Asa Petani Padang Halaban Ingin Hidup Tenang di Tanah Harapan

2 days ago 8
  • Eksekusi 83,5 hektar lahan warga Padang Halaban, Rantau Prapat, Sumatera Utara, yang berkonflik dengan PT Sinar Mas Agro Resources and Technology (SMART) batal dilakukan, Kamis (6/3/2025). Sejumlah warga lega, tapi tetap was-was.
  • Kapolsek Aek Natas, AKP Parlando Napitupulu, memastikan tidak ada eksekusi hari itu. “Diganti dengan kegiatan berbuka puasa serta makan malam bersama,” katanya.
  • Suwardi, Ketua Ikatan Keluarga Orang Hilang Indonesia (IKOHI) Sumut, menyebut masih ada upaya membujuk masyarakat yang dilakukan aparat kepolisian di lapangan pasca penundaan eksekusi 28 Februari 2025.
  • Eko Cahyono, Sosilog pedesaan, saat dihubungi Mongabay, menyebut fenomena Padang Halaban sebagai bentuk nyata korporatokrasi. Situasi saat negara bersimpuh di pelukan korporasi.

Samini, warga Padang Halaban, Rantau Prapat, Sumatera Utara, sumringah. Senyumnya melebar saat aparat kepolisian memberitahu eksekusi lahan yang bersengketa dengan PT Sinar Mas Agro Resources and Technology (SMART), batal, Kamis (6/3/25).

Dia bersyukur kecemasannya tidak terjadi. Sembari menyapu rumah yang sedikit berdebu, nenek 77 tahun itu tetap berharap Pengadilan Negeri Rantau Prapat benar-benar tidak menjalankan eksekusi itu di kemudian hari. Dia berharap kepada merintah menyelesaikan persoalan ini hingga warga bisa hidup di tanah harapan satu-satunya ini dengan tenang dan aman. 

“Karena kalau digusur, saya tidak tahu harus ke mana…”

Suasana tenang pun menyelimuti Kampung Baru Sidomukti di tanah seluas 83,5 hektar. Beberapa warga terlihat mendatangi sekretariat kelompok tani untuk melihat kondisi terbaru. Mereka juga berjaga-jaga apabila mengantisipasi kondisi yang tidak diinginkan.

“Saya bersyukur penggusuran tidak jadi dilakukan oleh perusahaan. Kami berharap tetap bisa tinggal dan mati di tanah kami ini tanpa ada konflik yang menyiksa kami,” kata nenek Samini.

Aan Sagita, warga sekampung Samini, mengatakan, alat berat semula ada 17 unit, tinggal satu di dekat lokasi eksekusi.

Puluhan pasukan TNI bersenjata lengkap yang sempat berada di lokasi pun sudah tarik mundur. Sejumlah aparat kepolisian berpakaian lengkap masih berada di lokasi untuk menjaga keamanan dan ketertiban. 

Sebagian bersiap-siap memasang tenda, karena jajaran dari Polres Labuhan Batu mengajak kelompok tani yang tengah berkonflik dengan perusahaan SMART berbuka puasa bersama.

Aan bilang, surat resmi dari pengadilan ihwal rencana penundaan eksekusi memang belum ada. Namun, dia berharap proses itu tidak terjadi. Masyarakat, katanya, akan berjuang mempertahankan hak mereka akan tanah dan tempat tinggalnya.

Aparat kepolisian, katanya, mengumpulkan warga dan memberitahukan pembatalan eksekusi pada Rabu (5/3/25) malam. Sebagai gantinya, kepolisian mengajak masyarakat berbuka puasa dan makan malam dengan jajaran Polres Labuhan Batu.

“Kami menolak tawaran itu dan tetap berjaga-jaga di lokasi eksekusi. Kami tidak tahu apa motif di balik ini, yang jelas kami menolak lahan dan rumah kami digusur dan akan tetap bertahan sampai titik darah penghabisan,” kata Sekretaris  Kelompok Tani Padang Halaban dan Sekitarnya (KTPHS) itu.

Mongabay coba mengonfirmasi Kapolres Labuhan Batu, AKBP Bernard Malau, melalui telepon dan pesan singkat (WhatsApp) tetapi, tidak ada jawaban.

AKP Parlando Napitupulu, Kapolsek Aek Natas, memastikan tidak ada eksekusi hari itu. “Diganti dengan berbuka puasa serta makan malam bersama,” katanya.

