Sagu, Pangan Warga Bicoli yang Terdesak Tambang 

2 days ago 8
  • Sagu sebagai sumber pangan utama bagi warga kampung Bicoli, Maba Selatan, Halmahera Timur, Maluku Utara.
  • Seiring waktu, terjadi perubahan pola konsumsi di masyarakat Bicoli, dari yang awalnya sangat bergantung pada sagu menjadi mengonsumsi lebih banyak beras.
  • Aktivitas pertambangan di sekitar wilayah Bicoli mengancam keberadaan hutan sagu sebagai makanan pokok warganya
  • Beberapa pihak mendorong adanya konservasi hutan sagu dari ancaman industri ekstraktif, termasuk untuk kepentingan riset

Halik Fanen (67) dan istrinya Fatimun Halik (59), terlihat sibuk memasukan  tepung sagu dari tempat pengolahan ke dalam 7 karung plastik. Mereka  mengolah sagu tersebut tidak jauh dari kampung Bicoli, Maba Selatan, Halmahera Timur, Maluku Utara. Hasil ini diperoleh  setelah  6 hari mengolah empulur empat  pohon sagu.

“Pohon sagunya kurang berisi karena masih kecil sehingga hasilnya tidak seberapa. Empat  pohon  sagu ini kalau pohon  besar dan berisi bisa sampai 13 karung,” katanya ditemui akhir Oktober lalu.

Pohon sagu yang diolah itu milik orang tua Fatimun yang  menjadi warisan keluarga mereka. Selain sagu, terdapat kelapa dalam lahan seluas tiga hektar itu. Karena lahan sagu tersebut warisan orang tua, maka sagu yang diolah itu tidak perlu dibagi lagi.

Fatimun mengatakan tepung sagu itu akan diolah menjadi persediaan pangan untuk beberapa bulan ke depan dan sebagian untuk dikirimkan kepada dua anaknya yang bekerja di salah satu perusahaan tambang nikel di  Weda Halmahera Tengah.

Dia mengatakan sagu menjadi sumber makanan penting saat harga besar sangat mahal. Meski harga juga sagu juga lumayan, tetapi mereka lebih memilih mengolah sagu sendiri untuk bahan makanan.

“Sagu ini sudah bisa jadi modal saat kita kerja di kebun menanam pala cengkih dan kelapa. Kalau kita sudah tua tanaman tahunan itu menjadi tabungan. Hasilnya bisa memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari,” kata Halik.

Meski sagu jadi makanan pokok sejak dahulu, tetapi kini perlahan mulai ditinggalkan. Salah satu buktinya, ada cucunya tidak bisa lagi makan sagu. Sebagian besar warga Bicoli sudah beralih makan nasi meski masih menyajikan sagu saat makan siang maupun makan malam. Padahal, katanya, dulu nasi dikonsumsi nanti  pada hari Jumat saja.

Di kampung ini warga tetap memiliki stok sagu jelang Ramadhan. Sagu  sangat berpotensi menjadi sebagai sumber pangan tradisonal yang dapat diolah menjadi berbagai macam aneka makanan, salah satunnya  menjadi tepung  sagu.

Baca : Bertahan Olah Sagu Sagea di Tengah Himpitan Tambang Nikel

Fatimun, istri dari Halek Fanen menemani suaminya mengolah sagu. Foto : Mahmud Ichi/Mongabay Indonesia

Penelitian yang dilakukan Yusril Mesir dari Universitas Khairun Ternate tahun 2022 di Desa Waci, tetangga desa Bicoli  menunjukkan, wilayah ini memiliki potensi besar sagu sebagai sumber pangan pengganti  beras.

Dalam  riset itu ditemukan  beberapa  jenis sagu yang  berpotensi  jadi  sumber pangan yaitu sagu tuni atau masyarakat Desa Waci menyebutnya sagu biau (Metroxylon rumphii). Ada juga ihur/diglou (Metroxylon longispinum), molat/silva (Metroxylon silverter), sime (Metroxylon sagu), makanaru/gamin (Metroxylon amicarum). Dari jenis sagu ini masyarakat setempat  manfaatkan pati sagu sebagai bahan pangan pokok, makanan  tradisional, dan adonan  kue.

