- Bagaimana nasib macan kumbang yang tertangkap di Serang, Banten, akhir Maret 2025 lalu?
- Setelah dititipkan di Taman Safari Indonesia (TSI), satwa dilindungi ini tidak langsung diperiksa. Perlu waktu adaptasi. Perawat mencatat, macan kumbang ini menolak makan beberapa hari, gejala stres pasca-konflik. Sejauh ini, kondisi fisiknya sehat dan proporsional.
- Agus Arianto, Kepala Balai Besar Sumber Daya Alam (BKSDA) Jawa Barat mengatakan, melepasliarkan satwa liar, termasuk macan tutul ke habitat asalnya, tidak sesederhana membuka kandang dan membiarkannya lari ke hutan. Ada prosedur dan indikator ilmiah yang harus dipenuhi.
- Data persebaran macan tutul jawa saat ini masih sangat terbatas. Banyak kawasan hutan belum diperiksa sistematis, sementara tekanan terhadap habitat terus meningkat.
Bagaimana nasib macan kumbang yang tertangkap di Serang, Banten, akhir Maret 2025 lalu?
Bongot Huaso Mulia, Wakil Presiden Life Science Taman Safari Group menjelaskan, setelah dititipkan di Taman Safari Indonesia (TSI), satwa dilindungi ini tidak langsung diperiksa. Perlu waktu adaptasi. Perawat mencatat, macan ini menolak makan beberapa hari, gejala stres pasca-konflik.
“Setelah stabil, kami lakukan pemeriksaan menyeluruh,” jelasnya, Rabu (16/4/2025).
Dari sisi morfologi, satwa langka prioritas nasional ini ideal. Rambut mengkilap, suhu tubuh stabil 37,3o, berat badan 20 kg, dan nilai Body Condition Score (BCS) 3 yang artinya sehat. Tidak kurus dan tidak pula obesitas.
Giginya juga rapi, tidak ada tanda gigi susu yang berarti sudah sepenuhnya menggunakan gigi permanen.
“Usianya diperkirakan sekitar tiga tahun.”
Pemeriksaan lanjutan terhadap mata, telinga, sistem pernapasan dan pencernaan juga menunjukkan kondisi normal. Tidak ditemukan fraktur atau kelainan pada ekstremitas.
Panjang badannya 172 cm, lingkar dada 50 cm, lingkar perut 42 cm, tinggi badan 58 cm, dan panjang taring atas-bawah masing-masing 25,43 mm dan 23,2 mm.
“Secara umum, dari luar terlihat sehat dan proporsional,” imbuhnya.
Baca: Menghitung Populasi Macan Tutul Jawa di Habitat Tersisa

Hasil diagnosis macan kumbang
Tim medis juga melakukan X-ray untuk menilai kondisi thorax. Haslinya, paru-paru dan jantung tampak bersih, tiada kelainan.
Pemeriksaan USG dan endoskopi juga dilakukan guna memastikan organ dalam, dengan memeriksa hati, limpa, ginjal, dan saluran kemih. Semua dalam batas normal. Meski demikian, terdapat tanda radang ringan atau turbid inflammation yang perlu diawasi.
Pemeriksaan pre-test infeksius, jelas dokter Bongot juga menghasilkan temuan penting. Uji cepat menunjukkan hasil positif terhadap Canine Distemper Virus (CDV) dan Feline Parvovirus (FPV).
“Ini bukan berarti sedang sakit, tetapi pernah terpapar virus tersebut.”
Ini menandakan, sebelum ditangkap, macan tersebut kemungkinan besar pernah bersentuhan dengan lingkungan yang terkontaminasi atau bahkan dengan hewan peliharaan lain yang membawa virus.
“Kondisi ini menunjukkan betapa pentingnya penanganan cepat terhadap satwa liar yang terlibat konflik. Sebab, risiko penularan penyakit menunjukkan dari dan ke manusia atau hewan peliharaan menjadi sangat tinggi.”
Baca: Terekam Kamera: Macan Tutul Mangsa Kucing Kuwuk di Hutan Muria

Keni Sultan, studbook keeper macan tutul jawa TSI menambahkan, hal paling mengkhawatirkan bukan hanya paparan penyakit, melainkan perubahan perilaku.
Berdasarkan observasi kandang, macan ini menunjukkan tingkah laku agnostik, yaitu cenderung pasif dan tidak menunjukkan agresivitas alami. Banyak diam di pojok kandang. Tidak ada reaksi khas predator terhadap manusia seperti menggeram, melompat, atau menunjukkan taring.
“Ini menandakan, mungkin sudah terbiasa dengan keberadaan manusia dan menjadi catatan penting apakah layak dilepasliarkan atau tidak.
Macan kumbang atau biasa disebut macan tutul jawa, merupakan satu-satunya top predator tersisa di Pulau Jawa, setelah harimau jawa dinyatakan punah sejak 1980-an. Statusnya, masuk kategori Endangered berdasarkan IUCN Red List.
Baca: Macan Tutul dan Macan Kumbang, Satu Spesies Dua Nama

Menghindari konflik ulang
Agus Arianto, Kepala Balai Besar Sumber Daya Alam (BKSDA) Jawa Barat mengatakan, melepasliarkan satwa liar, termasuk macan tutul ke habitat asalnya, tidak sesederhana membuka kandang dan membiarkannya lari ke hutan.
Ada prosedur dan indikator ilmiah yang harus dipenuhi.
“Kalau kondisinya belum siap, tidak bisa dipaksa,” jelasnya, Rabu (16/4/2025).
Pemeriksaan menyeluruh dari segi anatomi, virologi, maupun perilaku menjadi penting. Ini menjadi landasan pengambilan keputusan. Bila dilepas dalam kondisi lemah atau trauma, dikhawatirkan kembali ke permukiman dan memicu konflik baru.
“Habitatnya juga perlu diperhatikan, terutama ketersediaan mangsa alami, daya dukung lingkungan, serta ancaman perburuan atau gangguan manusia,” paparnya.
Baca juga: Konflik Manusia dengan Macan Tutul Jawa Belum Berakhir

Dede Aulia Rahman, Ketua Forum Konservasi Macan Tutul Jawa (FORMATA) menyampaikan, apa yang terjadi di Banten bukan kasus tunggal.
“Tahun 2020, ada catatan kasus di Carita yang mirip di Banten. Ada dugaan kuat, itu adalah perpindahan penyakit dari satu spesies ke spesies lain.”
Kawasan ini sebagai potensi zona zoonotik, wilayah perpindahan penyakit dari satwa liar ke manusia (atau sebaliknya). Sebuah peringatan keras di tengah meningkatnya laporan konflik satwa liar dan degradasi habitat di Jawa bagian barat.
“Bukan hanya tanda ketidakseimbangan alam, juga sinyal krisis kesehatan lintas spesies,” ujarnya, Rabu (16/4/2025).
Hariyo Wibisono, ahli biologi dan Direktur Yayasan Sintas Indonesia, mengatakan data persebaran macan tutul jawa saat ini masih sangat terbatas. Banyak kawasan hutan belum diperiksa sistematis, sementara tekanan terhadap habitat terus meningkat.
“Dari 29 petak hutan yang telah kami petakan, hanya 22 yang dipastikan ada jejak atau bukti langsung keberadaan macan tutul,” tegasnya.
Macan Kumbang Mangsa Ternak Warga Banten, Habitat Terganggu?