- Pemerintah Indonesia bersikukuh bahwa pengelolaan sedimentasi di laut adalah kegiatan yang baik untuk kesehatan ekosistem di laut dan pesisir. Kegiatan tersebut juga diklaim bisa menghasilkan nilai ekonomi yang besar dan berkontribusi terhadap perekonomian nasional
- Klaim tersebut ditentang banyak pihak, karena kegiatan tersebut sama saja dengan penambangan pasir laut yang diyakini bisa berdampak buruk pada ekosistem laut dan pesisir. Tak hanya itu, akan berdampak juga pada kehidupan dan penghidupan nelayan bersama masyarakat pesisir
- Rinciannya, ada degradasi ekosistem pesisir yang bisa memicu erosi, banjir, dan hilangnya keanekaragaman hayati laut. Dampak itu diikuti polusi air karena penambangan pasir dapat mencemari sungai dan danau dengan sedimen dan kontaminan lainnya
- Dampak polusi air dapat berdampak negatif pada ekosistem perairan dan kesehatan manusia. Terburuk, pemanfaatan sedimentasi laut akan memicu penurunan produksi perikanan tangkap yang dilakukan oleh nelayan kecil
Akhir Agustus 2024 menjadi puncak kisruh kebijakan pengelolaan hasil sedimentasi laut di Indonesia. Kebijakan yang sudah ditetapkan sejak 15 Mei 2023 itu, resmi diundangkan menjadi kebijakan untuk kegiatan ekspor pasir laut dari Indonesia.
Setelah keran ekspor dibuka kembali, semakin banyak pihak yang menunjukkan sikap kontra terhadap kebijakan tersebut. Salah satu sebabnya, karena mereka menilai kalau kebijakan tersebut hanya akan merusak ekosistem di laut dan pesisir.
Peneliti Senior dari Pusat Riset Masyarakat dan Budaya Badan Riset dan Inovasi Nasional Dedi Supriadi Adhuri menyatakan bahwa kebijakan pengelolaan sedimentasi di laut yang diikuti dengan kebijakan pembukaan keras ekspor pasir laut, adalah kebijakan yang tidak tepat.
Menurutnya, kebijakan tersebut secara jelas berpotensi menjadi perampasan ruang laut dan pesisir, karena merujuk pada proses perumusan kebijakan. Selain itu, juga berpotensi memicu dampak negatif bila kebijakan dilanjutkan.
“Saatnya menimbang kembali kebijakan pengelolaan sedimen dan ekspor pasir laut,” ungkapnya belum lama ini di Jakarta.
Tak hanya karena memicu faktor negatif, dia menilai kalau pembangunan dengan berorientasi pada esktraksi sumber daya alam juga sudah saatnya dikaji ulang secara keseluruhan. Kini saatnya melihat opsi pembangunan yang benar-benar ramah lingkungan dan berkeadilan.
Salah satu opsi yang bisa dilakukan oleh Pemerintah, adalah dengan mengadopsi pendekatan berbasis ekosistem atau manajemen kelautan secara untuk mengelola wilayah pesisir dan laut. Pendekatan itu terintegrasi dengan ekosistem alam dan sistem sosial budaya.
“Pendekatan ini juga mengombinasikan modern dan tradisional knowledge dan rezim kolaborasi lintas stakeholder,” terangnya.
Baca : Benarkah Demi Kesehatan Laut, Pemanfaatan Sedimentasi Laut Dilakukan?
Sekretaris Jenderal Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA) Susan Herawati mengatakan kalau kebijakan pengelolaan sedimentasi di laut mengancam kehidupan dan penghidupan nelayan dan masyarakat pesisir di seluruh Indonesia.
Saat ini, jumlah nelayan kecil di Indonesia mencapai 2.401.540 orang, termasuk di dalamnya adalah kelompok perempuan nelayan yang terlibat langsung dalam kegiatan pengolahan perikanan di wilayah pesisir.
Berdasarkan data KIARA, sedikitnya terdapat 5,6 juta orang terlibat dalam aktivitas perikanan di seluruh Indonesia, di mana sebesar 3,9 Juta atau 70 persen di antaranya adalah perempuan. Namun sayangnya, pengakuan terhadap perempuan nelayan masih sangat kurang.
