- Pohon sagu atau rumbia (Metroxylon sagu) sepintas mirip pohon aren atau enau (Arenga pinnata).
- Sama-sama keluarga Palmae atau palem, membuat keduanya kerap tertukar. Tak jarang, orang menganggap kedua pohon ini sama. Padahal berbeda.
- Pohon sagu daunnya memanjang mirip daun kelapa. Tulang daun di tengah, sementara tangkainya menopang daun-daun membentuk sirip ikan di sisi kanan dan kiri.
- Salah satu ciri khas pohon aren adalah batang pohonnya diselimuti serat berwarna hitam yang disebut ijuk. Ijuk digunakan secara luas sebagai atap rumah, tali, atau sapu.
Jadilah seperti pohon kelapa. Semua bermanfaat. Dari akar, batang, buah, pelepah, bahkan lidinya. Petuah bijak ini, kerap kita dengar saat mengikuti gerakan kepanduan.
Pohon kelapa memang istimewa. Ia termasuk spesies dari keluarga Arecaceae atau Palmae yang terkenal karena semua bagiannya berguna. Boleh dibilang, ini menjadi karakteristik umum palem.
Keluarga palem sedikitnya memiliki 2.800 spesies, mereka tersebar di wilayah subtropis dan tropis. Beberapa hidup di area terbatas, bahkan ada yang hanya tumbuh di satu pulau, menurut Britannica.
Sebuah penelitian panjang tentang palem di Papua pernah dikerjakan yang melibatkan peneliti Indonesia, Australia, Swis, Amerika, Inggris dan Papua Nugini. Hasilnya, mereka merangkum 250 spesies palem di pulau Papua yang kemudian diterbitkan dalam sebuah buku.
Di dalamnya termasuk spesies Wallaceodoxa raja-ampat, sebuah pohon palem yang dicirikan berbatang tegak dengan diameter sebesar bambu, yang menjulang tinggi mencapai 30 m. Tanaman ini hanya bisa ditemukan di Raja Ampat, dan sekarang terancam kelestariannya karena pembukaan lahan dan perkembangan kota, menurut Kew.
Baca: Pisang Raksasa Papua, Bisa Setinggi Pohon Kelapa
Dari sekian banyak spesies, salah satu pohon palem yang memiliki peran penting bagi masyarakat Papua adalah sagu atau rumbia (Metroxylon sagu). Mereka terutama memanfaatkan kandungan tepung dalam batang sagu sebagai makanan pokok. Papeda adalah bubur sagu khas masyarakat Papua, juga Maluku. Makanan yang harus dicoba kalau berkunjung ke sana.
Meski demikian, sagu bukan makanan yang ditemukan secara eksklusif di Indonesia Timur saja. Misalnya di wilayah barat, sagu telah termaktup dalam Prasasti Talang Tuwo, Kedatuan Sriwijaya tahun 684 Masehi.
Seperti umumnya pohon jenis palem, pohon sagu daunnya memanjang mirip daun kelapa. Tulang daun di tengah, sementara tangkainya menopang daun-daun membentuk sirip ikan di sisi kanan dan kiri. Sama-sama keluarga Palmae, pohon sagu sepintas mirip pohon aren atau enau (Arenga pinnata). Batangnya juga mengandung tepung yang bisa dimakan sebagaimana sagu.
Karena bentuknya mirip namanya kerap tertukar. Tak jarang pula orang menganggap kedua pohon ini sama saja. Padahal beda. Agar tidak gagal paham, yuk pelajari lebih dekat kedua pohon ini.
Baca: Sagu, Sumber Pangan Nasional yang Belum Dimaksimalkan
Pohon Sagu
“Publikasi pertama dan paling kompeten tentang pohon sagu dikerjakan oleh Rumphius (1741). Dalam Herbarium Amboinense, dia memberikan deskripsi yang sangat teliti tentang pohon sagu sebagaimana yang tumbuh di Ambon,” kata Jan B Rauwerdink, dalam tulisan lama yang terbit 1986. Rawerdink adalah ahli botani asal Belanda.
Secara tradisional, pohon sagu sudah lama dimanfaatkan untuk diambil tepungnya sebagai sumber makanan. Dunia semakin mengenalnya, setelah tahun 1970-an simposium internasional yang membahas potensi sagu sebagai sumber karbohidrat beberapa kali digelar. Pada 1980-an Badan Pangan PBB (FAO) menurunkan tim ahlinya ke Indonesia dan Papua Nugini untuk mempelajari pemanfaatan sagu sebagai sumber pangan.
Umumnya, pohon sagu tumbuh liar dan tidak dibudidayakan. Pohon ini tumbuh di dataran rendah berair seperti rawa atau tepian sungai. Pohon sagu potensial mengisi lahan kurang produktif semacam ini.
