- Presiden belum lama ini mengeluarkan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 5:2025 tentang Penertiban Kawasan Hutan dengan tujuan antara lain percepatan penyelesaian permasalahan tata kelola lahan di dalam kawasan hutan. Berbagai organisasi masyarakat sipil menilai, alih-alih perbaikan tata kelola, pemulihan fungsi kawasan dan penyelesaian konflik, yang ada malah cenderung fokus pada peningkatan pendapatan negara melalui denda administratif.
- Adam Putra Firdaus, peneliti Indonesian Center for Environmental Law (ICEL), mengatakan, perpres itu memperkenalkan tipologi penyelesaian yang berbeda. Yaitu sanksi penguasaan kembali, seperti diatur pasal 4 ayat 1 dan 2.
- Boy Sembiring, Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Riau, bilang, Presiden harusnya menjadikan mengeluarkan Perppu untuk menunjukkan keseriusan menertibkan kawasan hutan.
- Okto Yugo, Koordinator Jikalahari, menilai, kasus Surya Darmadi, yang tidak lepas dari kewenangan jaksa dalam pemulihan aset, bisa dijadikan acuan dalam implementasi Perpres 5/2025. Pasalnya, pasal 3 perpres anyar ini menyatakan pemulihan aset di kawasan hutan sebagai salah satu cara penertiban kawasan hutan.
Presiden belum lama ini mengeluarkan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 5/2025 tentang Penertiban Kawasan Hutan dengan tujuan antara lain percepatan penyelesaian permasalahan tata kelola lahan di dalam kawasan hutan. Berbagai organisasi masyarakat sipil menilai, alih-alih perbaikan tata kelola, pemulihan fungsi kawasan dan penyelesaian konflik, yang ada malah cenderung fokus pada peningkatan pendapatan negara melalui denda administratif.
Dalam aturan ini Presiden Prabowo Subianto, mempertimbangkan, belum optimalnya peraturan penertiban kawasan hutan. Peraturan yang dia maksud adalah Pasal 110 A dan 110 B Undang-undang Cipta Kerja (UUCK) dan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 24/2021.
Adam Putra Firdaus, peneliti Indonesian Center for Environmental Law (ICEL), mengatakan, perpres itu memperkenalkan tipologi penyelesaian yang berbeda, yakni, sanksi penguasaan kembali, seperti Pasal 4 ayat 1 dan 2.
Namun, katanya, hirarki UU lebih tinggi dari perpres akan menimbulkan kebingungan dalam implementasinya. Menurut dia, solusi mengoptimalkan penyelesaian masalah di kawasan hutan ialah dengan evaluasi kebijakan.
“Bukan hadirkan perpres baru yang timbulkan pertentangan hukum,” katanya, dalam diskusi, baru-baru ini.
Selain itu, frase ‘setiap orang’ dalam perpres rentan menyasar masyarakat adat, maupun masyarakat yang tinggal di dalam dan sekitar kawasan hutan. Jadi, tanpa mempertimbangkan situasi tertentu, mekanisme penguasaan kembali oleh negara khawatir memperpanjang konflik dan kekerasan.
Dia bilang, mekanisme penyelesaian masalah dalam kawasan hutan, hanya sebatas tindakan menguasai tanah dan memperoleh penerimaan melalui denda. Tanpa ada perhatian pada pemulihan dan pengembalian fungsi kawasan hutan.
“Kami sebenarnya berharap, ketika negara kuasai kembali, penegakan hukum dilakukan. Harus ada upaya restorasi, pemulihan dan pengembalian fungsi kawasan hutan.”
Boy Sembiring, Direktur Eksekutif Walhi Riau, bilang, presiden harusnya mengeluarkan perppu untuk menunjukkan keseriusan menertibkan kawasan hutan tetapi dengan beberapa catatan.
Salah satunya, tidak melibatkan TNI dalam penegakan hukum sektor kehutanan. Juga, perlu pembatasan jelas ihwal frasa ‘setiap orang’. Dalam UUCK, frasa setiap orang diperjelas untuk menentukan sanksi administratif dan penyelesaian penataan kawasan hutan.
