- Warga Padang Halaban, Kabupaten Labuhan Batu Utara, Sumatera Utara, mendadak riuh, rabu (26/02/2025) pagi. Penyebabnya, surat dari Pengadilan Negeri Rantau Prapat, ihwal pemberitahuan pengosongan tanah dan rumah warga, karena petugas dari jurusita pengadilan akan menjalankan putusan majelis hakim, Jumat (28/2/2025).
- Kelompok masyarakat sipil di Sumut gerak cepat pasca mengetahui surat pemberitahuan penggusuran terhadap warga Padang Halaban. Digabung dengan masyarakat sipil tingkat nasional, ada 23 organisasi yang berbagi tugas menahan pengambilan lahan.
- Quadi Azam, Peneliti HAM sekaligus Koordinator Aliansi Masyarakat Sipil Anti Penyiksaan (SIKAP), menyatakan, masyarakat Padang Halaban yang mempertahankan tanahnya mengalami diskriminasi dan perlakuan tidak adil.
- Wina Khairina, peneliti Etnographic Research Center (ERC) FISIP Universitas Sumatera Utara (USU) mengatakan, kasus Padang Halaban merupakan peristiwa yang memperlihatkan dengan jelas akumulasi modal dan investasi dilakukan dengan mekanisme perampasan yang dilegitimasi.
Warga Padang Halaban, Kabupaten Labuhan Batu Utara, Sumatera Utara, mendadak riuh, pagi 26 Februari lalu. Penyebabnya, surat dari Pengadilan Negeri Rantau Prapat, ihwal pemberitahuan pengosongan tanah dan rumah warga, karena petugas dari jurusita pengadilan akan menjalankan putusan majelis hakim, pada 28 Februari.
Putusan ini terkait gugatan perusahaan sawit, PT Sinar Mas Agro Resources and Technology (SMART) menangkan 83,5 hektar lahan yang warga tempati. Eksekusi memang mundur jadi 6 Maret 2025, berdasarkan surat pemberitahuan PN Rantau Prapat Nomor 555/PAN.PN/W2.U13/HK2.4/II/2025, tetapi warga tetap resah.
Samini, khawatir terhadap kabar rumah dan lahan pertaniannya akan tergusur .
Sehari-hari, nenek 77 tahun ini tinggal sendirian menghabiskan waktu di ladang. Dia tanam ubi, pisang, dan sayur-mayur.
Kalau ada hasil dijual, uang untuk kebutuhan sehari-hari. Samini bertahan hidup di tengah konflik dengan perusahaan sawit Sinar Mas Group ini.
Kondisi ini membuat dia bingung. Korban pelanggaran HAM 1965 itu tidak memiliki tempat tinggal lagi kalau kena gusur.
“Kalau digusur, mau ke mana lah aku, nak, karena aku sebatang kara di sini… Sepanjang Rabu sampai dengan Jumat banyak aparat berpakaian preman selalu mondar-mandir ke desa kami, kami takut,” kata Samini kepada Mongabay, Senin (3/3/25).
Rata-rata penduduk di Kampung Baru, Desa Sidomukti–wilayah 83,5 hektar–merupakan kelompok lanjut usia dengan usia di atas 70 tahun. Sebagian besar dari mereka pun hidup sendiri. Yang memiliki cucu tinggal di tempat lain dengan ekonomi yang juga tidak baik. Mereka sekitar 200 orang yang tidak memiliki tempat tinggal lain selain lokasi mereka bermukim.
Ngatinem, nenek yang juga akan turut terdampak penggusuran, tidak bisa menahan rasa takut karena mobilitas aparat keamanan. Horor tahun 1965 saat dia kena tuduh sebagai Komunis dan terusir dari desa tempatnya tinggal dulu kembali muncul.
“Kami ini korban pelanggaran HAM masa lalu. Tolong jangan lagi lakukan kekerasan terhadap kami yang sudah tua ini,” ucap nenek 76 tahun itu kepada Mongabay.
Saat itu, Ngatinem baru selesai mengambil ubi untuk makan siang hari itu. Sambil berkaca-kaca, dia menceritakan kondisi alam yang berubah signifikan karena perkebunan sawit.
