Bencana Jabodetabek, Tanda Lingkungan Rusak dan Krisis Iklim

2 days ago 13
  • Sejak awal Maret, hujan turun mengguyur  Jakarta, Tangerang, Bekasi, Depok, sampai Bogor (Jabodetabek). Banjir merendam jalan, pemukiman sampai pusat perbelanjaan. Longsor di Bogor, merusak pemukiman dan jembatan. Kalangan organisasi lingkungan menilai, bencana terjadi dan makin parah dampak dari lingkungan rusak, tata ruang daerah buruk dan tambah lagi, krisis iklim.
  • Sapta Ananda Proklamasi, Senior Data dan GIS Specialist Greenpeace Indonesia mengatakan,  bentang alam banyak berubah menjadi area terbangun hingga serapan air jauh berkurang.  Saat musim hujan, limpasan air menjadi sangat besar dan menyebabkan sungai melebihi kapasitas. Area resapan air kurang dan hilangnya hutan memperparah banjir.
  • BNPB bersama Pemerintah Jabodetabek, Basarnas dan BMKG rapat koordinasi pada 4 Maret lalu soal penanganan darurat banjir Jabodetabek. Hasilnya, selain terus evakuasi dan pemenuhan kebutuhan warga terdampak serta perbaikan infrastruktur darurat, rapat memutuskan untuk operasi modifikasi cuaca (OMC).
  • Badan Meterologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) menyoroti,  perlu respons cepat pemerintah daerah dalam menindaklanjuti peringatan dini terkait cuaca ekstrem.

Mata Rina sembab. Di kolong jembatan penyebrangan orang di bawah flyover penghubung Cililitan-Kalibata, sambil menggendong anaknya yang berusia 1,5 tahun dia termenung menatap luapan air bah Sungai Ciliwung. Air warna coklat, mengalir masuk ke permukiman.

Suaminya, Sunday, sibuk menyalakan kompor untuk masak. Di sekitar mereka, tergeletak perabotan-perabotan yang berhasil diselamatkan.

Nggak tau ini, sementara tinggal disini atau nanti ikut yang lain di pengungsian. Masih berharap air segera surut biar bisa segera kembali ke rumah,” ujar Rina warga Kelurahan Cililitan, Kecamatan Kramat Jati, Jakarta, Selasa (4/2/25).

Sudah dua hari rumahnya terendam banjir. Mereka terpaksa mengungsi ke bawah flyover, tempat lebih tinggi, meski petugas sudah datang menawarkan bantuan.

Hari sebelumnya, Rina masih sempat selamatkan beberapa barang. Air hanya sebetis orang dewasa. Banjir datang lebih cepat dari perkiraan membuat keluarga ini terpaksa harus tinggalkan rumah.

“Kemarin masih aman, belum terendam banget. Tapi pagi tadi air terus naik sampai rumah kami benar-benar terendam.”

Banjir Jakarta, hampir menenggelamkan rumah warga yang ada di pinggiran kali. Foto: Falahi Mubarok/Mongabay Indonesia

Michael Sitanggang, Ketua Subkelompok Logistik dan Peralatan, Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Jakarta mengatakan, telah siapkan sistem peringatan dini bagi masyarakat.

Setiap kali status siaga naik dari Bendung Katulampa, tim memberikan informasi dalam waktu 7-9 jam, air akan sampai ke Jakarta.

Seyogyanya, ini bisa menjadi peringatan bagi warga segera mempersiapkan diri dan berpindah ke lokasi lebih aman.

“Ini menjadi tantangan bagi kami evakuasi,” katanya.

Dia katakan, ada warga yang enggan evakuasi karena berbagai alasan, seperti masalah kesehatan anggota keluarga yang punya riwayat kesehatan tertentu hingga tidak memungkinkan bergerak ke lokasi lebih aman.

“Atau, misal,  ada pertimbangan-pertimbangan lain yang memang tidak bisa kita paksakan juga,”

Untuk itu, perlu kerjasama antara warga dan petugas. Saat bencana datang, katanya,  mereka lebih fokus pada penyelamatan warga, bukan memberikan bantuan makanan ke rumah-rumah.

