- Elva Gemita, pegiat konservasi satwa liar ini berpulang pada 24 November lalu pada usia 44 tahun karena kanker yang dideritanya. Elva menunjukkan ketertarikan besar pada lingkungan dan satwa liar sejak usia muda.
- Dedikasinya yang begitu besar pada dunia konservasi satwa, membawa Elva ke jenjang internasional, tempat dia meraih Magister Manajemen Proyek Konservasi dari Durrell Institute of Conservation and Ecology (DICE), University of Kent, Inggris, pada 2016.
- Puncak karir Elva mulai pada 2010 ketika menjabat sebagai Manajer Departemen Lingkungan, Penelitian, dan Pengembangan di Hutan Harapan, Sumatera. Elva menjadi motor penggerak upaya restorasi ekosistem yang menjadi salah satu program konservasi terbesar di Indonesia.
- Elva Gemita punya kemampuan diplomasi dan menjalin kolaborasi. Dia memastikan keterlibatan para pemangku kepentingan, termasuk masyarakat adat, pemerintah, dan mitra donor dalam setiap program restorasi. Komitmen Elva menciptakan landasan untuk pelestarian yang berkelanjutan, menjadikan Hutan Harapan sebagai model restorasi ekosistem di Asia Tenggara.
“Untuk menjaga biodiversitas hutan dibutuhkan tangan perempuan.” Begitu kata-kata Elva Gemita, yang selalu saya ingat.
Elva Gemita, pegiat konservasi satwa liar ini berpulang pada 24 November lalu pada usia 44 tahun karena kanker yang dideritanya.
Elva tumbuh di tengah keindahan alam yang kemudian jadi panggilan hidupnya. Dia besar di pinggir Taman Nasional Kerinci Seblat, Jambi.
Dia menunjukkan ketertarikan besar pada lingkungan dan satwa liar sejak usia muda. Dedikasinya yang begitu besar pada dunia konservasi satwa membawa Elva ke jenjang internasional, tempat dia meraih Magister Manajemen Proyek Konservasi dari Durrell Institute of Conservation and Ecology (DICE), University of Kent, Inggris, pada 2016.
Tesisnya berjudul “Estimating Sumatran Tiger Occupancy to Improve Species Management Strategies” memberikan kontribusi signifikan pada strategi pengelolaan harimau Sumatera di Hutan Harapan.
Dengan menggunakan data jebakan kamera yang dia kumpulkan selama enam tahun, Elva mengungkap bahwa distribusi harimau Sumatera dipengaruhi zona konservasi, kolaborasi antar-pemangku kepentingan, serta kehadiran manusia. Penelitiannya memberikan panduan konkret bagi manajemen habitat harimau dan jadi bukti komitmen Elva pada konservasi spesies langka dan dilindungi ini.
Sejak awal karir, Elva menunjukkan dedikasi luar biasa terhadap pelestarian satwa liar dan hutan tropis. Dia memulai perjalanan karir sebagai asisten peneliti pada 2003 di Proyek Harimau Jambi kelolaan Zoological Society of London.
Dalam peran ini, Elva terjun langsung ke lapangan, memantau keberadaan satwa liar melalui transek garis, mengumpulkan data dari jejak kaki, feses, hingga jebakan kamera. Dia juga bertugas membongkar jebakan satwa ilegal yang membahayakan kehidupan fauna di hutan.
Yoan Dinata, rekannya yang dulu juga Kordinator di ZSL cerita, pada 2000 mereka bertemu pertama kali di rumah kontrakan Debby Martyr di Sungai Penuh, Kerinci. Lalu pada 2004, mulai monitoring Harimau Sumatera di TNKS . Elva bergabung dengan Zoological Society of London (ZSL) juga mulai projek harimau di Jambi.
“Sejak awal bertemu saya melihat Elva mempunyai keinginan belajar kuat terutama di bidang konservasi satwa liar. Elva adalah pribadi yang mandiri, tegas dan mempunyai prinsip kuat. Elva mengabdikan sebagain hidupnya di lapangan untuk konservasi hutan dan satwa liar,” katanya melalui pesan singkat.
Dari 2007-2009, Elva sebagai Manajer Lapangan di Durrell Institute of Conservation and Ecology (DICE) bekerja sama dengan Flora and Fauna International (FFI-IP).
Dalam peran ini, dia memimpin tim untuk survei harimau menggunakan jebakan kamera dan memantau konflik manusia-harimau di Sumatera. Dia juga memastikan data sesuai standar ilmiah dan memberikan pelatihan kepada tim dalam navigasi, pemetaan, dan analisis GIS.
