- Konflik lahan antara Masyarakat Adat Tano Batak dengan perusahaan bubur kertas, PT. Toba Pulp Lestari (TPL) terus berlanjut. Kali ini, empat warga adat Keturunan Ompu Mamontang Laut Ambarita (Lamtoras), Desa Sihaporas, Kabupaten Simalungun kena vonis hukum pada 16 Januari lalu atas tuduhan menganiaya pekerja perusahaan milik Sukanto Tanoto ini.
- Boy Raja Marpaung, dari Perhimpunan Pembela Masyarakat Adat Nusantara (PPMAN) menilai putusan tersebut mencederai rasa keadilan. Hakim tidak keseluruhan aspek yang melatari peristiwa itu. Bahwa apa yang dilakukan warga, semata untuk mempertahankan tanah adat yang terdesak ekspansi TPL.
- Konflik antara TPL dengan masyarakat adat juga terjadi di Nagasaribu, Desa Pohan Jae, Kecamatan Siborongborong. Konflik memanas dipicu aksi TPL yang memblokir akses menuju hutan kemenyan yang selama ini menjadi sumber mata pencaharian warga.
- Salomo Sitohang, Head Coorporate Communication TPL membantah memblokir akses ke Hutan Kemenyan. Ia juga menyebut, penanaman pohon eucalyptus oleh perusahaan berada di luar wilayah hutan adat.
Konflik lahan antara Masyarakat Adat Tano Batak dengan perusahaan bubur kertas, PT. Toba Pulp Lestari (TPL) terus berlanjut. Kali ini, empat warga adat Keturunan Ompu Mamontang Laut Ambarita (Lamtoras), Desa Sihaporas, Kabupaten Simalungun kena vonis hukum pada 16 Januari lalu atas tuduhan menganiaya pekerja perusahaan milik Sukanto Tanoto ini.
Keempatnya adalah Jonny Ambarita, penjara satu tahun–dalam perkara terpisah juga vonis 1 tahun 2 bulan )–. Giovani Ambarita dan Parando Tamba dengan hukuman delapan bulan penjara dan Thomson Ambarita satu tahun. Mereka ajukan banding, kini menanti keputusan.
Erika Sari Emsah Ginting, Ketua Majelis Hakim menyatakan, para terdakwa terbukti sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana penganiayaan dan pengeroyokan terhadap seorang pekerja TPL di kawasan hutan produksi pada 2024.

Cederai keadilan
Boy Raja Marpaung, dari Perhimpunan Pembela Masyarakat Adat Nusantara (PPMAN), sekaligus penasihat hukum warga menilai putusan itu mencederai rasa keadilan. “Ini sangat mengecewakan, karena tidak melihat perkara secara keseluruhan,” katanya, seusai sidang.
Majelis Hakim, katanya, hanya melihat kasus sepotong, tanpa mempertimbangkan keseluruhan aspek yang melatari peristiwa itu. Bahwa apa warga lakukan, semata untuk mempertahankan tanah adat. Dari vonisitu, dia menyatakan akan menempuh upaya hukum berikutnya (banding).
“Untuk Jhoni Ambarita dalam kasus 2022, kita akan banding karena dia tidak bersalah, hanya mempertahankan tanah ulayat leluhurnya yang diserobot dan diambil paksa oleh perusahaan TPL,” katanya.
Konflik antara Masyarakat Adat Lamtoras Sihaporas dengan TPL ini sejatinya sudah berlangsung lama. Pada 2022, bentrokan pun terjadi terpicu pembongkaran blokade jalan di Buntu Pangtuiran dan sikap perusahaan yang menuduh warga membakar hutan.
Situasi makin memanas ketika 14 Mei 2024, Samuel Sardiaman Sinaga, perwakilan TPL, diduga menghina leluhur masyarakat adat dan melakukan kekerasan terhadap Nurinda Napitu, warga setempat. Tindakan Samuel memicu kemarahan warga Lamtoras yang kemudian terjadi bentrokan.
Pada 8 Juli 2024 dini hari, polisi tangkap empat warga itu. Mereka kena tuduh mengeroyok dan kekerasan terhadap barang atau orang, sebagaimana Pasal 170 KUHP.