Itu terbukti dengan data selama sepuluh tahun terakhir yang menyebut jumlah perempuan nelayan yang sudah diakui kurang dari 100 jiwa. Lebih parahnya, mayoritas dari perempuan nelayan yang sudah diakui itu terpusat di pesisir Provinsi Jawa Tengah.
Minimnya pengakuan tersebut, akan semakin memperburuk status perempuan nelayan setelah kebijakan pengelolaan sedimentasi di laut dijalankan. Terlebih, Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2024 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber daya Alam Hayati dan Ekosistemnya.
Menurut dia, undang-undang (UU) tersebut bisa melegitimasi perampasan ruang di wilayah pesisir, laut, dan pulau-pulau kecil dengan dalih area preservasi yang berada di luar kawasan konservasi. Juga, berpotensi menjadi dasar hukum untuk melakukan kriminalisasi kepada masyarakat adat dan komunitas lokal pesisir yang melakukan konservasi dan tidak melepas wilayah mereka untuk negara.
Kondisi nelayan dan perempuan nelayan tidak semakin baik, karena Pemerintah juga membuat kebijakan yang bersifat manipulatif, karena menyebut itu adalah kebijakan tentang pengelolaan sedimentasi di laut. Padahal, kebijakan tersebut adalah tentang pertambangan pasir laut.
Baca juga : Beragam Dampak Buruk dari Penambangan Sedimentasi Laut
Susan mengingatkan, ada kebijakan yang diubah pada pengelolaan sedimentasi di laut, yaitu Surat Keputusan (SK) Menperindag No. 117/MPP/Kep/2/2003 tentang Penghentian Sementara Ekspor Pasir Laut tertanggal 28 Februari 2003.
Sementara, kebijakan yang diberlakukan saat ini, adalah Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2023 tentang Pengelolaan Hasil Sedimentasi di Laut; Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan No. 6 Tahun 2024 tentang Harga Patokan Pasir Laut Dalam Perhitungan Tarif Atas Jenis PNBP; dan Kepmen KP No. 16 Tahun 2024 tentang Dokumen Perencanaan Pengelolaan Hasil Sedimentasi di Laut.
Berkaitan dengan tiga peraturan di atas, adalah PP No. 85 Tahun 2021 tentang Jenis dan Tarif atas Jenis PNBP yang Berlaku pada Kementerian Kelautan dan Perikanan; dan Peraturan Menteri Perdagangan No. 21 Tahun 2024 Tentang Kebijakan dan Pengaturan Ekspor.
Regulasi yang disebutkan di atas, tidak menjadi solusi atas dampak yang akan timbul dari kegiatan pemanfaatan sedimentasi di laut. Sebabnya, karena akan ada momen perlunya dilakukan rehabilitasi ekosistem pesisir dan laut.
“Siapa subjek yang dibebankan untuk rehabilitasi ekosistem pesisir dan laut. Apakah Negara atau perusahaan?” ucapnya mempertanyakan.
Pertanyaan tersebut harus ada jawabannya, karena ada ekosistem lamun, terumbu karang, populasi ikan, ekosistem mangrove yang harus dilakukan rehabilitasi jika ternyata kegiatan pemanfaatan sedimentasi berdampak buruk pada ekosistem yang disebut.
Degradasi Ekosistem
Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (CELIOS) Bhima Yudhistira dengan tegas mengatakan kalau penambangan pasir laut berpotensi memicu kerusakan lingkungan, sosial, dan ekonomi yang tinggi.
Kerusakan lingkungan, mencakup abrasi pantai, berkurangnya garis pantai, dan kerusakan ekosistem laut; kerusakan sosial meliputi permukiman pesisir dan pengangguran di wilayah pesisir pantai; dan kerusakan ekonomi akan memicu terjadinya penurunan hasil tangkapan ikan, serta pendapatan nelayan yang berkurang.
Baca juga : Polemik Penambangan Pasir Laut Merusak Lingkungan, Begini Kata KKP
Mengutip sebuah artikel ”The Global Sand Crisis: How Our Demand for Concrete Is Destroying the Planet” yang diterbitkan The Guardian pada 2019, ada dampak negatif yang timbul dari kegiatan penambangan pasir laut.