“Cuma sepetak tanah dan rumah yang beratap papan ini yang kami punya. Tolong jangan gusur kami.”
Dalam artikel Mongabay , sebelumnya, Stephan Sinisuka, Kepala Komunikasi Korporat Sinar Mas Agribusiness and Food, mengatakan, perusahaan sebagai pemegang hak guna usaha (HGU) di lahan seluas 83,5 hektar itu selalu mengupayakan penyelesaian konflik dengan dialog agar tidak menimbulkan korban.
Namun, Stephan tidak merinci langkah apa yang akan perusahaan ambil untuk menyelesaikan konflik.
“Kami terus berupaya mencari jalan damai sebagai itikad baik perusahaan untuk menyelesaikan situasi ini. Perusahaan akan melakukan upaya terbaik untuk meminimalisir segala bentuk gangguan dan kendala yang timbul dari upaya tindak lanjut atas putusan pengadilan.”
Dia bilang, ada penundaan eksekusi lahan. Surat pemberitahuan penundaan eksekusi lahan itu juga Pengadilan Negeri Rantau Prapat keluarkan, Nomor 555/PAN.PN/W2.U13/HK2.4/II/2025, tertanggal 28 Februari. Eksekusi jadwal ulang 6 Maret 2025.
“Pelaksanaan putusan pengadilan mundur dulu saat ini, sesuai hasil pertemuan bersama seluruh stakeholder,” ujar Stephan kepada Mongabay, Jumat (28/2/25).

Perusahaan anggota RSPO
Kelompok masyarakat sipil di Sumut gerak cepat pasca mengetahui surat pemberitahuan penggusuran terhadap warga Padang Halaban. Bergabung dengan masyarakat sipil di nasional, ada 23 organisasi yang berbagi tugas menahan pengambilan lahan.
Ratusan warga bersiaga menjaga tanah mereka. Di Kota Medan, Kantor PT Asuransi Sinar Mas dan Bank Sinar Mas jadi tempat demonstrasi. Perwakilan kelompok masyarakat sipil dan warga mendatangi sejumlah lembaga dan kementerian, termasuk Kantor Komnas HAM dan Kementerian HAM.
Penundaan rencana eksekusi menjadi buah dari desakan mereka. Puluhan pasukan TNI yang bersiaga sejak Kamis sore mundur. Tinggal 6 dari 13 alat berat yang bertahan di lokasi.
“Eksekusi ditunda, ditunda, ya, enggak jadi hari ini,” kata Sumesno, Panitra Pengganti Pengadilan Negeri Rantau Prapat, singkat, sambil lalu, Jumat (28/2/25).
Quadi Azam, Peneliti HAM sekaligus Koordinator Aliansi Masyarakat Sipil Anti Penyiksaan (SIKAP), menyatakan, masyarakat Padang Halaban yang mempertahankan tanahnya mengalami diskriminasi dan perlakuan tidak adil.
Harusnya, SMART yang anggota Roundtable on Sustainable Palm Oil sejak 2005 memiliki perspektif HAM dalam penyelesaian konflik. Komunitas global dan mitra bisnis, katanya, patut mempertanyakan kredibilitas dan nama baik perusahaan ini.
Dia berharap, Pimpinan Polda Sumatera Utara, juga melakukan pendekatan hak asasi dalam proses penyelesaian konflik ini. Polri, harus dapat menghindari pelanggaran HAM kalau proses eksekusi sepihak.
Dia usulkan, Kapolda Sumut menjadikan Perkap 8/2009 tentang Implementasi Prinsip dan Standar HAM dalam Tugas Penyelenggaraan Tugas Kepolisian, jadi pedoman dalam mendorong penyelesaian kasus konflik secara berkeadilan.
Polri, katanya, harus membuka ruang dialog para pihak untuk menemukan solusi yang lebih beradab. Apalagi, kepercayaan publik terhadap Polri tengah menurun. Proses eksekusi di Padang Halaban, bisa memengaruhi pandangan publik terhadap Polri.