Konflik lain
Bentrokan di Sihaporas bukanlah satu-satunya konflik yang melibatkan TPL dengan masyarakat adat. Perusahaan juga berkonflik dengan Masyarakat Adat Nagasaribu, Desa Pohan Jae, Kecamatan Siborongborong. Bentrokan pun terjadi Senin (20/1/25) ketika perusahaan beraktivitas di hutan kemenyan.
Berdasar informasi yang Mongabay himpun, peristiwa itu terpicu aksi TPL yang memasang plang penghalang menuju hutan kemenyan. Setelah upaya negosiasi gagal, bentrokan pun tak terhindarkan. Dalam insiden itu, dua warga, satu perempuan terluka terkena pukulan tongkat besi dari petugas keamanan TPL.
Juniaty Aritonang, Direktur Bantuan Hukum dan Advokasi Rakyat Sumatera Utara (Bakumsu) menyatakan, jalan yang TPL blokir merupakan akses utama menuju hutan kemenyan. Hutan itu menjadi sumber ekonomi masyarakat sekitar, bahkan dari luar wilayah Nagasaribu sekalipun.
Konflik muncul lantaran kehadiran TPL menyebabkan kerugian ekonomi karena wilayah adat banyak tergerus konsesi perusahaan. Langkah perusahaan memblokir akses menuju hutan kemenyan menambah runyam persoalan.
“Akibatnya, masyarakat dari Komunitas Nagasaribu Onan Harbangan, masyarakat Desa Pohan Jae dan Parlombuan tidak dapat melakukan kegiatan di Martombak (Hutan Kemenyan),” kata Juniaty, akhir Januari.
Upaya mediasi sudah coba berjalan dengan fasilitasi Kesatuan Pemangku Hutan (KPH) Wilayah 4 Balige. Namun, dalam pertemuan yang juga hadir Koramill, Polsek, Siborongborong, Kesbang Tapanuli Utara itu tidak membuahkan hasil. TPL menolak membuka akses ke Hutan Kemenyan dan menghentikan penanaman.
Bagi Juni, sapaannya, sikap TPL yang bersikukuh melanjutkan penanaman eucalyptus di wilayah adat Nagasaribu Onan Harbangan, memperparah konflik antara perusahaan dan masyarakat adat. Padahal, eksistensi mereka sudah ada pengakuan, sebagaimana Peraturan Daerah (Perda) Tapanuli Utara Nomor 4/2021 tentang Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat, terkhusus bagi Komunitas Nagasaribu Onan Harbangan.
Pengakuan itu juga makin kuat dengan Surat Keputusan (SK) Bupati Tapanuli Utara Nomor 07/2022 tentang Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat Nagasaribu Siharbangan. Dalam SK itu, bupati menetapkan wilayah adat mereka seluas 2.291,83 hektar.
Dari luas area itu, total wilayah hutan sebagai ‘hutan adat’ capai 1.586 hektar, sebagaimana SK Kemen-LHK Nomor SK.340/MENLHK-PSKL/PKTHA/PSL.1/1/2022 tentang Penetapan Status Hutan Adat.
Atas persoalan itu, Bakumsu pun menyatakan sikap:
- Mengecam keras tindakan kekerasan dan pemblokiran akses jalan oleh TPL terhadap akses Masyarakat Adat Nagasaribu Desa Pohan Jae, Kecamatan Siborongborong,
- Mendesak TPL segera membuka akses jalan menuju Tombak Haminjon dan menghentikan segala bentuk aktivitas yang merugikan masyarakat adat di wilayah atau hutan adat mereka. Sebab, tindakan tersebut melanggar hak-hak masyarakat adat, antara lain, hak ulayat dan hak perorangan warga adat atas pengelolaan tanah dan sumber daya alam. Ia seperti tercantum dalam Pasal 13 huruf a & b Perda Kabupaten Tapanuli Utara tentang Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat.
- Mendorong Bupati Tapanuli Utara untuk mencegah upaya-upaya perusakan hukum adat dan kearifan lokal di wilayah adat sebagaimana diatur dalam Pasal 17 huruf e Perda Kabupaten Tapanuli Utara No. 4 Tahun 2021 tentang Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat
- Menuntut aparat penegak hukum untuk mengusut tuntas kekerasan oleh pihak keamanan TPL dan memastikan perlindungan hukum bagi masyarakat adat yang jelas diatur dalam konstitusi dan peraturan perundang-undangan
- Mengimbau seluruh pihak mendukung perjuangan masyarakat adat dalam menjaga wilayah adat dan sumber penghidupan mereka.

Jawaban perusahaan
Salomo Sitohang, Corporate Communication Head TPL kepada Mongabay menepis pemblokiran akses ke Hutan Kemenyan yang menjadi sumber mata pencaharian Masyarakat Adat Nagasaribu itu. “Itu tidak benar,” katanya, 28 Januari.
Apa yang mereka lakukan untuk memastikan keamanan selama kegiatan penanaman. Perusahaan juga masih memberikan akses bagi masyarakat yang ingin beraktivitas penyadapan kemenyan di konsesi TPL bukan di area APL. “Ini untuk menghindari kecelakaan kerja terhadap pihak lain yang bukan pekerja akibat beroperasinya alat berat,” dalihnya.
Dia mengaku sudah mengetahui status hutan adat Nagasaribu yang berbatasan langsung dengan konsesi perusahaan. Konsekuensi dari pengakuan itu, masyarakat hukum adat wajib membuat tata batas, sebagaimana Permen Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) Nomor 9/2021 tentang Pengelolaan Perhutanan Sosial. Seharusnya, masyarakat adat menyusun rencana kerja perhutanan sosial (RKPS) dan rencana kerja tahunan (RKT).
“Namun LSM yang mendampingi tidak bersedia untuk menindaklanjuti kewajiban sesuai peraturan tersebut, meski sudah dua kali disurati oleh Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan Wilayah Sumatera.”
Salomo memastikan, penanaman eukaliptus berada di luar Nagasaribu Siharbangan. “Berdasarkan SK 340, area masyarakat tidak termasuk dalam lokasi yang sedang dikerjakan TPL,” katanya. Namun, gara-gara situasi ini, perusahaan belum bisa melakukan pemanenan bahan baku hingga menyebabkan produksi terganggu.
******
Konflik Berlarut dengan PT TPL Berujung Penangkapan Masyarakat Adat Sihaporas