Pertama, adalah terjadinya degradasi ekosistem pesisir karena penambangan pasir dapat merusak pantai, bukit pasir, dan ekosistem pesisir lainnya. Hal ini dapat menyebabkan erosi, banjir, dan hilangnya keanekaragaman hayati.
Kedua, memicu munculnya polusi air karena penambangan pasir dapat mencemari sungai dan danau dengan sedimen dan kontaminan lainnya. Ini dapat berdampak negatif pada ekosistem perairan dan kesehatan manusia.
Ketiga, memicu munculnya konflik sosial karena penambangan pasir dapat menimbulkan konflik sosial, diakibatkan terjadinya penggusuran kawasan pesisir yang didiami banyak nelayan kecil dan masyarakat pesisir, serta komunitas.
Lebih dari itu, Bhima menerangkan kalau kegiatan pemanfaatan sedimentasi di laut juga bisa memicu terjadinya penurunan potensi perikanan. Selama periode 2001 hingga 2009, kegiatan ekspor pasir laut yang terus meningkat berhasil menurunkan produksi perikanan tangkap oleh nelayan.
Berdasarkan hasil penelitian yang dipublikasikan sejumlah peneliti ternama seperti Zhong, Liu, dan Wahyudi dari 2021, 2023, dan 2024, disimpulkan bahwa penambangan pasir laut menyebabkan erosi garis pantai, kerusakan habitat, dan perubahan kondisi hidrodinamik yang memengaruhi populasi ikan.
Selain itu, berdasarkan laporan penelitian yang dibuat oleh Semeidi Husrin pada 2016 dan Cruz pada 2023, disimpulkan bahwa aktivitas penambangan pasir laut berdampak negatif pada produktivitas sektor perikanan lokal, yang pada akhirnya mengancam mata pencaharian masyarakat pesisir.
Baca juga : Warga Was-was Ekspor Pasir Laut Perparah Abrasi Pantura Jawa
Penurunan Sektor Perikanan
Bhima mengatakan, walau penambangan pasir laut berasumsi menyumbang ekonomi, namun dampak ekonomi juga akan muncul dengan perkiraan output ekonomi mengalami penurunan hingga Rp1,13 triliun dan penurunan produk domestik bruto (PDB) hingga Rp1,22 triliun.
Selain itu, dampak ekonomi juga akan dirasakan oleh masyarakat melalui penurunan pendapatan hingga Rp1,21 triliun. Sementara, asumsi penambangan pasir laut akan memicu elastisitas ekspor pasir laut terhadap produksi perikanan tangkap dengan perkiraan -0,02 persen.
Lalu, volume ekspor pasir laut hanya menyumbang 2,7 juta meter kubik (m3) atau 8,77 persen dari ekspor global. Harga Acuan sebesar Rp186 ribu per m3 dan PNBP 35 persen sesuai dengan ketentuan Kepmen KKP Nomor 6/2024.
Dampak negatif yang paling signifikan dari dibukanya keran ekspor pasir laut, adalah terjadinya penurunan yang cukup tajam pada sektor perikanan. Penurunan itu muncul, karena nilai tambah sektor perikanan akan berkurang sebesar Rp1,59 triliun.
“Kemudian, pendapatan nelayan secara total berkurang hampir Rp1 triliun, dan jumlah nelayan lokal akan berkurang sebanyak 36.400 orang,” paparnya.
Keran ekspor pasir laut yang dibuka kembali, juga memicu terjadinya peningkatan pencurian pasir laut oleh Singapura. Dampaknya, efek negatif ekonomi nasional pun muncul karena Negara tidak memperoleh pendapatan plus perusahaan tidak memperoleh hasil ekspor.
Berdasarkan pemodelan yang dilakukan, dia menyebut pencurian oleh Singapura memicu terjadinya penurunan PDB nasional senilai Rp925,2 miliar, penurunan PDB sektor perikanan turun sebesar Rp679,8 miliar, berkurangnya nelayan sebanyak 15.566 orang, hilangnya penerimaan bersih Negara sebesar Rp83 miliar, dan hilangnya potensi ekspor sebesar Rp250 miliar.