“Pertama adalah menyelamatkan dulu warga di lokasi, kemudian kebutuhan dasar pengungsi baik itu sandang, pangan dan papan akan disiapkan di lokasi yang lebih aman.”

Warga Jakarta mengungsi di bawah jembatan karena rumah terendam banjir, awal Maret 2025. Foto: Falahi Mubarok/Mongabay Indonesia

Banjir dan longsor Jabodetabek

Terpaksa keluar rumah tak hanya Rina dan keluarga alami. Puluhan ribu orang di Jabodetabek, terdampak banjir dengan kedalaman bervariasi sampai lebih satu meter. Banjir karena hujan juga luapan sungai ‘air kiriman’ menyebabkan segala terendam.  Di Bekasi,  rumah-rumah sampai pusat perbelanjaan terendam.  Kendaraan, dari motor mobil bergelimangan, sebagian hanyut. Di Bogor, hutan menyebabkan air bah dan longsor, seperti di Batu Tulis.

Sejak 2 Maret malam,  hujan deras mengguyur Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Sungai Cimanceri meluap dan mengakibatkan banjir di beberapa kecamatan termasuk Rumpin, Bojong Gede, dan Cisarua.

Menurut BPBD Jawa Barat di Desa Sukasari, Rumpin, rumah dan satu pesantren terendam. Di Desa Rawapanjang, Bojong Gede 17 rumah terdampak dan 574 jiwa terimbas banjir. Di Desa Tugu Selatan 119 rumah terendam dengan 423 jiwa terdampak.

Kali Cisarua yang meluap hingga setinggi lutut orang dewasa sontak membuat warga panik dan berusaha menyelamatkan diri dengan alat seadanya. Dalam situasi darurat seorang warga bernama Yuyun terbawa arus. Suaminya, Asep Mulyana mencoba menyelamatkan Yuyun dan berhasil. Namun Asep justru terseret arus dan hilang.

Pada 3 Maret 2025,  Kali Ciliwung dan Pesanggrahan meluap. Ia memicu banjir di enam kecamatan di Jakarta Selatan dan Jakarta Timur Jagakarsa, Pancoran, Pasar Minggu, Pesanggaran, Jatinegara dan Kramat Jati. Tercatat banjir ini terdampak pada 323 keluarga (1.027 jiwa), 10 keluarga (30 jiwa) mengungsi.

Senin sore, saat meninjau lokasi terdampak banjir, Mayjen TNI Lukmansyah Deputi Bidang Penanganan Darurat BNPB mengatakan,  akan melakukan upaya bersama pihak terkait agar banjir serupa tidak terulang lagi, minimal mengurangi dampak.

“Akan rapat dengan pihak terkait untuk mengetahui penyebab utama dari banjir ini, karena tidak seperti biasanya, biasanya 4-5 jam (surut) ini sampai sore belum surut juga,” katanya.

Suharyanto, Kepala BNPB saat bersamaan melakukan tinjauan ke lokasi banjir bandang di Kabupaten Bogor,  Jawa Barat. Bersama Wakil Bupati Bogor, Ade Ruhandi, Kepala BNPB tiba di titik pertama yang menjadi lokasi terdampak paling parah pada sekitar pukul 15.00 WIB.  Sebelumnya dia rapat koordinasi penanganan darurat bersama jajaran Pemerintah Kabupaten Bogor.

Keduanya menyusuri gang sempit mencapai lokasi dan melihat permukiman penduduk di bantaran sungai yang mengalami kerusakan karena terjangan banjir bandang. Di lokasi itu mereka melihat kondisi jembatan penghubung perkampungan yang lenyap.

Usai peninjauan di titik pertama, mereka menuju lokasi kedua berjarak kurang lebih satu kilometer. Lagi-lagi mereka menemukan kondisi jembatan hilang tersapu air bah dari wilayah puncak.

Warga Jakarta, berupaya menyelamatkan diri, mencari tempat aman karena rumah mereka terendam banjir. Foto: Falahi Mubarok/Mongabay Indonesia

Menurut Ade Ruhandi, setidaknya ada tujuh jembatan rusak karena terdampak banjir bandang Minggu malam. Banjir ini berdampak pada 1.399 jiwa dari 381 keluarga.

