- Film dokumenter “17 Surat Cinta” memperlihatkan penghancuran Suaka Margasatwa Rawa Singkil. Lebih dari 2.000 hektar kawasan konservasi itu menjadi kebun sawit. Dalam 17 surat yang berisi desakan melindungi hutan, tidak kunjung mendapat respons.
- Meski surat-surat yang dikirimkan tak kunjung memperoleh respons, pemeran film enggan menyerah. Mereka sadar, kehancuran hutan bisa memberi dampak lebih buruk bagi manusia.
- Arie Rompas, Ketua Tim Kampanye Hutan Greenpeace Indonesia, melihat dokumenter “17 Surat Cinta” bukan sekadar narasi tentang surat-surat yang tak terjawab. Juga berisi panggilan untuk bertindak.
- Dandhy Dwi Laksono, sutradara “17 Surat Cinta” menyatakan, dokumenter itu adalah cerita tentang kekeras-kepalaan untuk tidak menyerah pada situasi. Setiap surat berisi semangat, energi dan harapan untuk menyelamatkan hutan.
“Ini bukti bahwa kami benar-benar mencintai bumi Indonesia.” Begitu kata Lukmanul Hakim, sang pemeran film dokumenter “17 Surat Cinta”, dengan suara getir. Matanya berkaca-kaca.
Dalam dua tahun belakangan, Lukman dan rekan-rekannya, mengungkapkan cinta lewat lembar-lembar surat. Isinya, kegelisahan, harapan, dan cinta yang keras pada Suaka Margasatwa (SM) Rawa Singkil, Aceh.
Lukman menyebut, sebagai “ibu kota orangutan” atau tempat populasi orangutan paling padat di Indonesia, bahkan dunia.
Kawasan seluas 82.000 hektar itu juga rumah buat empat satwa ikonik yakni, gajah, orangutan, badak dan harimau. Katanya, hampir tidak ada lagi tempat di Indonesia, buat keempat jenis satwa ini hidup bersama.
Rawa Singkil terus menghadapi ancaman. Dari Januari sampai Juli 2022, Lukman mencatat, 338 hektar hutan di Rawa Singkil lenyap. Pelan-pelan, pohon dan habitat satwa liar tergantikan sawit.
“Padahal ini suaka margasatwa,” katanya.
Bagi Lukman, suaka margasatwa seharusnya menjadi status tertinggi dalam perlindungan hutan di Indonesia. Bahkan, masyarakat yang menebang satu pohon bisa terancam pidana.
Karena itu, dia dan rekan-rekannya tak mau tinggal diam. Pada September 2022, mereka mengirimkan surat pertama kepada Direktorat Jenderal Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem (KSDAE). Surat itu juga ditembuskan ke Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK).
Meski tidak ada jawaban, Balai Konservasi Sumber Daya (BKSDA) Aceh, mengajak mereka diskusi. Kemudian, Oktober 2022, ada patroli gabungan. Hasilnya, terjadi aktivitas pembukaan hutan secara ilegal. Setelah itu, Lukman tidak melihat upaya lanjutan untuk melindungi Rawa Singkil.
Hingga akhir 2022, surat-surat terus dilayangkan. Mereka mendesak pemerintah ambil tindakan tegas. Hutan yang berubah jadi kebun sawit menyentuh angka 716 hektar. “Ini seperti awal sebuah tragedi,” kata Lukman.
Selama berbulan-bulan, belasan surat mereka buat. Kabar dan desakan dicatat. Sementara satu per satu pohon terus jatuh. Hingga di surat ke-17, pertengahan 2024, lebih dari 2.000 hektar hutan Rawa Singkil menjadi gundul.
Meski surat-surat yang dikirimkan tak kunjung memperoleh respons positif, Lukman dan rekan-rekan enggan menyerah. Mereka sadar, kehancuran hutan memberi dampak lebih buruk bagi manusia. Karena itu, dia berjanji terus memperjuangkan keberlanjutan SM Rawa Singkil.