Kedepankan HAM
Azam bilang, proses eksekusi petani Padang Halaban sudah sejak 2014. Kala itu, Komnas HAM bahkan melakukan berbagai upaya pendekatan yang lebih humanis dan bersandar HAM.
Komnas HAM, katanya, memfasilitasi pertemuan para pihak, Mendorong solusi yang bisa menghindari potensi pelanggaran HAM serius.
Eksekusi pun berhasil ditunda kala itu. Para pihak menyepakati poin-poin penting, termasuk membuka ruang dialog luas bersama perusahaan, aparat penegak hukum, dan masyarakat Padang Halaban.
“Sayangnya proses tersebut terhenti ketika pimpinan Komnas HAM berganti.”
Karena itu, dia berharap Komnas HAM saat ini meneruskan praktik baik itu. Pendekatan mediasi dan dialog dengan para pihak jadi opsi.
Ia mengacu UU Nomor 39 tahun 1999 tentang HAM. Jabaran rinci, katanya, ada dalam Standar Norma dan Pengaturan Komnas HAM Nomor 7/ 2021 tentang Hak Asasi Manusia atas Tanah dan Sumber Daya Alam.
“Masyarakat di sana, merupakan korban pelanggaran HAM masa lalu. Bukti itu masih bisa kita temukan yang kemudian menguatkan posisi masyarakat yang pernah menjadi korban,” katanya.
Karena itu, negara wajib memenuhi permohonan mereka. Terutama mendorong perusahaan mengakomodir lahan 83-an hektar yang masyarakat kuasai.
Negara, katanya, tidak boleh absen dan kaku melihat penegakan hukum yang bersandar pada putusan pengadilan. Hal ini bisa membuat masyarakat Padang Halaban terlantar dan sulit hidup.
Menurut Azam, negara wajib memberi penghormatan dan mengakui warga yang sudah hidup lebih dulu di lokasi tersebut. Keputusan hukum tidak boleh menyampingkan peristiwa sejarah.
“Hari ini warga menjadikan lahan tersebut untuk kebutuhan dasarnya sebagai manusia,” ungkapnya.
Menurut dia, penegakan HAM di Indonesia tidak akan menunjukkan kemajuan kalau kewajiban itu terabaikan negara maupun aparat penegak hukum.
Selain itu, keterlibatan TNI di Padang Halaban dinilai melanggar Undang-undang TNI. Pasalnya, sifat perbantuan menjadi luntur karena TNI terlihat ingin masuk ke ranah penegakan hukum.
Sehari sebelum pelaksanaan, sedikitnya terlihat 60 orang pasukan TNI bersenjata. Mereka memasang tenda besar, lengkap dengan alat beratnya.
“TNI harus patuh dan tunduk terhadap undang-undang,” tegas Azam.

Perampasan yang terlegitimasi
Wina Khairina, peneliti Etnographic Research Center (ERC) FISIP Universitas Sumatera Utara (USU) mengatakan, kasus Padang Halaban merupakan peristiwa yang memperlihatkan dengan jelas akumulasi modal dan investasi dengan mekanisme perampasan yang dilegitimasi.
Pasca penguasaan lahan kembali oleh warga, mereka mendapat kekerasan dalam penggusuran. Model akumulasi dengan perampasan, termasuk menggunakan mekanisme hukum ini, merampas tanah-tanah rakyat.
Negara, katanya, belum hadir menyelesaikan konflik agraria berkeadilan. Proses mediasi Komnas HAM 2014, masih belum memberikan ruang keadilan bagi komunitas.
Karena itu, dia yakin upaya pengambilan lahan tidak akan mempertimbangkan ham dan lebih berpihak pada investasi.
“Saya memikirkan keluarga, perempuan, pemuda dan anak-anak di Kampung Sidomukti, Padang Halaban akan kehilangan rumah dan ladangnya, tempat berteduh dan tempat pencaharian untuk bisa menyekolahkan anak-anaknya untuk merubah kehidupannya menjadi lebih baik,” kata Wina.

*****
Konflik Sinar Mas, Petani Padang Halaban Ngadu ke Komnas HAM