- Sungai merupakan bagian penting kehidupan masyarakat Malako Kociak. Ini terlihat dari budaya mereka yang mandi di sungai, meski air bersih dapat diakses dari rumah.
- Tidak ada masalah kesehatan yang dialami masyarakat saat mengonsumsi air Sungai Subayang, baik langsung maupun melalui aliran pipa. Untuk minum, air tetap dimasak.
- Masyarakat Malako Kociak sudah menggunakan energi bersih, sejak pemerintah mengenalkan Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS), pada 2017. Sebelumnya, mereka menggunakan diesel berbahan solar yang dikelola pemerintan desa maupun pribadi. Diesel hanya menyala mulai magrib sampai pukul 10 malam. Sementara, listrik dari sinar matahari seharian penuh.
- Malako Kociak disebut juga Desa Tanjung Beringin, Kecamatan Kampar Kiri Hulu, Kabupaten Kampar, Riau. Pemukiman masyarakat adat ini terpisah Sungai Subayang. Dua dusun di kiri dan dua dusun di kanan yang sekarang terhubung dua jembatan gantung. Tiap dusun memiliki dua bak penampung air.
Sungai merupakan bagian penting kehidupan masyarakat Malako Kociak. Ini terlihat dari budaya mereka yang mandi di sungai, meski air bersih dapat diakses dari rumah.
“Tiap pagi dan sore bahkan malam, terutama laki-laki, mandi di Sungai Subayang. Khusus perempuan, tak jarang sekalian mencuci pakaian,” ucap Harunzen, pemuda Malao Kociak, akhir Oktober 2024.
Pada 2018, Balai Prasarana Permukiman Wilayah (BPPW) Riau, Kementerian Pekerjaan Umum Perumahan Rakyat (PUPR), melalui Pemerintah Kampar membangun bendungan di Sungai Pawua, anak Sungai Subayang. Ini program penyediaan air minum dan sanitasi berbasis masyarakat (pamsimas).
Pada hulu sungai dibangun pagar tembok setinggi dada orang dewasa, untuk menahan air. Di bawah tembok, dipasang dua pipa sepanjang satu kilometer. Tujuannya, mengalirkan air ke dua bak penampungan, di timur dan barat permukiman.
“Program ini mencakup pipa saluran ke rumah penduduk. Masyarakat terima bersih,” kata Harunzen.
Tidak ada masalah kesehatan yang dialami masyarakat saat mengonsumsi air Sungai Subayang, baik langsung maupun melalui aliran pipa. Untuk minum, air tetap dimasak.
“Tida ada iuran terkait air bersih. Hanya di awal saja, untuk beli pipa. Bila ada perbaikan, kami kolektif kumpulkan uang, sekitar Rp5 ribu per kepala keluarga,” terang Yuliana (41), warga Tanjung Beringin, Sabtu (26/10/2024).
Dinas Perumahan Rakyat dan Kawasan Permukiman (Perkim) Kampar, juga membangun sarana sanitasi seperti toilet di tiap rumah. Sistemnya komunal, yaitu lima toilet satu septic tank.
Sebelumnya, Kepala Desa Tanjung Beringin telah membangun toilet umum dengan dana desa. Ada enam titik yang masih berfungsi. “Sekitar 162 rumah di Tanjung Beringin sudah punya toilet,” terang Harunzen.
Baca: Nasib Masyarakat Malako Kociak, Antara Menjaga Kelestarian Hutan dan Memenuhi Kebutuhan Hidup

Malako Kociak disebut juga Desa Tanjung Beringin, Kecamatan Kampar Kiri Hulu, Kabupaten Kampar, Riau. Pemukiman masyarakat adat ini terpisah Sungai Subayang. Dua dusun di kiri dan dua dusun di kanan yang sekarang terhubung dua jembatan gantung. Tiap dusun memiliki dua bak penampung air.