Dengan perppu, katanya, masa berlaku Pasal 110A dan 110B UUCK akan putus. Boy menilai, lebih dari empat tahun, implementasi kedua pasal itu tidak menunjukkan progres signifikan.
“Kan, targetnya dulu penerimaan negara, yang mana sih penerimaan negara dari itu (pasal 110A dan 110B)?”
Libatkan TNI?
Terkait keterlibatan TNI, Walhi menilai, ini sebagai bentuk reduksi tanggung jawab dan kewenangan Kementerian Kehutanan (Kemenhut) dalam melindungi dan memulihkan hutan. Pemerintah, harusnya menjadikan masyarakat adat sebagai subjek pelindung hutan, karena mereka terbukti mampu menjaga hutan dan lingkungan hidup.
“Pemaksimalan ini hanya bisa dilakukan dengan mengakui hak rakyat atas hutannya, dan mengedepankan pengetahuan serta pengalaman masyarakat adat dan komunitas lokal,” kata Uli Arta Siagian, Manajer Kampanye Hutan dan Kebun Walhi, dalam siaran pers di laman resmi mereka.
Menurut data Badan Registrasi Wilayah Adat (BRWA) dan Forest Watch Indonesia (FWI), 70% tutupan hutan di wilayah adat masih terjaga dan dalam kondisi baik. Sementara data Walhi di Jawa Barat, Bengkulu dan Sulawesi Selatan menunjukan ketika masyarakat diberi akses terhadap kawasan hutan, justru mereka berhasil pulihkan tutupan kawasan hutan yang sebelumnya terdeforestasi.
Sementara, Kemenhut malah menandatangani nota kesepahaman dengan TNI. Tujuannya, untuk menjaga dan rehabilitasi kawasan hutan.
Bagi Menteri Kehutanan Raja Juli Antoni, MoU itu merupakan bentuk kolaborasi dalam menjalankan program pemerintah. Serta, dapat menambah semangat untuk menjaga hutan Indonesia.
Walhi menilai, MoU antara Kemenhut dan TNI bertentangan dengan peran dan fungsi TNI sebagai alat negara di bidang pertahanan, serta bertentangan dengan tugas pokok TNI. MoU dengan dalih perbantuan, semestinya dilakukan ketika persoalan melampaui kapasitas otoritas sipil.
Saat ini, Walhi tidak terlihat potensi ketidaksanggupan Kemenhut dalam menjaga hutan. Walhi percaya, Kemenhut masih bisa maksimalkan peran Polisi Hutan, serta memperkuat partisipasi masyarakat adat dan lokal untuk lindungi hutan.

Kabupaten Enrekang didominasi oleh tanaman Pinus telah menjadi daerah
sasaran reboisasi pemerintah di tahun 1975. Kini kawasan tersebut
pengelolaannya diberikan kepada masyarakat adat Marena melalui skema Hutan
Adat. Foto: Wahyu Chandra/Mongabay Indonesia
Belajar dari kasus Surya Darmadi
Okto Yugo, Koordinator Jikalahari, menilai, kasus Surya Darmadi, yang tidak lepas dari kewenangan jaksa dalam pemulihan aset, bisa jadi acuan dalam implementasi Perpres 5/2025. Pasalnya, pasal 3 perpres anyar ini menyatakan pemulihan aset di kawasan hutan sebagai salah satu cara penertiban kawasan hutan.
Dalam kasus Surya Darmadi, pengadilan memvonis 16 tahun penjara dan denda Rp1 miliar subsider 6 bulan penjara. Ia juga dihukum membayar uang pengganti Rp2,2 triliun, karena terbukti bersalah dalam kasus korupsi sawit dan pencucian uang.
Selain itu, jaksa akan menyita dan melelang harta benda untuk menutupi uang pengganti, jika terpidana tak membayar uang pengganti paling lama dalam satu bulan sesudah putusan berkekuatan hukum tetap.