Tomi Ariyanto, rekan kerja ketika itu bercerita, Elva satu-satunya perempuan dalam proyek itu.
“Mba Elva adalah contoh leader yang sangat berkomitmen terhadap visinya, tidak segan lagsung terjun ke lapangan memberikan contoh dan menyemangati anggota timnya.”
Elva tak pernah mengenyam pendidikan formal S1 Biologi ataupun Kehutanan. Berkat dedikasi pada dunia konservasi dia mendapat beasiswa Magister University of Kent . Dia juga pelopor dalam pengembangan Forum Harimau Kita.
Pada 2009, Elva dipercaya menjadi Koordinator Tim di Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS). Di sana, dia bekerja sama dengan pemerintah daerah dan universitas lokal untuk mendukung survei DNA harimau Sumatera.
Peran ini menunjukkan keahliannya dalam menjembatani dunia akademik, pemerintah, dan masyarakat lokal demi keberhasilan proyek konservasi.
Iding Haidir, Ketua Forum Harimau Kita menjadikan Elva sebagai sosok inspirasi hingga akhirnya dia mendapatkan beasiswa di Oxford University.
“Elva itu bahasa Inggrisnya selayak bangsawan Inggris. Dia yang lahir dan besar di kampung. Mampu membuktikan itu bukan halangan meraih mimpi kuliah ke luar negeri. Dia perempuan yang menginspirasi.”
Sunarto, ahli ekologi satwa liar dan lanskap menjadi pakar di WWF, Conservation International, dan Wildlife Conservation Society bercerita bertemu Elva dalam proyek konservasi dan pembangunan terpadu (ICDP) di Kerinci-Seblat.
Kemampuan Elva menjelajahi medan sulit dan beradaptasi dengan kondisi berat segera terlihat. Salah satu momen paling mengesankan adalah saat dia penuh semangat mengikuti perjalanan berat menuju puncak Gunung Kerinci, gunung tertinggi di Sumatera.
“Berita kepergian Elva ini meninggalkan kekosongan yang mendalam. Kami kehilangan salah satu konservasionis lapangan paling berbakat dan berdedikasi di Sumatera.”
Lahir dan besar di Sumatera, katanya, Elva menentang stereotip, membuka jalan untuk dirinya sendiri, dan menginspirasi banyak orang.
“Kontribusinya luar biasa terhadap konservasi akan menjadi warisan yang abadi.”
Kepemimpinan di Hutan Harapan
Puncak karir Elva mulai pada 2010 ketika menjabat sebagai Manajer Departemen Lingkungan, Penelitian, dan Pengembangan di Hutan Harapan, Sumatera. Elva menjadi motor penggerak upaya restorasi ekosistem yang menjadi salah satu program konservasi terbesar di Indonesia.
Elva juga punya kemampuan diplomasi dan menjalin kolaborasi. Dia memastikan keterlibatan para pemangku kepentingan, termasuk masyarakat adat, pemerintah, dan mitra donor dalam setiap program restorasi. Komitmen Elva menciptakan landasan untuk pelestarian yang berkelanjutan, menjadikan Hutan Harapan sebagai model restorasi ekosistem di Asia Tenggara.
Sepanjang karir, Elva tidak hanya fokus pada tindakan lapangan, juga pada penyebarluasan pengetahuan. Dia percaya, keberhasilan konservasi bergantung pada kolaborasi lintas sektor dan pendidikan masyarakat.
Elva sering memberikan pelatihan kepada mahasiswa, komunitas lokal, dan sesama peneliti untuk meningkatkan kapasitas mereka dalam penelitian dan manajemen lingkungan.
Adam Aziz, Direktur Hutan Harapan, menyebutkan, Elva salah satu sosok “pejuang dan pahlawan” restorasi dan konservasi bagi hutan dataran rendah tersisa, terutama di Hutan Harapan.
“Dia sangat militan dan berkontribusi luar biasa untuk penyelamatan biodiversity.”
Penelitiannya tentang harimau Sumatera, gajah Sumatera, dan spesies lain yang terancam punah memberikan data penting bagi strategi konservasi nasional. Dia juga advokat gigih untuk perlindungan hutan sebagai rumah bagi satwa liar sekaligus sumber kehidupan bagi manusia.
Elva, merupakan sosok yang akan selalu dikenang keluarga, rekan kerja, dan komunitas konservasi. Dedikasi, dan kecintaan pada satwa liar begitu menginspirasi.
Selamat jalan, Elva Gemita. Semangat dan karya-karyamu akan terus hidup dalam hati kami.
********