Bagian dari pohon sagu yang biasanya dimanfaatkan adalah pati, daun, tulang daun, pelepah, batang dari pohon sagu untuk  berbagai macam kerajinan. Daun pohon sagu yang dijahit  menjadi atap, tulang daun  diolah menjadi sapu ijuk, pelepah yang diolah menjadi tikar dan tas tradisional dan batang pohon sagu diolah menjadi  kayu bakar maupun bahan  untuk rumah.

Pati sagu diolah menjadi tepung, sagu lempeng dan papeda. Sagu lempeng dibuat menggunakan tepung sagu yang di sudah dihaluskan atau diayak,  lalu dibakar menggunakan alat cetakan atau forno.

Papeda adalah makanan  khas Maluku, Maluku Utara, Papua dan daerah timur Indonesia yang bertekstur kental dan berwarna putih  serta memiliki rasa yang tawar. Makanan ini biasanya dikonsumsi dengan kuah yang dimasak dengan ikan.

Sagu sendiri telah lama dikenal penduduk Maluku Utara terutama di pedesaan. Pengolahan sagu secara tradisional sudah dipraktekkan penduduk di Kabupaten Halmahera Timur secara turun-temurun. Salah satunya di Desa Bicoli dan Waci yang memiliki potensi sagu pengganti beras. Selain sebagai sumber pangan,  juga biasanya berpotensi sebagai pakan ternak. Lahan sagu di Desa Bicoli dan Waci masuk kawasan hutan produksi, dengan luas lahan  mencapai sekitar 137 ha.

Baca juga : Beralih ke Beras, Sagu Halmahera Terus Tergerus

Proses peremasasn pokok sagu oleh para petani di samo Hakmahera Selatan. Foto: M Ichi/ Mongabay Indonesia

Sagu Terancam Industri Ekstraksi

Bicoli adalah salah satu kampung tertua di wilayah Maba Selatan. Dulu, warganya menggantungkan pangannya dari sagu karena memiliki ratusan hektar hutan sagu yang tumbuh tersebar di kawasan belakang kampung hingga ke bagian utara dan bagian selatan.

Selain  memiliki lahan hutan sagu  juga lahan perkebunan lain seperti, pala, kelapa dan cengkeh. Kekayaan alam ini menjadi sumber hidup mereka turun temurun.

Sebagai salah satu wilayah  kaya  tambang terutama nikel dan gamping,   secara umum saat ini Halmahera Timur ramai  dieksploitasi. Daerah  ini telah beroperasi  tambang milik  PT Aneka Tambang yang masuk  status Proyek Strategis Nasional (PSN). Proyek yang digadang gadang memberi kontribusi bagi  daerah itu berada di daerah Maba dan sedang mengeksploitasi nikel  di wilayah ini.

Di Halmahera Timur sendiri setidaknya memiliki sekitar 24 izin perusahaan tambang. Perusahaan ini memang belum beroperasi masuk sampai ke Maba Selatan. Meski demikian wilayah Bicoli dan sekitarnya jika tidak cepat dilindungi maka tinggal menunggu  waktu saja. Pengakuan warga setempat sudah ada beberapa perusahaan  mencoba masuk ke wilayah ini termasuk membujuk masyarakat melepas lahan.

Dilansir dari MODI ESDM Dirjen Minerba, Hamahera Timur mengoleksi 24 IUP  yakni :

Nama Perusahaan Luas Konsesi (Ha)
PT Alam Raya Abadi 924
PT Alngit Raya 137,10
PT Aneka Tambang 39,040
PT Halmahera Sukses Mineral 7.726
PT Haltim Mining 123
PT Indo Bumi Nickel 2.117
PT Sambaki Tambang Sentosa 4.480
PT Wana Halmahera Barat Permai 3.986
PT Wana Kencana Mineral 24.700
PT Jaya Abadi Semesta 1.826
PT Karya Cipta Sukses Lestari 9.458
PT Kurun Cerah Cipta 4.733
PT Makmur Jaya Lestari 394
PT Mega Haltim Mineral 13.510
PT Position 4.017
PT Weda Bay Nikel 45,065,00
PT Anugrah Bukit Besar 2.111.06
PT Arumba Jaya Perkasa 1.818,47
PT Cakrawala Agro Besar 8.198,27
PT Forward Matrix Indonesia 1.417,00-1.721,70
PT Adhita Jaya Indonesia 2.000,00
PT Sumberdaya Arindo 14.421.00
PT Nusa Karya Arindo 20.763,00

Jainal, tokoh pemuda Bicoli bercerita, sekira lima tahun lalu, ada beberapa perusahaan masuk ke Bicoli baik perusahaan sawit maupun tambang batu gamping. Mereka bahkan sudah berusaha  membayar lahan lahan  yang akan dibebaskan. Karena itu sangat dikuatirkan jika kembali lagi tambang atau sawit maka sagu akan habis terbabat.

