- Durian hutan yang tumbuh di puluhan jongot di Kabupaten PALI, Sumatera Selatan, seperti dian rimbe atau durian rimba dan dian jerging atau durian jerging, digemari harimau sumatera, tupai, beragam jenis bajing, serta monyet ekor panjang.
- Keberadaan tanaman buah hutan di jongot, juga mendatangkan beragam jenis burung seperti murai batu (Copsychus malabaricus), kacer (Copsychus saularis), kutilang (Pycnonotus aurigaster), serta burung pemakan buah dan serangga lain.
- Wilayah huluan lanskap Penukal dan Talang Ubi merupakan penyangga atau terhubung dengan kawasan lindung Benakat Semangus, yang merupakan habitat gajah dan harimau sumatera, serta fauna dan flora khas Sumatera lainnya.
- Kawasan lindung Benakat Semangus yang luasnya mencapai 259.801 hektar, berada di Kabupaten Musi Rawas, Kabupaten Musi Banyuasin, Kabupaten PALI, Kabupaten Lahat, dan Kabupaten Muara Enim.
Keberadaan jongot (kebun buah hutan) di lanskap Penukal dan Talang Ubi, Kabupaten PALI (Penukal Abab Lematang Ilir), Sumatera Selatan, bukan hanya sebagai rumah beragam jenis buah hutan, tetapi juga habitat satwa liar.
Durian hutan, seperti dian rimbe atau durian rimba (Durio oxleyanus) dan dian jerging atau durian jerging (Durio kutejensis), digemari beragam jenis satwa, sebut saja harimau sumatera [Panthera tigris sumatrae], tupai (Tupaia ferruginea), bajing [Sciuridae], monyet ekor panjang (Macaca fascicularis), dan simpai (Presbytis melalophos).
“Durian hutan itu rasanya enak sekali. Manis dan gasnya sedikit. Wajar kalau satwa menyukainya,” kata Suhardi [44], warga Tempirai Selatan, Kecamatan Penukal Utara, kepada Mongabay Indonesia, awal Februari 2025.
Dian rimbe ukurannya kecil, bulat, dan durinya lebih panjang dibanding durian yang dijual. Warna dagingnya kuning, umumnya setiap ruas berisi dua biji. Sedangkan dian jerging aromanya tidak terlalu menyengat, warna dagingnya kuning, beruas lima, dan setiap ruas berisi lima hingga enam biji.
“Setiap kali musim, kami berbagi dengan satwa-satwa tersebut,” jelasnya.
Dua jenis durian itu tidak menjadi komoditas ekonomi masyarakat di Penukal. Hanya dikonsumsi. Jika buahnya berlebih dibuat lempok (dodol durian).
Keberadaan tanaman buah hutan di jongot, juga mendatangkan beragam jenis burung seperti murai batu (Copsychus malabaricus), kacer (Copsychus saularis), kutilang (Pycnonotus aurigaster), serta burung pemakan buah dan serangga lain.
“Sesekali terlihat trenggiling (Manis javanica) maupun jenis musang (Viverridae),” kata Suhardi, yang juga pelestari kuntau, seni bela diri wong melayu di Sumatera Selatan.
Baca: Jongot, Hutan Adat dan Masyarakat Penukal

Penyangga Benakat Semangus
Kehadiran harimau sumatera dan beragam satwa di jongot, di lanskap Penukal atau Talang Ubi, dikarenakan wilayah ini terhubung atau penyangga kawasan lindung Benakat Semangus. Kawasan Benakat berada di hulu Penukal dan Talang Ubi.
Kawasan lindung Benakat Semangus yang luasnya mencapai 259.801 hektar, berada di Kabupaten Musi Rawas, Kabupaten Musi Banyuasin, Kabupaten PALI, Kabupaten Lahat, dan Kabupaten Muara Enim.
Dikutip dari buku Identifikasi dan Pemetaan Kantong-Kantong Habitat Gajah dan Harimau di Sumatera Selatan yang diterbitkan BKSDA Sumatera Selatan, FMIPA Universitas Sriwijaya, dan GIZ-Bioclime pada 2016, di kawasan lindung Benakat Semangus tidak terdapat ekosistem hutan alam. Kawasan ini didominasi hutan tanaman mencapai 108.753 hektar dan pertanian lahan kering seluas 92.000 hektar.
Tapi, kawasan ini menjadi habitat gajah sumatera (Elephas maximus sumatranus), harimau sumatera, trenggiling, siamang, simpai, tarsius, landak, kijang, kukang (Nycticebus coucang), macan dahan (Neofelis diardi), serta berbagai jenis burung, seperti elang brontok (Nisaetus cirrhatus) dan elang tikus (Elanus caerelueus).
Di masa lalu, rimba Benakat tidak dijadikan permukiman oleh masyarakat, termasuk Suku Musi di Penukal, sebab dipahami sebagai rumah gajah dan harimau sumatera yang sangat dihormati masyarakat. Tapi, rimba tersebut mulai terbuka ketika pemerintah Hindia Belanda menemukan sumur minyak bumi di sebuah talang milik beberapa keluarga.
Baca: Berbagi Durian dengan Gajah Sumatera

