- Studi terbaru mengungkapkan bahwa konsentrasi mineral esensial dalam cula badak terlalu rendah untuk memberikan manfaat kesehatan yang signifikan, sehingga meragukan klaim penggunaannya dalam pengobatan tradisional Tiongkok.
- Cula badak mengandung mineral yang berpotensi beracun, dan kurangnya pengujian serta pengawasan kualitas memperburuk risiko konsumsi produk turunan cula badak.
- Penurunan permintaan konsumen terhadap produk cula badak harus dilakukan bersamaan dengan upaya perlindungan satwa untuk mengatasi perburuan liar dan perdagangan ilegal.
Pernahkah kita membayangkan memakan potongan kuku sendiri? Inilah gambaran yang mungkin cocok saat membahas bubuk cula badak yang dijual di Vietnam atau Tiongkok. “Trofi” yang dianggap berharga bagi sebagian orang sebenarnya terbuat dari keratin, protein yang sama dengan yang membentuk kuku dan rambut manusia. Studi terbaru yang dipublikasikan di Scientific Reports menunjukkan bahwa cula badak memiliki kandungan nutrisi serupa dengan keratin manusia, memperjelas kesimpulan ilmiah bahwa mengkonsumsi cula badak tidak memberikan manfaat kesehatan yang signifikan.
Di beberapa wilayah Asia, di mana pengobatan tradisional Tiongkok telah menjadi bagian penting dari budaya, cula badak telah dikonsumsi selama ribuan tahun. Teks-teks medis dari abad ke-16 menunjukkan bahwa cula badak dipercaya dapat menyembuhkan berbagai penyakit, mulai dari demam, rematik, gigitan ular, hingga mengusir roh jahat.
“Cula badak telah lama dijual sebagai bagian dari pengobatan tradisional Tiongkok (TCM/Traditional Chinese Medicine) oleh para tabib yang meyakini bahwa cula badak mampu menghilangkan panas dan membersihkan racun dari tubuh,” kata Terri Roth, penulis utama dari studi tersebut sekaligus kepala Pusat Konservasi dan Penelitian Satwa Liar Terancam Punah (CREW/Center for Conservation and Research of Endangered Wildlife) di Kebun Binatang & Taman Botani Cincinnati, Ohio, AS.
Namun, penelitian terbaru ini menunjukkan bahwa meski cula badak mengandung beberapa mineral bermanfaat, sayangnya konsentrasi mineral ini masih sangat rendah dan tidak cukup untuk memberikan manfaat kesehatan apa pun. Perdagangan cula badak telah menjadi ancaman utama bagi populasi badak di Afrika dan Asia, di mana para pemburu liar membunuh hewan tersebut dan memotong culanya dengan parang atau gergaji mesin — kadang-kadang saat hewan masih hidup. Oleh karena itu, pemahaman tentang komposisi cula badak menjadi semakin penting.
Baca Juga: 10 Fakta Penting Badak, Satwa Pemalu yang Terancam Punah di Bumi
Manfaat Kesehatan yang “Tak Masuk Akal”
Untuk memahami lebih lanjut tentang kandungan yang sebenarnya dikonsumsi oleh pengkonsumsi cula badak, para peneliti dalam studi ini mengukur kadar mineral pada sampel cula, baik dari lapisan luar maupun inti, dari badak putih (Ceratotherium simum) dan badak hitam (Diceros bicornis) yang berada di penangkaran. Kedua spesies tersebut berasal dari wilayah sub-Sahara Afrika, di mana badak putih berstatus hampir terancam punah, sementara saudaranya badak hitam berstatus sangat terancam punah.
“Beberapa penelitian yang dilaporkan mengenai khasiat medis cula badak sebagian besar berfokus pada aktivitas antipiretik [penurun demam], dan hasil yang dipublikasikan saling bertentangan,” tulis para peneliti tersebut. Mereka juga memperingatkan adanya penggunaan cula badak yang semakin meluas untuk mengobati penyakit berat, yang sebenarnya membutuhkan perawatan medis.
Setelah menganalisis kandungan mineral seperti natrium, belerang, tembaga, dan zat besi, para ilmuwan menemukan elemen-elemen penting dan juga yang berpotensi beracun. Dari 12 mineral esensial yang terdeteksi, konsentrasinya jauh lebih rendah dibandingkan dengan yang tersedia dalam suplemen vitamin harian yang jauh lebih murah. Dengan demikian, klaim tentang manfaat kesehatan dari mengkonsumsi cula badak dianggap “tidak masuk akal,” dalam kesimpulan studi tersebut.
Selain itu, mineral beracun juga ditemukan dalam konsentrasi yang sangat rendah, sehingga kemungkinan besar tidak akan menimbulkan risiko kesehatan yang serius bagi kesehatan manusia dalam dosis yang wajar. Namun, ada hal lain yang perlu diperhatikan.