Jainal cerita beberapa waktu lalu ada perusahaan yang berencana mengelola gamping, ada juga rencana perkebunan sawit  masuk kawasan ini. Bahkan sudah ada lahan warga yang mau dibayar untuk dibebaskan.  Meski dia tidak tahu nama perusahaannya namun  sekira  tahun lalu itu warga sudah mulai bersiap melepas lahan mereka

“Beberapa tahun lalu lahan lahan milik masyarakat sudah mau dibebaskan. Tetapi setelah  berselang beberapa lama perusahaan  itu pergi dan belum kembali lagi  hingga sekarang,” jelasnya.

Warga Bicoli, katanya, khawatir kebun sagu sebagai sumber pangan mereka bakal hilang. “Sebagai warga torang (kami,red) juga kuatir kalau ada izin tambang beroperasi, maka sagu yang ada juga akan hilang,” katanya.

Dia beri contoh  di Weda Halmahera Tengah. Kehadiran perusahaan tambang raksasa  di sana ikut menghancurkan ruang hidup dan menghilangkan sumber pangan warga.

Sufandy aktivis LSM Falalamo salah satu lembaga yang melakukan pendampingan masyarakat lima desa di Kecamatan Maba Selatan pada dua tahun terakhir ini mengatakan sagu memang terancam sehingga perlu didorong konservasinya. Misalnya dengan melindungi lahan lahan sagu yang ada agar tidak dialihfungsikan. Bila industri ekstraktif telah masuk, maka akan sulit untuk melindungi hutan sagu.

Baca juga : Sagu, Sumber Pangan Sangihe, Bagaimana Kalau Ada Tambang Emas?

Aktivitas pembukaan jalan oleh pihak perusahaan PT Priven Lestari untuk rencana penambangan mereka. Foto : Aliansi Masyarakat Buli Peduli Gunung Wato wato

Akademisi Universitas Khairun (Unkhair), Ir. Lily Ishak  melihat  lahan sagu di Maluku Utara semakin berkurang. Padahal sagu menjadi pangan tradisional yang termasuk dalam kearifan lokal masyarakat.

Dekan Fakultas Pertanian Unkhair ini juga mengatakan, kawasan hutan sagu mulai tergerus, dan beralih fungsi  menjadi permukiman, perkotaan, hingga  kawasan industri.

“Di Halmahera Timur, potensi sagunya luar biasa. Tetapi karena tidak dikonservasi maka  kawasan hutan sagu mulai menurun drastis. Kondisi ini maka 50 hingga 100 tahun mendatang lahan sagu akan hilang tak tersisa,” katanya.

Dia mengkhawatirkan ke depan mahasiswa Maluku Utara mempelajari sagu hanya lewat museum atau sumber lain  tanpa tahu  wujud pohon sagu. Lily lantas mendorong kerja sama kampus dengan Pemkab Halmahera Timur membuka lahan sagu sebagai kepentingan riset.

“Kita dari Fakultas Pertanian meminta Pak Rektor untuk bertemu Bupati Halmahera Timur.  Minta 100 hektare lahan sagu  kami jadikan pusat riset Unkhair,” ujar Lily.

Karena itu tindak lanjutnya pada Mei 2024 lalu, Unkhair sudah mengusulkan permintaan kawasan hutan khusus pendidikan seluas 500  hektare ke Pemkab Halmahera  Timur  dan kepada Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.

“Kita berharap usulannya disetujui karena ini juga dalam rangka memperkecil  ancaman kerusakan hutan. Sekaligus membantu pemerintah mengkonservasi hutan dan jenis-jenis keanekaragaman hayatinya,”  katanya. (***)

Jadi Bagian Budaya, Orang Papua Konsumsi Sagu Sejak 50 Ribu Tahun Lalu

Read Entire Article
Apa Kabar Berita | Local|