Karena itu, penempatan Kejaksaan Agung dalam satgas dinilai Okto bisa memperkuat penerapan sanksi-sanksi tersebut. Apalagi pasal 30A UU Kejaksaan memberi wewenang kejaksaan untuk penelusuran, perampasan dan pengambilan aset perolehan tindak pidana dan aset lainnya kepada negara, korban atau yang berhak.
“Memang kalau dihadapkan dengan PP24 dan UUCK, bisa bertentangan. Makanya ini (harus ada) semacam diskresi yang disiapkan, juga landasan hukumnya. Salah satu yang bisa kita usulkan, yaitu segera DPR dan Presiden sahkan RUU Perampasan aset.”
Made Ali, Tim Hukum dan Kebijakan Senarai, menyatakan, kasus Surya Darmadi membuktikan tidak ada kaitan pasal 110A dan 110B dengan kejahatan yang dilakukan sebelum UU itu terbit. Ketentuan ini diperkuat oleh Perpres 5 tahun 2025.
Pasal 4 perpres, katanya, memberi sanksi pidana bagi setiap orang yang tidak memiliki perizinan berusaha atau yang perizinan berusahanya diperoleh secara melawan hukum di kawasan hutan konservasi dan/atau hutan lindung, serta di kawasan hutan produksi.
“Di perpres ini, penertiban kawasan hutan tidak menghapuskan pertanggungjawaban pidana. Jadi agak bertentangan dengan PP 24/2021 tentang denda administratif. Sebenarnya menurut saya yang benar perpres ini,” ucap Made.
Dia berharap, pelibatan Kejagung dalam Satgas bisa membongkar kasus-kasus yang punya kemiripan dengan kasus Surya Darmadi.
Apalagi, sebelumnya, Menteri Agraria dan Tata Ruang/ Kepala Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) Nusron Wahid menyatakan sebanyak 537 perusahaan sawit pemegang izin usaha perkebunan (IUP) belum memiliki Hak Guna Usaha (HGU). Mengacu IUP, total luas lahan perusahaan-perusahaan itu mencapai 2,5juta hektare.
“Yang sudah dalam proses pengajuan izin ke kami hingga batas waktu 3 Desember ada 150 perusahaan, dengan luas 1.144.427,46 hektare,” terang Nusron dalam Rapat Kerja bersama Komisi II Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI).
Atas dasar itu, Made mendorong pemerintah untuk berikan ‘keadilan’ bagi Surya Darmadi, dengan menjatuhkan sanksi berat pada perusahaan-perusahaan terbukti bersalah. “Harapan saya, dengan percayanya Prabowo pada Kejagung, bukan hanya Surya Darmadi yang ditetapkan tersangka, ada 537 perusahaan yang sama kasusnya.”

Peluang perbaikan
Sisi lain, ICEL memandang, ada momentum perbaikan tata kelola lahan dan hutan dalam perpres anyar ini. Terutama terhadap kegiatan usaha yang perizinan berusahanya diperoleh dengan melawan hukum.
Adam bilang, Satgas bisa mengidentifikasi pelanggaran melalui tiga hal. Pertama, memerhatikan keterkaitan penerbitan perizinan berusaha dengan kasus pidana yang putusannya berkekuatan hukum tetap.
Kedua, melihat kaitan penerbitan perizinan berusaha dengan tindak pidana yang pemeriksaannya sedang berjalan. Ketiga, menelusuri lebih lanjut dugaan pelanggaran perizinan berusaha yang tidak dilengkapi komponen tertentu.
“Ini sejalan dengan review perizinan ICEL yang dilaksankan tahun 2015-2018. Salah satu tipologi yang umum ditemukan adalah adanya pelanggaran administratif dalam penerbitan perizinan,” ujarnya.
ICEL juga mendorong Satgas untuk audit ulang kegiatan usaha di kawasan hutan yang telah selesai atau dalam proses penyelesaian. Terutama, tambahnya, untuk memastikan perizinan yang diperoleh tidak melawan hukum.

*****
Pemutihan Kebun Sawit Ilegal: Hitungan Denda, Negara Berisiko Merugi