Baca: Seho, Pohon yang Sangat Penting bagi Masyarakat Minahasa
Mengutip penjelasan palmpedia, ciri pohon sagu batangnya silindris dan tingginya bisa mencapai 20 m. Biasanya, batang pohon tertutup pangkal daun tersisa dan ada bekas daun melingkar pada buku-bukunya. Ruas-ruasnya kadang tumbuh akar.
Daunnya besar, menyirip, dan menyebar ke samping. Sebagian lainnya tegak lurus. Ada semacam duri di bagian pelepahnya seperti pada pohon salak, yang membuat orang harus berhati-hati saat hendak menebangnya.
Pohon ini juga berbuah. Buahnya mirip salak, dengan kulit bersisik seperti kulit ular. Warnanya hijau saat muda dan menjadi cokelat setelah matang. Rasanya sepat jika masih mengkal dan berubah manis saat sudah matang. Beberapa orang menyebut rasanya mirip teh manis atau jambu air. Saat matang buah sagu akan jatuh sendirinya.
Masyarakat mengambil tepung sagu dengan cara memotong batangnya. Selanjutnya, kulit dibuang untuk diambil batang bagian dalamnya. Batang bagian dalam ini dipotong kecil-kecil agar mudah diparut atau dihancurkan. Langkah berikutnya parutan batang sagu dicampur air agar tepungnya larut. Setelah larut dan mengendap, airnya dibuang sehingga tersisa tepung sagu yang siap dikeringkan.
Selain sebagai sumber bahan pangan, masyarakat Papua juga memanfaatkan pohon sagu untuk bahan sandang, papan, sekaligus penjaga ekosistem lingkungan. Daun sagu bisa dijadikan pakaian dalam upacara adat, juga dianyam menjadi noken yang indah.
Sebagai bahan papan, daun sagu bisa dijadikan atap rumah. Pelepahnya menjadi dinding, dan kulitnya bisa dijadikan lantai. Sementara itu perakarannya yang kuat, ikut membantu menjaga ketersediaan air.
Baca: Rumbia, Buah yang Dijuluki Salak Hutan Aceh
Pohon Aren
Pohon aren lebih sering dijumpai di dataran tinggi. Biasanya mengisi relung bukit atau gunung. Pohon aren akan segera dikenali karena penampakan yang berbeda dibanding pohon besar lain sekelilingnya.
Mengutip palmpedia, batang pohon aren silindris dengan tinggi sekitar 20 meter. Diameternya sekitar 40-50 cm. Daunnya mirip pohon sagu, menyirip ke kanan dan kiri. Dari bawah akan terlihat warna daunnya putih keperakan. Sementara bagian atas hijau tua.
Salah satu ciri khas pohon aren adalah batang pohonnya diselimuti serat berwarna hitam yang disebut ijuk. Ijuk digunakan secara luas sebagai atap rumah, tali, atau sapu.
Selain ijuk, pohon aren merupakan sumber bahan serat alami yang bisa dipakai sebagai campuran polimer ramah lingkungan. Serat pohon aren memiliki sejumlah keunggulan, antara lain tahan terhadap air laut.
“Ini adalah bentuk serat kulit pohon dengan konsentrasi selulosa tinggi, yang menghasilkan kualitas tarik serat sangat baik. Serat ini tidak hanya tahan lama, tetapi juga tahan terhadap air laut,” tulis M Imam, dari Universiti Teknologi Malaysia (UTM), Malaysia. Bersama rekannya, dia meneliti penggunaan pohon aren sebagai sumber serat alami menjanjikan. Laporannya bisa di baca di sini.
Baca juga: Pohon Aren, Kolang-Kaling, dan Jasa Musang
Berbeda dengan pohon sagu, kulit buah pohon aren mulus tidak bersisik seperti buah sagu. Kulit buah berwarna hijau saat muda dan berubah menjadi kekuningan saat tua.
Agar bisa dimakan, buah aren yang disebut kolang kaling harus dibakar atau dimasak untuk menghilangkan getahnya. Selanjutnya, kulit buah dikupas lalu diambil isinya.
Seperti halnya pohon sagu, batang pohon aren juga mengandung pati karbohidrat. Cara mendapatkannya, sama dengan pohon sagu. Setelah dikelupas kulitnya, isi batangnya diparut atau ditumbuk. Selanjutnya, dilarutkan ke air sehingga patinya mengendap.
Berbeda dengan pohon sagu yang lebih banyak diambil tepungnya, nira masih menjadi hasil utama pohon aren. Nira diperoleh dengan cara memotong tangkai bunga atau buah.
Air yang mengandung gula yang keluar dari tangkai kemudian di masukkan ke wadah untuk dipanen. Gula aren yang terbuat dari nira ini memiliki kandungan nutrisi lebih baik dibanding gula tebu, karena kandungan mineralnya lebih tinggi.
Aren dan Sagu, Pohon yang Perlahan Menghilang di Sumatera Selatan