Pembukaan kembali keran ekspor yang diikuti pencurian pasir laut, menurut Bhima karena dipicu terus meningkatnya permintaan pasir laut global. Permintaan itu sangat dipengaruhi oleh permintaan dari Singapura, yang merupakan salah satu importir terbesar di dunia.
Walau ekspor pasir laut membuka peluang ekonomi bagi negara-negara eksportir seperti Indonesia. Namun di sisi lain, permintaan yang besar dari Singapura dapat mempercepat eksploitasi sumber daya alam yang bisa berdampak negatif terhadap lingkungan.
Baca juga : Kontroversi Ekspor Pasir Laut: Ancaman Lingkungan atau Peluang Ekonomi?
Meski pemanfaatan sedimentasi di laut adalah bagian dari kegiatan ekonomi di pesisir, namun dia menegaskan bahwa itu bukan menjadi bagian dari ekonomi biru yang selalu mengusung keberlanjutan pada lingkungan sekitar.
Ekonomi biru di Indonesia bernilai USD759 miliar dari pariwisata, potensi karbon biru sebesar 3.4 giga ton atau 17 persen dari seluruh dunia, optimalisasi perikanan dan hasil laut yang bernilai tambah tinggi, dan pengelolaan pesisir secara inklusif.
“Peluang ekonomi biru melalui ekowisata dan penyimpanan karbon biru,” sebutnya.
Pertentangan Hukum
Direktur Program Indonesia Ocean Justice Iniative (IOJI) Stephanie Juwana memaparkan dari sisi hukum tentang kebijakan pemanfaatan sedimentasi laut. Menurutnya, maksud dan tujuan dari kebijakan tersebut menjadi tidak jelas karena ditemukan berbagai pertentangan.
Kata dia, PP Sedimentasi Laut mengacu pada pasal UU Kelautan yang mengatur mengenai kewajiban pemerintah melindungi ekosistem laut. PP tersebut mengatur bahwa salah satu tujuan pengelolaan hasil sedimentasi laut adalah untuk melindungi kesehatan laut.
Akan tetapi, terbitnya peraturan-peraturan turunan yang mengatur mengenai ekspor pasir laut dan pengaturan dalam Kepmen Perencanaan mengenai potensi dampak dari pengisapan pasir laut membuat tujuan perlindungan dari kebijakan ini diragukan.
PP Sedimentasi Laut dibuat seakan-akan untuk melindungi ekosistem penting di pesisir dan laut, namun secara bersamaan mengakomodir tujuan lain dari kebijakan yang termuat dalam peraturan tersebut, yaitu untuk membuka keran ekspor pasir laut.
Baca juga : Dampak Multidimensi akibat Pertambangan Pasir Laut
Stephanie Juwana menjelaskan bahwa penambangan dan ekspor pasir laut juga dapat menyebabkan dampak ekologis maupun dampak sosial-ekonomi, terutama terhadap masyarakat pesisir. PP Sedimentasi Laut juga cacat secara formil karena proses pembentukannya minim partisipasi publik.
Hal tersebut bertentangan dengan ketentuan pada UU No 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan jo UU No 13 Tahun 2022, dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 91/PUU-XVIII/2020 yang menegaskan pentingnya partisipasi publik terutama bagi kelompok masyarakat yang terdampak langsung terhadap peraturan yang sedang dibahas.
Dia mengungkapkan, secara materiil atau substansi, PP Sedimentasi Laut maupun turunannya juga tidak sejalan dengan arah pembangunan yang dikehendaki oleh konstitusi, yaitu pembangunan berdasarkan keberlanjutan yang beraliran kuat.
Selain itu, ketentuan ekspor pasir laut pada PP Sedimentasi Laut juga tidak sejalan dengan upaya perlindungan yang diatur pada UU Kelautan. Untuk itu, IOJI mendesak Pemerintah untuk mencabut PP Sedimentasi Laut.
“Peraturan-peraturan lainnya, seperti Permendag, yang membuka ekspor pasir laut perlu direvisi untuk kembali melarangnya,” pungkasnya. (***)
Ekspor Pasir Laut: Ancam Ekosistem dan Masyarakat, untuk Kepentingan Siapa?