Suharyanto memberikan arahan kepada seluruh jajaran Pemerintah Kabupaten Bogor untuk mengupayakan penanganan darurat berfokus pada pemenuhan kebutuhan warga terdampak.

“Yang rumahnya rusak, baik ringan, sedang dan berat itupun akan diberikan bantuan oleh pemerintah,” katanya.

Hujan intensitas tinggi awal minggu Maret itu juga melanda Kota Tangerang Selatan, Banten,  menyebabkan banjir di lima kecamatan. Ciputat Timur, Pondok Aren, Pamulang, Ciputat dan Serpong Utara.

Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kabupaten Tangerang Selatan mencatat sebanyak 1.870 rumah terdampak kejadian ini. BPBD mengerahkan perahu karet untuk mobilisasi dan evakuasi warga terdampak. Setidaknya 20 rumah terdampak banjir dengan ketinggian air bervariasi.

Bekasi menjadi titik cukup menyita perhatian publik karena banjir 4 Maret. BPBD Kota Bekasi mencatat,  tujuh kecamatan terdampak banjir, antara lain Kecamatan Bekasi Timur, Bekasi Utara, Bekasi Selatan, Medan Satria, Jatiasih, Pondok Gede dan Rawalumbu.

Sedangkan di Kabupaten Bekasi, hujan kiriman air dari sungai di bagian hulu menyebabkan banjir di enam kecamatan, yaitu Kecamatan Cibarusah, Serang Baru, Setu, Cikarang Utara, Cibitung dan Tambun Utara. BPBD Kabupaten Bekasi melaporkan ketinggian air mencapai 150 sentimeter merendam 15 rumah.

Pemerintah Kabupaten Bekasi sudah sejak tahun lalu menetapkan status siaga bencana hidrometeorologi basah (banjir, longsor, curah hujan ekstrem, abrasi, angin kencang dan puting beliung) terhitung 21 Oktober 2024-31 Mei 2025.

Di Kota Bekasi, banjir menggenangi 25 kelurahan di 12 kecamatan. Masyarakat terdampak sebanyak 18.738 keluarga (61.233 jiwa).

Pantauan udara kondisi banjir di Kota Bekasi, Jawa Barat, Selasa (4/3/25). Foto: BNPB

Modifikasi cuaca

Pada 4 Maret pagi,  BNPB bersama Pemerintah Jabodetabek, Basarnas dan BMKG rapat koordinasi penanganan darurat banjir Jabodetabek. Hasilnya, selain terus evakuasi dan pemenuhan kebutuhan warga terdampak serta perbaikan infrastruktur darurat, rapat memutuskan untuk operasi modifikasi cuaca (OMC).

Suharyanto menyampaikan, operasi ini akan berlangsung menyesuaikan prediksi cuaca.

“Saat ini kita mulai dari 4-8 Maret mengingat prediksi curah hujan masih cukup tinggi. Prakiraan cuaca juga menunjukkan masih berpotensi terjadi curah hujan tinggi pada pertengahan Maret 2025. Kita akan dukung dengan OMC untuk mengurangi intensitas hujan di sekitar Jawa Barat,” ” katanya pada Konferensi Pers Penanganan Banjir di Wilayah Jabodetabek, Selasa (4/3/25).

Badan Meterologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) menyoroti,  perlu respons cepat pemerintah daerah dalam menindaklanjuti peringatan dini terkait cuaca ekstrem.

Dalam beberapa hari terakhir, BMKG sebutkan, hujan deras dengan intensitas sangat lebat hingga ekstrem masih akan melanda sejumlah daerah, seperti Kota Cirebon, Riau, Kabupaten Bogor, Mimika, Padang Pariaman, dan Manggarai.

Dwikorita Karnawati, Kepala BMKG menyatakan,  terus memperbarui informasi cuaca di daerah terdampak cuaca ekstrem.

Dia nilai,  masih perlu memperbaiki kesiapan daerah dalam merespons peringatan dini agar meminimalisir risiko bencana.

Keterlibatan aktif pemerintah daerah dalam upaya mitigasi ini, katanya,  sangat penting, terutama dalam memastikan setiap peringatan yang keluar segera respons dengan langkah-langkah antisipasi di lapangan.

