekerja.
“Akses air di perkebunan hanya ada di parit kecil yang sudah terkontaminasi racun pestisida dan pupuk kimia,” kata Rizal dalam konferensi pers Catatan Akhir Tahun Perkebunan Sawit, Desember lalu.
Ketiga, sertifikasi Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO) gagal memastikan kepatuhan perusahaan. Proses audit lembaga sertifikasi sering dimanipulasi. Misal, perusahaan sudah menyiapkan buruh jawaban kalau auditor datang untuk periksa.
Keempat, terus ekspansi perkebunan sawit meskipun pernah ada moratorium. Ekspansi perkebunan sawit melalui skema pertanian kontrak atau plasma yang memicu konflik lahan.
Dia contohkan, kasus antara petani plasma di Kabupaten Buol dengan perusahaan perkebunan sawit PT Hardaya Inti Plantations (HIP).
“Petani merasa ditipu oleh skema revitalisasi perkebunan model plasma yang diterapkan oleh HIP. Para petani pemilik lahan terpaksa menanggung utang hingga ratusan juta rupiah per orang.”
Kelima, penggunaan kekerasan berlebihan oleh aparat keamanan terus terjadi dalam industri sawit. Hal ini tercermin dalam potret masyarakat Desa Bangkal, Seruyan, Kalimantan Tengah (Kalteng), yang terlibat konflik dengan perusahaan sawit PT Hamparan Masawit Bangun Persada (HMBP).
Ketika masyarakat Desa Bangkal menuntut hak tanah plasma, perusahaan justru mengerahkan aparat keamanan, termasuk brimob, yang menyebabkan seorang warga tewas tertembak.
Keenam, ketidakbebasan berserikat dan pemberangusan serikat buruh masih terjadi di industri sawit. Rizal bilang, mayoritas perusahaan perkebunan sawit di Indonesia melarang pembentukan serikat buruh di lingkungan mereka. Tak jarang, buruh yang berusaha memprotes masalah terkait hak-hak mereka, mengalami intimidasi atau pemberangusan serikat.

Dianto Arifin, dari Serikat Pekerja Sawit Indonesia benarkan semua temuan TPOLS. Menurut dia, apa yang Rizal sampaikan adalah kondisi setiap hari buruh rasakan. Dia bilang, konflik lahan sampai masalah upah jadi masalah pelik buruh.
Sebagian besar buruh, katanya, tak memiliki jaminan kerja layak, karena perusahaan seringkali menerapkan sistem pengupahan berdasarkan satuan hasil kerja dan satuan waktu. Kondisi ini, katanya, membuat mereka jadi kelompok rentan kecelakaan kerja, apalagi tak ada pemeriksaan kesehatan memadai oleh perusahaan.
“Buruh harus membeli sendiri peralatan kerja, termasuk alat pelindung diri (APD), dengan biaya ratusan ribu rupiah. Seharusnya, APD diberikan gratis perusahaan, pekerjaan buruh berisiko tinggi,” kata Dianto.
Buruh, katanya, juga tak boleh menentukan waktu kerja saat mereka mengerjakan pekerjaan borongan. Setiap buruh pemupukan punya target menyelesaikan 4-5 hektar lahan, dengan upah tidak menentu. Upah bergantung dosis dan takaran tebaran pupuk.
Masalah penting lain dalam industri sawit, katanya, rekrutmen buruh migran antar pulau tidak sesuai prosedur. Perusahaan, katanya, seringkali melibatkan pihak ketiga, seperti mandor kebun atau orang kepercayaan perusahaan, untuk merekrut buruh.
“Dampaknya, perusahaan dapat lepas tangan dengan tidak memberikan perjanjian kerja jelas, seringkali buruh merasa tertipu karena tidak sesuai kenyataan saat tiba di perkebunan.”
Praktik rekrutmen non-prosedural ini, katanya, dekat sekali dengan perdagangan orang, karena perusahaan bisa lepas tangan kalau terjadi pelanggaran ketenagakerjaan. Dia pernah mengadvokasi buruh perempuan yang mengalami hal itu.
Upah buruh rata-rata Rp 2-Rp2,5 juta meskipun bekerja penuh selama sebulan. Angka ini, katanya, jauh di bawah kesepakatan awal antara buruh dan perusahaan, seharusnya Rp 4-Rp6 juta per bulan.
Buruh juga harus mencicil peralatan masak Rp600.000 per bulan dan membayar APH Rp300.000 per bulan ke perusahaan.
Buruh perempuan, katanya, tidak tahu harus berapa lama melunasi utang ke perusahaan hingga upah mereka terpotong utang-utang itu. Kondisi ini, katanya, membuat buruh memilih harus melarikan diri dari perusahaan, dan pulang kampung.
“Meskipun rekrutmen buruh di Industri sawit sangat penting, tetapi perusahaan juga perlu memastikan status buruh. Tidak boleh perusahaan lepas tangan saja ketika ada masalah buruh, terutama buruh perempuan,” katanya.
Dianto berharap, perusahaan memfasilitasi pelatihan bersertifikasi bagi buruh yang berhubungan langsung dengan bahan kimia, terutama buruh perempuan. Perusahaan juga diharapkan mesti lakukan pemeriksaan kesehatan buruh setiap tiga bulan sekali hingga paparan kimia bisa terdeteksi lebih awal
Selanjutnya, katanya, perusahaan juga memberikan APD dan alat kerja gratis demi kelancaran produktivitas di perkebunan sawit. Adapun pemerintah juga memperkuat fungsi pengawasan melalui Dinas Ketenagakerjaan di setiap wilayah. Kalau terealisasi, kondisi kerja buruh jauh lebih baik.