Tim Roth menemukan fakta bahwa sampel yang diambil dari permukaan luar cula badak ternyata memiliki konsentrasi lebih tinggi dari berbagai mineral dan logam beracun, hal ini sejalan dengan komposisi lingkungan tempat badak tersebut hidup, terutama dari tanah. Komposisi dari tanah pun juga bervariasi secara secara signifikan dari satu lokasi ke lokasi lain, sehingga sulit untuk memprediksi bahan-bahan yang melekat pada bagian luar cula badak.
Sebagai contoh, Roth menyebut arsenik. Pada cula badak yang tergolong “bersih,” konsentrasi arsenik mungkin tidak berbahaya bagi kesehatan manusia. Namun, pada sampel yang terkontaminasi tanah, kadar arsenik bisa melebihi batas yang diizinkan oleh regulator untuk makanan dan obat-obatan pada manusia.
“Kita bisa saja membayar mahal untuk sebuah sampel yang mungkin sebenarnya penuh dengan kotoran,” ungkapnya.
Olivia Smith, manajer komunikasi di LSM Helping Rhinos yang berbasis di Inggris, menambahkan bahwa cula badak liar kemungkinan mengandung lebih banyak bahan terkontaminasi dibandingkan dengan cula badak yang berada di penangkaran yang digunakan dalam studi. Mengingat produk berbasis cula badak saat ini ilegal, tidak ada pengawasan dan regulasi yang mengontrol kualitas cula badak tersebut, sehingga mengkonsumsi cula badak bisa sangat berbahaya.
“Setiap obat, baik yang berbahan dasar tumbuhan, mineral, atau produk hewan, jika digunakan secara tidak benar, akan membahayakan pasien,” kata Lixing Lao, presiden dari Virginia University of Integrative Medicine sekaligus ketua bersama Koalisi Perlindungan Satwa Liar dalam Pengobatan Tradisional Tiongkok (TCM).
“Kontribusi studi ini meningkatkan kesadaran kita tentang produk ini,” tambahnya. “Bagi konsumen yang tidak memiliki pengetahuan tentang pengobatan Tiongkok, mengonsumsi produk ini tanpa adanya pengawasan bisa lebih berisiko dan berbahaya.”
Baca Juga: Surat Pendiri Mongabay untuk Sang Anak: Badak Sumatera Mungkin Telah Punah Saat Kau Dewasa
Dari simbol status menjadi ‘segenggam kotoran’
Permintaan cula badak hampir seluruhnya berasal dari negara-negara Asia, terutama Vietnam dan Tiongkok, yang menyebabkan perburuan liar di belahan dunia lain. Seperti yang disampaikan oleh Lao, “Masalah satwa terancam punah adalah masalah global. Jika kepunahan terjadi di satu tempat, maka dampaknya akan dirasakan oleh seluruh dunia.”
Pada tahun 2022, populasi badak di Afrika meningkat sebesar 5,2% menjadi 23.290 ekor. Namun, 561 badak Afrika dibunuh oleh pemburu liar, termasuk 448 di antaranya di wilayah Afrika bagian Selatan. Negara tersebut, memiliki populasi badak terbanyak, mencatat peningkatan perburuan hingga 499 ekor pada tahun 2023.
“Saat ini, media internasional menyalahkan pengobatan tradisional Tiongkok (TCM) atas punahnya hewan-hewan langka di dunia,” kata Lao, yang juga memperingatkan bahwa kerusakan reputasi bisa terjadi “jika komunitas TCM tidak mengambil langkah untuk melindungi satwa yang terancam punah.”
Secara global, perburuan secara terus-menerus telah menyebabkan kepunahan beberapa subspesies badak. Saat ini, badak putih utara (Ceratotherium simum cottoni) telah dinyatakan punah secara fungsional, dengan hanya menyisakan dua individu badak betina. Badak Jawa dan Badak Sumatera yang berstatus sebagai spesies sangat terancam punah, masing-masing diperkirakan hanya tersisa sedikitnya lebih dari 50 ekor. Baru-baru ini, di Indonesia, pihak berwenang menangkap pemburu liar yang dituduh membunuh sekitar sepertiga populasi badak Jawa dunia. Ancaman terbesar bagi badak India (Rhinoceros unicornis), yang saat ini masuk dalam kategori rentan, juga adalah perburuan untuk diambil culanya.
Menurut Smith, statistik badak Afrika “benar-benar campuran,” ia merasa optimis bahwa, tidak seperti kondisi kritis yang dialami badak Jawa dan Sumatra, spesies badak Afrika memiliki peluang yang lebih baik untuk bertahan di habitat alami mereka, dengan dukungan dan upaya konservasi yang kuat dari komunitas internasional.