“Diperlukan koordinasi lebih erat antara pemerintah daerah dan masyarakat guna meminimalkan risiko bencana hidrometrologi secara lebih cepat dan efektif,” katanya melalui keterangan tertulis di Jakarta, Selasa (4/3/25).

BMKG, katanya,  memahami banyak daerah masih adaptasi dengan perangkat daerah karena kepala daerah baru.   BMKG, katanya, siap memberikan pendampingan lebih lanjut, suapaya pemahaman terhadap sistem peringatan dini makin optimal dan bisa lanjut ke tindakan mitigasi yang efektif.

Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Letjen TNI Suharyanto, dampingi Menteri Koordinator Pemberdayaan Manusia dan Kebudayaan (Menko PMK) Pratikno, dan Menteri Koordinator Bidang Infrastruktur dan Pembangunan Kewilayahan (Menko Infraswil) Mayor Inf, (Purn.) H. Agus Harimurti Yudhoyono, meninjau kondisi terkini penanganan banjir di Kota Bekasi, Jawa Barat, pada Kamis (6/3/25). Foto: BNPB

Lingkungan rusak, tata ruang buruk dan krisis iklim

Cuaca ekstrem yang melanda Jabodetabek merupakan kejadian berulang kali. Kalangan organisasi lingkungan hidup menilai, bencana ini dampak beban lingkungan makin berat antara lain, area resapan berkurang, tata ruang buruk dan dampak krisis iklim.

Sapta Ananda Proklamasi, Senior Data dan GIS Specialist Greenpeace Indonesia mengatakan,  bentang alam banyak berubah menjadi area terbangun hingga serapan air jauh berkurang.

Saat musim hujan, katanya,  limpasan air menjadi sangat besar dan menyebabkan sungai melebihi kapasitas. Area resapan air kurang dan hilangnya hutan memperparah banjir.

Di Daerah Aliran Sungai (DAS) Kali Bekasi, misal,  dengan luas 147.000 hektar, hutan tersisa hanya 1,700 hektar, kurang dari 2%.

Selain itu,  ketergantungan terhadap energi fosil, terutama batubara, memperparah efek gas rumah kaca yang mengakibatkan cuaca ekstrem. Kondisin ini membuktikan kerusakan alam tidak terbatas pada wilayah kerusakan.

Kondisi makin parah ketika perencanaan kota buruk, mengubah alih fungsi lahan, merusak hutan dan wilayah resapan air.

“Saatnya pemerintah fokus atasi krisis iklim,” katanya.

Banjir Jakarta. Foto: Falahi Mubarok/Mongabay Indonesia

Dwi Sawung Manajer Tata Ruang dan Infrastruktur Walhi Nasional menilai,  penyebab utama banjir Jabodetabek karena perubahan tata ruang yang tidak memperhatikan lingkungan hingga memperburuk intensitas  banjir.

“DAS Kali Bekasi yang seharusnya menjadi daerah serapan air kini berubah menjadi pemukiman besar seperti Sentul City, Summarecon Bogor termasuk Padepokan Garuda Yaksa tempat tinggal Presiden Prabowo, juga berada di DAS Kali Bekasi,” kata Sawung, seraya bilang, kawasan-kawasan itu seharusnya untuk menyerap air.

Selain itu,  mitigasi wilayah seperti pembangunan tanggul juga kurang maksimal.

Sisi lain, BMKG seringkali terlambat memberikan informasi akurat. Karena itu, kata Sawung, perlu pendekatan komprehensif dalam atasi banjir dengan mempertahankan dan memperbaiki daerah resapan air yang hilang karena pembangunan yang tidak terencana dengan baik.

“Banyak proses infrastruktur tidak tepat waktu dan tidak memperhatikan dampak lingkungan,  mempersulit pengelolaan sungai dan aliran air.”

Untuk itu, katanya, perlu penerbitan sertifikat lahan yang harusnya tidak jadi perumahan di DAS untuk villa, glamping dan area tambang.  “Yang harusnya jadi wilayah resapan air.”

Banjir Jabodetabek, termasuk di Jakarta, dengan ketinggian air sampai lebih satu meter. Foto: Falahi Mubarok/Mongabay Indonesia

*****

Banjir Jakarta dan Sekitar, Tata Ruang Buruk?

Read Entire Article
Apa Kabar Berita | Local|