“Kami tidak akan berhenti di 18 atau 19 surat. Kalau perlu, 300 kali lagi akan kami kirim. Dibalas atau tidak,” katanya kepada penonton “17 Surat Cinta” di Taman Ismail Marzuki, Jakarta, November lalu.
Rubana, ikut berperan di film itu, menyebut, kerusakan hutan meningkatkan bencana. Masyarakat sekitar, katanya, sering mempertanyakan banjir yang terjadi berulang. “Dulu, banjir ‘hanya’ datang sekali atau dua kali dalam setahun. Sekarang hampir sepanjang tahun,” katanya.
Yang lebih menyakitkan, orangutan makin sulit dijumpai. Kondisi itu dianggapnya sebagai fenomena yang janggal berlaku, terutama di hutan yang seharusnya jadi habitat terpadat orangutan.
Rubana bilang, lima tahun lalu menjumpai orangutan bukan perkara sulit. Apalagi di musim buah. Kini, deforestasi terjadi masif, diduga membuat orangutan masuk ke area yang lebih dalam, untuk cari tempat aman.
Sebaliknya, ketika orangutan pergi, buaya-buaya berdatangan. Belakangan waktu, katanya, konflik antara manusia dengan buaya makin sering terjadi di sekitar SM Rawa Singkil.
“Padahal, berdasarkan cerita warga, sepanjang hidup mereka tidak pernah menyaksikan itu sebelumnya.”
Seturut situasi itu, baginya, 17 surat yang sudah dikirimkan hanyalah langkah awal untuk mendorong perlindungan SM Rawa Singkil. Dia berharap, masyarakat luas dapat turut berpartisipasi menyelamatkan kawasan tersebut dan memastikan penegakkan hukum.
Sebab, bagi Rubana, perjuangan melestarikan hutan Rawa Singkil bukan sekadar upaya menjaga tegakkan pohon di ujung Sumatera juga, memulihkan napas dunia agar kembali sehat.
Solidaritas perlindungan hutan
Arie Rompas, Ketua Tim Kampanye Hutan Greenpeace Indonesia, melihat dokumenter “17 Surat Cinta” bukan sekadar narasi tentang surat-surat yang tak terjawab juga berisi panggilan untuk bertindak.
Dia percaya, dari Sabang dan Merauke, ada banyak orang peduli kondisi hutan Indonesia. Kepedulian itu, katanya, harus terkonsolidasi pada aksi-aksi lebih konkret.
“Harus ada kekuatan lebih besar, konsolidasi lebih luas, kekuatan yang harus dilipatgandakan dari saat ini. Kita harus arahkan optimisme ke sana,” kata Rio, sapaan akrabnya.
Amros Mulait, perwakilan dari Yayasan Pusaka yang menjadi kolaborator film “17 Surat Cinta” berharap, film itu dapat menjadi media menyadarkan masyarakat. Bahwa kerusakan lingkungan di Papua dan Aceh adalah masalah warga dunia.
“Kebijakan pembabatan hutan atas nama investasi akan berdampak pemanasan global. Demi keselamatan hidup kita semua, lebih banyak orang harus partisipasi untuk hentikan proyek-proyek perusak lingkungan,” katanya.
Dia berharap, dokumenter ini dapat menjadi surat pada negara-negara maju. Agar, menghentikan pendanaan pada proyek-proyek merusak hutan. Kemudian mengalihkan untuk masyarakat atau organisasi yang fokus melindungi lingkungan.
Dandhy Dwi Laksono, sutradara “17 Surat Cinta” menyatakan, dokumenter itu cerita tentang kekeras-kepalaan untuk tidak menyerah pada situasi. Setiap surat berisi semangat, energi dan harapan untuk menyelamatkan hutan.
“Ini film tentang cadangan oksigen, cadangan plasma nutfa yang terancam,” katanya.
Dia percaya, apa yang dilakukan ini merupakan cara mendekatkan isu lingkungan pada masyarakat. Karena itu, dalam membuat film, dia berusaha memperluas lingkup narasi. Seperti menghubungkan dengan isu-isu hak asasi manusia, keadilan agraria, ekonomi lokal, serta kesatuan ekosistem.