Talang itu bernama Talang Lamban Akar yang saat ini berubah menjadi Talang Akar, pada 1921. Tahun 1928 ditemukan sumur minyak baru di Pendopo. Dua sumur minyak ini menjadi penghasil minyak bumi terbesar di Asia Tenggara pada masanya. Pada 1954, puncak produksi dua sumur ini mencapai 43.800 barel minyak per hari.
“Berkembangnya perkebunan karet juga menyebabkan banyak hutan dibuka, sekitar 1920 hingga 1930-an, di era orang tua saya,” kata Nanang Asri (90), warga Desa Tempirai Selatan, awal Februari 2025. Hutan di lanskap Penukal dan Talang Ubi kian berkurang ketika hadirnya sejumlah perkebunan sawit tahun 2000-an.
Berdasarkan data BPS (Badan Pusat Statistik) di lanskap Penukal (Penukal Utara dan Penukal) yang luasnya 68 ribu hektar, perkebunan karet luasnya mencapai 30.389 hektar dan perkebunan sawit seluas 11.605 hektar. Sementara, di Talang Ubi yang luasnya mencapai 64.840 hektar, terdapat perkebunan karet seluas 18.786 hektar, dan perkebunan sawit seluas 9.332 hektar.
Aktivitas penambangan minyak bumi dan pengembangan perkebunan karet, menyebabkan lanskap Penukal dan Talang Ubi berupa ekosistem lahan basah dan dataran tinggi, didatangi berbagai suku bangsa. Hampir semua hutan dibuka menjadi kebun dan ladang.
Hingga 1980-an, kata Nanang Asri, masih terlihat harimau sumatera datang ke jongot untuk makan durian hutan.
“Harimau menunggu durian jatuh malam hari hingga subuh. Biasanya kami minta izin (harimau) jika ingin mengambil durian jatuh saat malam, supaya tidak berebut.”
Baca juga: Ripto, Durian Khas Trenggalek Bakal Terancam Kalau Ada Tambang Emas

Hidup harmonis dengan satwa
Muhammad Faizal, Ketua Rumah Budaya Tempirai mengatakan, masyarakat di Penukal hidupnya harmonis dengan beragam satwa, kecuali babi hutan, yang suka merusak kebun.
“Kalau harimau, itu satwa yang sangat dihormati.”
Selain itu, hampir semua satwa berkaki empat, tidak diburu untuk dijadikan makanan.
“Buktinya tidak ada masakan khas Penukal yang menggunakan binatang berkaki empat.”
Perburuan satwa, menurut cerita para tetua atau puyang kami, baru terjadi di masa Belanda, bersamaan datangnya orang Timur Tengah dan India, yang memperkenalkan masakan berbahan daging.
“Semua masakan khas Penukal berbahan ikan. Misalnya sagarurung [sale ikan berbumbu], sale ikan, ikan asin, pindang ikan, serta pekasem (fermentasi ikan).”
Dijelaskan Faizal, dulunya gajah juga menjelajah hingga ke lanskap Penukal.
“Buktinya di sini ada wilayah yang disebut turunan gajah. Kubangan gajah. Gajah juga tidak diburu.”
Saat ini, kata Faizal, hubungan harmonis itu mulai luntur. Banyak generasi muda yang mulai berburu burung, rusa, dan lainnya. Baik menggunakan kecepek atau menjerat.
“Kita berharap, perilaku buruk ini tidak bertahan lama,” paparnya.