Kenegerian Malako Kociak disebut Desa Tanjung Beringin, setelah ditetapkan Bupati Kampar pada 1999. Waktu itu, masyarakat mengusulkan tiga nama: Tanjung Beringin, Bukit Sakti, dan Teluk Pendaingan.
Datuk Ajismanto, pucuk adat Kenegerian Malako Kociak, mengatakan nama Tanjung Beringin merujuk suasana kampung. Tanjung merupakan tempat usaha atau perdagangan masyarakat adat. Sementara pohon beringin yang banyak tumbuh merupakan tempat berteduh.
“Saya ikut mengusulkan pembentukan desa. Saya juga ditunjuk sebagai penjabat sementara Kepala Desa Tanjung Beringin pertama,” ujarnya, yang lebih dulu dinobatkan sebagai Datuk Pucuk pada 1984.
Berdasarkan pemetaan AMAN Kampar, luas wilayah adat Malako Kociak sekitar 6.890 hektar. Ruang hidup mereka dibagi beberapa peruntukan. Mulai permukiman, perkebunan, budidaya, perlindungan, dan hutan adat. Termasuk lubuk larangan yang diakui sebagai kawasan perlindungan masyarakat adat dalam Rencana Tata Ruang dan Wilayah (RTRW) Kampar.
Baca: Bergandengan Tangan Menyelamatkan Sungai Subayang

Listrik tenaga surya
Masyarakat Malako Kociak sudah menggunakan energi bersih, sejak pemerintah mengenalkan Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) kapasitas 15 kilowatt, pada 2017, yang selanjutnya mereka tambah kapasitasnya menjadi 20 kilowatt.
Sebelumnya, mereka menggunakan diesel berbahan solar yang dikelola pemerintan desa maupun pribadi. Diesel hanya menyala mulai magrib sampai pukul 10 malam. Sementara, listrik dari sinar matahari seharian penuh.
Empat tahun PLTS beroperasi, beberapa baterai soak. Pemerintah desa bolak-balik ke Dinas Energi Sumber Daya Mineral (ESDM) Riau, minta solusi. Akhirnya, setelah bermusyawarah, pemerintah desa membeli empat baterai. Satu unit seharga Rp12 juta dan dapat dialirkan ke 10 rumah.
Ditambah iuran masyarakat, pemerintah desa juga menambah 15 panel surya untuk melengkapi 72 unit sebelumnya. Satu panel baru ini kekuatannya dua kali panel lama.
“Listrik menyala 24 jam,” jelas Harunzen.
Kini, tak ada masalah listrik di Malako Kociak. Sebanyak 100 rumah mendapat jatah 300 amper, dengan iuran bulanan Rp20 ribu. Jika ada yang menambah daya menjadi 500-900 amper, akan dikenai biaya Rp15 ribu. Artinya, maksimal tagihan bulanan listrik untuk pengguna 900 amper sekitar Rp110 ribu.
“Ini lebih murah dari penggunaan diesel yang setiap bulan Rp150 ribu,” kata Harunzen, yang juga operator utama PLTS.
Baca juga: Ternyata ada Lubuk Larangan di Sungai Subayang, Seperti Apa?

Energi bersih
Lasti Fardilla Noor, Knowledge Management Working Group ICCAs Indonesia (WGII), menuturkan Sungai Subayang dan anaknya merupakan unsur penting kehidupan masyarakat Malako Kociak. Terutama, penyedia sumber ikan dan jalur transportasi utama.
“Sungai sudah jadi bagian identitas mereka. Ada koneksi mendalam dan kompleks yang melampaui fungsi ekologis dan praktis. Namun begitu, perlu pendekatan yang mengintegrasikan kebiasaan lokal dengan solusi sanitasi moderen,” jelasnya, Minggu (17/11/2024).
Asti juga mengapresiasi inisiatif masyarakat adat Malako Kociak menggunakan PLTS. Saat wacana perubahan iklim dan transisi energi bersih bergulir, mereka menunjukkan diri sebagai pelopor yang mengambil langkah mandiri.