Dia juga memastikan tak ada personil Kepolisian untuk proses eksekusi. Belum ada permintaan pengadilan.

Suwardi, Ketua Ikatan Keluarga Orang Hilang Indonesia (IKOHI) Sumut, menyebut, masih ada upaya membujuk masyarakat oleh aparat kepolisian di lapangan pasca penundaan eksekusi 28 Februari 2025.

Dia bilang, ada iming-iming pemberian lahan bersertifikat di lokasi lain dan mengajak warga makan malam serta buka puasa bersama. Kemungkinan, dengan harapan warga menuruti permintaan polisi.

Pria yang sudah melakukan pendampingan terhadap masyarakat Padang Halaban sejak 2010 itu menyebut, upaya selanjutnya ialah tidak hanya sebatas penundaan eksekusi tetapi harus ada pengembalian tanah warga dari konsesi perusahaan SMART.

“Lahan seluas 83 hektar harus dikembalikan ke warga. Bisa jadi pasca Lebaran eksekusi akan dilakukan hingga semua warga masih tetap terus siaga di sini,” kata Suwardi.

Memihak siapa?

Eko Cahyono, periset dari Sajogjo Institute, saat dihubungi Mongabay, mengatakan, fenomena Padang Halaban sebagai bentuk nyata korporatokrasi. Situasi saat negara bersimpuh di pelukan korporasi.

Hal ini juga makin kuat dengan masih tidak berpihaknya hukum ke nasib rakyat. Pemerintah, dan aparat, masih berpegang pada hukum positif. Yang membuat penggusuran jadi legal, karena hasil dari keputusan pengadilan.

“Nah itu yang saya bilang mistisisme hukum. Ini bahaya. Seolah hukum sudah adil sejak dari sononya.”

Dalam artian, katanya, keadilan seolah-olah sudah melekat di hukum, di aturan padahal, masih ada konsep socio legal.

Konsep itu, memandang hukum untuk kepentingan dan situasi tertentu. “Nah, peradilan dan hukum kita itu, kan penuh dengan kepentingan dan unequal correlation. Coba tunjukkan gugatan rakyat yang dimenangkan hukum kita. Paling bisa dihitung jari.” 

Dengan begitu, dasar keputusan pengadilan yang inkrah itu tidak bisa telan mentah-mentah. Dia bilang, perlu ada kaji ulang terkait penegakan prinsip keadilan ketika keputusan pengadilan itu.

Eko juga menyinggung perihal sejarah masyarakat Padang Halaban yang merupakan korban pelanggaran HAM 1965. Menurut dia, situasi historis ini harus jadi pertimbangan.

“Kami menyebutnya residual consequences. Endapan historis, yang harus dipilah-pilah dulu. Jangan hanya putusan yang terakhir yang menjadi pijakan.”

Dalam hal ini, negara bisa berkaca pada kasus Suku Balik, di Kalimantan Timur (Kaltim), yang kini menjadi korban proyek Ibu Kota Negara Nusantara. Masyarakat adat yang namanya menjadi inspirasi penamaan Ibu Kota Kaltim, Balikpapan, itu menghadapi situasi serius karena tidak bisa menunjukkan keabsahan tanah ulayat mereka.

Kondisi  itu terjadi karena sejak dulu Suku Balik terpaksa berpindah-pindah. Terimpit  pembangunan, kebun kayu, sawit, hingga  terbaru IKN.

“Bukan berarti mereka tidak punya tanah ulayat. Wong, semua itu sudah diambil oleh kepentingan-kepentingan itu. Jadi, harus dilihat sejarahnya,” kata  Eko.

Karena itu, dia minta SMART dan negara memfasilitasi kebutuhan ruang hidup masyarakat Padang Halaban. Dari luas, ruang hidup masyarakat Padang Halaban, tidak memakan 10% dari seluruh konsesi Sinar Mas.

Nenek Samini, warga Padang Halaban, Sumatera Utara, yang berkonflik dengan anak perusahaan Sinar Mas. Saat ini masih menunggu kepastian nasibnya, dan rumah yang dia tempati. Foto: Ayat S Karokaro / Mongabay Indonesia

*****

Banyak Lansia, Petani Padang Halaban Was-was Penggusuran

Read Entire Article
Apa Kabar Berita | Local|