Dave Balfour dan Sam Ferreira, yang merupakan ketua dan petugas ilmiah dari Kelompok Spesialis Badak Afrika di IUCN (lembaga global yang menangani konservasi satwa liar), mengatakan bahwa meskipun perburuan liar masih terus menjadi ancaman, ada harapan yang lebih optimis untuk masa depan badak Afrika.
Roth menambahkan bahwa badak memiliki kemampuan berkembang biak yang baik di Afrika jika diberi kesempatan dan kondisi yang mendukung. Namun, dia memperingatkan bahwa kita tidak boleh lengah atau mengurangi upaya perlindungan, baik di Afrika maupun Asia, karena ancaman terhadap badak masih ada dan membutuhkan perhatian serius.
“Sayangnya, ada saja pembeli yang kini memanfaatkan kelangkaan dari spesies badak untuk keuntungan pribadi,” jelas Smith. “Semakin langka hewan tersebut, semakin mahal pula harga dri cula badak. Untuk mengatasi masalah ini, perlu adanya pendekatan yang benar-benar berbeda, yakni dengan menghilangkan sepenuhnya nilai komersial dari cula badak itu sendiri.”
Roth menambahkan bahwa saat ini, cula badak semakin banyak dibeli oleh konsumen kaya bukan untuk keperluan medis seperti menurunkan demam, tetapi lebih sebagai simbol status atau “detoksifikasi” dari gaya hidup berlebihan. Konsumsi ini tidak lagi berkaitan dengan upaya mengobati penyakit, melainkan hanya untuk menunjukkan status sosial.
Sebaliknya, Roth menyarankan bahwa jika pemberian cula badak dianggap setara dengan segenggam kotoran, orang-orang mungkin akan mencari alternatif yang lebih pantas saat ingin menyenangkan diri atau mengesankan orang lain.
Mengurangi permintaan konsumen untuk mengurangi perburuan liar
Para peneliti konservasi di Afrika Selatan telah mengembangkan inisiatif kreatif dengan menyuntikkan bahan radioaktif ke dalam cula badak. Tujuannya, agar cula tersebut dapat terdeteksi dengan mudah oleh alat pendeteksi radiasi di perbatasan internasional.
Solusi lain adalah melakukan Dehorning, di mana badak secara rutin dibius dan culanya akan dipotong agar tidak menjadi target perburuan. Namun, cara ini tidak sepenuhnya menjamin keamanan badak dari perburuan. Selain itu, badak membutuhkan culanya untuk beberapa fungsi penting seperti menunjukkan dominasi, mempertahankan diri, mengarahkan anak-anaknya, juga mencari rumput tersembunyi di tumpukan tanah yang padat.
Menurut Roth, sebaiknya ada banyak tindakan yang dilakukan sekaligus, karena lanskap konservasi satwa liar terus berubah dengan cepat.
“Melindungi badak liar dari pemburu ilegal adalah prioritas utama, tetapi dengan melakukan itu, kita sebenarnya hanya mengatasi gejala dari masalah yang lebih besar,” katanya.
Beberapa organisasi telah memprioritaskan upaya untuk mengurangi permintaan konsumen terhadap cula badak, sayangnya ini adalah strategi yang memerlukan waktu lama untuk mencapai hasil.
“Merubah keyakinan tradisional yang telah ada selama bertahun-tahun membutuhkan waktu bertahun-tahun, bahkan generasi. Jadi, sementara upaya jangka panjang ini dilaksanakan, sangat penting untuk mempertahankan upaya anti-perburuan agar badak memiliki cukup waktu untuk strategi pengurangan permintaan dapat memberikan hasil,” kata Smith. “Tanpa adanya kerja segera untuk melindungi badak, tidak akan ada lagi badak yang tersisa ketika program pengurangan permintaan mulai menunjukkan hasil. Sebaliknya, tanpa tujuan jangka panjang untuk mengakhiri permintaan, kita akan terjebak dalam siklus perlindungan badak yang intensif dan mahal tanpa akhir.”
Smith berharap bahwa akan ada lebih banyak orang dapat memahami hubungan antara badak yang hidup damai di alam liar dan bubuk cula badak, namun ia juga menyadari bahwa hal ini tidaklah realistis.
Selama penggunaan cula badak masih dilegalkan oleh pemerintah di negara-negara dengan permintaan cula badak yang tinggi, pasar gelap akan terus selalu memiliki celah yang memungkinkan untuk cula badak hasil perburuan liar itu masuk. Selain itu, pesan untuk tidak menggunakan cula badak akan menjadi kurang efektif,” jelas Smith.