“Upaya memperbaiki dan meningkatkan kapasitas PLTS adalah bukti nyata kesungguhan mereka beradaptasi terhadap kondisi Bumi,” terangnya, Minggu (17/11/2024).
Terkait kondisi ini, Asti memberi tiga catatan kepada semua pihak. Pertama, sumber-sumber alam yang menjadi tumpuan hidup masyarakat adat, yaitu sungai dan hutan, harus dijamin dan dilindungi. Harus ada pengakuan wilayah masyarakat adat beserta pengetahuan tradisionalnya.
Kedua, perlunya pendampingan teknis untuk pemeliharaan PLTS, sistem air bersih, serta infrastruktur kebutuhan masyarakat setempat. Ketiga, peningkatan kapasitas masyarakat dan alokasi pendanaan atas inisiatif yang sudas dibangun masyarakat adat Malako Kociak.

Firdaus Cahyadi, Pendiri Climate Justice Literacy, mengatakan kegigihan masyarakat Malako Kociak mempertahankan listrik matahari menandakan mereka sangat memerlukan energi bersih.
Kebutuhan masyarakat adat Malako Kociak atas energi bersih harus ditangkap para pengambil kebijakan untuk difasilitasi kemudian.
“Energi bersih ini berkaitan dengan hak asasi manusia (HAM). Ada kewajiban negara untuk memenuhi hak warga atas energi itu,” terangnya, Rabu (13/11/2024).
Praktik seperti ini harus direplikasi atau dimodifikasi di tempat lain, yang memiliki persoalan sama. Pemerintah dan organisasi masyarakat sipil dapat mempromosikan serta memfasilitasi praktik baik tersebut. Sebut saja, peningkatan kapasitas pengelolaan PLTS berupa pelatihan ke komunitas lain.
“Sumber energi bersih di tingkat komunitas, termasuk masyarakat adat sangat banyak dan beragam. Tugas pemerintah sebenarnya memfasilitasi, agar bisa dikelola secara mandiri dan berkelanjutan,” tegasnya.
Sisilia Nurmala Dewi, Indonesia Team Leader 350.org, mengatakan masyarakat adat paling paham atas wilayahnya. Mereka mengembangkan praktik terbaik memanfaatkan sumber daya alam yang diterapkan dalam kehidupan dan kebudayaan.
PLTS di Desa Tanjung Beringin merupakan contoh baik. Masyarakat Malako Kociak lebih dahulu melakukan transformasi sistem energi, yang seharusnya paling depan memimpin aksi iklim.
“Masyarakat adat itu benteng ketahanan iklim dunia. Kita harus mendukung mereka untuk menggunakan energi terbarukan,” jelasnya, Kamis (14/11/2024).
Dengan energi terbarukan, mereka memperoleh akses listrik yang mendukung penghidupan, sekaligus tetap menjadi tuan atas tanahnya sendiri. Energi terbarukan berbasis masyarakat adat adalah contoh paling nyata dari transisi energi berkeadilan.
“Mendekatkan sumber daya alam kepada masyarakat adat, artinya kita menciptakan keadilan ekonomi dan mencegah eksodus besar-besaran ke kota akibat keterasingan di wilayah sendiri.”
Sisilia menjelaskan, pemanfaatan potensi sumber energi listrik bersih di wilayah adat Indonesia, belum mencapai satu persen. Umumnya, minim akses terhadap listrik. “Pengembangan energi di wilayah masyarakat adat, mestinya memprioritaskan energi terbarukan.”
Senada dengan Firdaus, dia mengatakan bahwa pemerintah masih memprioritaskan transisi skala besar. Sebut saja geothermal maupun solusi palsu lain yang justru perpanjang umur energi fosil lewat carbon capture and storage (CCS).
“Praktiknya, tetap menampilkan konflik kepentingan para elite dan menguntungkan korporasi,” tegasnya.
Kearifan Masyarakat Adat Malako Kociak: Menjaga Sungai Subayang dengan Aturan Lubuk Larangan