“Konservasi yang eksluksif tidak akan berkelanjutan. Macam Papua tadi, mereka tidak butuh polhut. Masyarakat adat bisa jaga hutan, itu jauh lebih efektif. Untuk reboisasi atau reforestasi, contoh di Aceh, tidak perlu proyek. Biarkan saja orangutan dan gajah, itu sudah reboisasi dan reforestasi,” katanya.
Adukan ke Wapres
Sebelum itu, perwakilan masyarakat dari Aceh dan Papua mendatangi Kantor Wakil Presiden (Wapres) mengadukan persoalan lingkungan di masing-masing daerah melalui program “Lapor Mas Wapres”.
“Lapor Mas Wapres” merupakan program optimalisasi kanal untuk menjangkau dan memfasilitasi aduan masyarakat. Seluruh aduan yang diterima akan disinergikan dengan sistem pengelolaan pengaduan pelayanan publik nasional (SP4N) Lapor! yang ada di 96 lembaga dan 493 pemerinah daerah.
Amros Mulait, Juru Bicara Koalisi Peduli Lingkungan Papua mengatakan, ada sejumlah persoalan agraria hendak dia laporkan pada Gibran Rakabuming, Wakil Presiden. Antara lain, izin-izin perkebunan sawit, food estate, hingga proyek 2 juta hektar perkebunan tebu yang disebut mengancam tanah masyarakat adat.
“Ada sekitar 99 izin perusahaan sawit maupun foode state di Papua, tapi sampai sekarang belum ada evaluasi dan pencabutan,” ujar Amros.
Selama ini, katanya, protes masyarakat adat pada sejumlah lembaga pemerintahan tidak mendapat respons positif. Bahkan, awal November lalu, Mahkamah Agung menolak kasasi masyarakat adat Awyu, yang berupaya mempertahankan hutan adatnya dari ekspansi perusahaan sawit.
Amros berharap, kanal “Lapor Mas Wapres” dapat membuka akses aduan masyarakat adat, mendukung pencabutan izin, serta memberi pengakuan atas hak-hak masyarakat adat di Papua.
“(Perlindungan wilayah masyarakat adat) ini tanggung jawab negara. Apalagi, kalau bicara lingkungan, masyarakat adat yang mempertahankan hutan di Papua, itu juga menyelamatkan kita semua. Seharusnya pemerintah mengakui dan memberi penghormatan,” tambahnya.
Saat bersamaan, perwakilan masyarakat dari Aceh membawa laporan perusakan Suaka Margasatwa (SM) Rawa Singkil. Rubama, perwakilan Tim Koalisi Penyelamatan Rawa Singkil (TPRS) mengatakan, SM merupakan kawasan yang ‘haram’ diintervensi manusia. Namun, alih fungsi hutan untuk perkebunan monokultur mencapai 2.000 hektar.
“SM Rawa Singkil adalah kawasan konservasi yang ‘haram’ diapa-apain, kecuali jadi ruang hidup bagi satwa. SM ini juga adalah ‘kota’nya orangutan. Malah jadi tempat populasi orangutan terpadat. Seharusnya betul-betul terlindungi.”
Menurut Rubama, TPRS 17 kali menyurati sejumlah lembaga pemerintahan untuk menyelamatkan kawasan itu. Sejak 2022, surat-surat yang mereka kirim tidak kunjung mendapat balasan.
Dia berharap kanal “Lapor Mas Wapres” dapat menyalurkan permasalahan tersebut kepada Presiden, mengkoordinir kementerian terkait, dan mendorong penegakkan hukum. Serta, menyelamatkan kawasan konservasi itu.
“Kami bawa surat ke 18, ingin mengadu ke bapak Wapres. Ada data-data yang kami tunjukkan, bagaimana deforestasi meningkat di kawasan yang ‘haram’ itu (diintervensi manusia), apalagi kemudian ditanami tanaman industri.”
******