Ketidakadilan sektor sawit
Damar Panca, Sekretaris Jenderal Konfederasi Persatuan Buruh Indonesia (KPBI), mengatakan, terjadi ketidakadilan dalam pembangunan industri sawit di Indonesia. Alih-alih mensejahterakan dan melindungi hak-hak dasar buruh, pembangunan sawit justru seringkali meminggirkan mereka.
Dia menyebutkan, hanya segelintir orang raup untung dari industri sawit, sedang buruh terus terjebak dalam kemiskinan. Terlebih lagi, katanya, ada sekitar 25 perusahaan perkebunan sawit di Indonesia tidak memiliki nomor pokok wajib pajak (NPWP).
“Perusahaan yang tidak memiliki NPWP ini sama sekali tidak berkontribusi kepada negara, karena tidak membayar pajak. Merampas lahan pertanian warga, dan merusak lingkungan. Perusahaan-perusahaan ini juga tidak melindungi hak-hak buruh,” katanya.
Ironisnya, kondisi industri sawit makin parah dengan kehadiran UU Cipta Kerja, yang memperkokoh praktik eksploitasi di perkebunan.
UU itu, katanya, memberikan landasan hukum yang membenarkan perekrutan buruh kasual atau musiman dengan sistem upah berdasarkan satuan hasil dan satuan hari kerja.
UU Cipta Kerja, katanya, membuat buruh sawit terperangkap dalam ketidakpastian dunia kerja, bahkan upah tergolong rendah. Padahal, industri sawit menyumbang sekitar 42% dari pasokan minyak nabati dunia, dengan Indonesia menguasai 60% dari pangsa pasar produsen minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO) global.
Damar bilang, perusahaan sawit di Indonesia rata-rata tidak memberikan kepastian kerja kepada buruh. Sekitar 70% buruh dengan sistem kontrak atau harian lepas hingga perusahaan dapat meraih keuntungan besar dengan biaya buruh minim.
“Hal ini berdampak buruk bagi buruh, karena perusahaan dapat kapan saja melakukan pemutusan hubungan kerja kepada buruh tanpa ada jaminan kepastian kerja.”
Mayoritas perusahaan sawit di Indonesia anti serikat pekerja.
“Ada juga modus mutasi ke luar daerah oleh perusahaan terhadap buruh yang aktif berserikat. Kami memandang mutasi ini sebagai bentuk pemberangusan serikat,” katanya.Hotler “Zidane” Parsaoran, dari Sawit Watch mengatakan, perlu ada kebijakan khusus untuk buruh di perkebunan sawit. Dia menggarisbawahi bagaimana UU Ketenagakerjaan No. 13/2003 kurang representatif melindungi buruh perkebunan sawit.
Menurut dia, lanskap dan kondisi kerja di perkebunan sawit cenderung berbeda dari sektor manufaktur. Keadaan ini, katanmya katanya, bisa terlihat dari kebutuhan kalori jauh lebih tinggi. Juga, penerapan beban kerja berdasarkan tiga hal, target tonase, luas lahan, dan target jam kerja.
“Masalah-masalah dasar seperti hubungan kerja, K3, sanitasi, air bersih yang cukup, fasilitas kesehatan tidak disediakan dengan layak oleh perusahaan bisa diakomodir dalam kebijakan baru,” katanya.
Zidane bilang, Sawit Watch berupaya mendorong Rancangan Undang-undang Perlindungan Buruh Perkebunan Sawit. Sayangnya, pemerintah justru lebih banyak memberikan dukungan masif terhadap industri ini melalui kebijakan revitalisasi perkebunan, pembangunan kawasan ekonomi khusus, pengembangan biodiesel, hingga melobi negara-negara konsumen.
Dukungan pemerintah terhadap industri sawit, katanya, tidak berbarengan dengan kebijakan-kebijakan penting perlindungan ketenagakerjaan buruh sawit.
Uli Arta Siagian, Manajer Kampanye Hutan dan Perkebunan Walhi Nasional, mengatakan, yang terjadi dalam sektor industri perkebunan sawit ini tak lain pengaruh politik dan kebijakan internasional.
Dia sebutkan, kebijakan energi Uni Eropa yang jadikan biodiesel satu sumber energi utama pada 2007-2008. Ketika kebijakan itu berjalan, ekspansi perkebunan sawit di negara-negara selatan, seperti Indonesia, makin masif.
Data Badan Informasi dan Geospasial (BIG), Kementerian Pertanian 2023, luas perkebunan sawit Indonesia 17,3 juta hektar, hampir 1,5 kali luas Pulau Jawa. Ekspansi perkebunan sawit skala besar, katanya, berdampak tak hanya lingkungan, juga menciptakan tenaga kerja murah. Wilayah masyarakat adat dan komunitas lokal bisa saja perusahaan ambil untuk jadi kebun sawit.
“Akibatnya, masyarakat adat dan komunitas lokal tidak lagi bisa bertani dan jadi petani. Pilihan mereka hanya bekerja di industri-industri, termasuk sawit, dengan upah rendah. Kondisi ini, akan makin memperburuk situasi buruh di Indonesia.”
Fenomena ini, katanya, sebagai akumulasi primitif, dengan masyarakat adat dan komunitas lokal tercerabut dari tanah mereka dan terlempar ke industri padat karya. Sisi lain, katanya, daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup sudah melebihi ambang batas (cap).
“Jika, perlindungan terhadap lingkungan, ekosistem, buruh, dan masyarakat tidak dilakukan di industri sawit, krisis iklim akan makin parah.”

*******