Tiomerli Sitinjak, Perekat Para Petani Futasi

1 day ago 7
  •  Tiomerli Sitinjak, Perempuan penggerak agraria yang berupaya mempertahankan tempat hidup bersama kelompok taninya. Dia Ketua Forum Tani Sejahtera Indonesia (Futasi). 
  • Sejak belasan tahun lalu tinggal di tanah eks hak guna usaha (HGU) PTPN III di Kelurahan Gurilla, Siantar Sitalasari, Pematangsiantar, Sumatera Utara. Perusahaan pelat merah klaim area masih HGU mereka, petani garap tanah tergusur.
  • Kecakapan Tiomerli Sitinjak itu yang membuatnya terpilih jadi Ketua Futasi menggantikan Jonar Sihombing. Pada 14 November 2022,  KPA mengundang Futasi menghadiri rapat dengar pendapat dengan Komisi II DPR di Jakarta.
  • Upaya mendapatkan  pengakuan dan perlindungan negara atas tanah yang mereka garap sudah dilakukan ke berbagai lembaga dan kementerian.  Tiomerli pun menggantung asa dengan menyanyikan lirik ‘Gurilla Melawan.’ Hai Gurilla Indonesia yang gagah perkasa….”  

Hai Gurilla, Indonesia yang gagah perkasa.. Cita-citamu tinggi untuk nusa bangsa.  Pengorbananmu sudah terang.  Tinggal di rimba walau tak senang.  Mempertahankan jiwa ragamu, memusnahkan segala musuhmu.  Hai Gurilla….Bersiap…. merebut kembali Kota Siantar.

Tiomerli Sitinjak tertawa kecil, menutup mata, dan berdoa. Anak-anak kecil membawakan kue dengan lilin-lilin kecil di atasnya. Opung, begitu biasa orang memanggil Tiomerli Sitinjak, berulang tahun hari itu.

Di rumah yang dia bangun, di tanah perjuangan Gurilla, Tiomerli rayakan usia 55 tahunnya. Ketua Forum Tani Sejahtera Indonesia (Futasi) dari Sumatera Utara ini lahir 25 Agustus 1968 di Panombean.

Bertani adalah setengah dari hidupnya. Orang tuanya juga petani padi. Dari Bertani, dia dan saudaranya bisa sekolah sampai tamat SMA.

“Dulu tamat SMA saja susah, sudah bisa kerja,” katanya.

Setelah menikah dia sempat bekerja di perkebunan, diajak teman sekampungnya. Tiomerli lalu pindah ke perkebunan sawit yang baru dibuka di Pekanbaru, di pinggiran hutan jauh dari desa.

Banyak pekerja kebun punya anak hingga ada sekolahdi sana. Timoerli diminta jadi guru di sekolah baru itu karena punya ijazah SMA.

“Aku guru perempuan satu-satunya, yang lain laki-laki. Waktu itu sekitar enam orang diminta jadi guru,” katanya.

Itu tak lama. Tiomerli mengandung dan melahirkan anak pertamanya.

Bayi kecil itu sakit-sakitan dan terus menangis. Akhirnya dia memutuskan pulang, suaminya tetap bekerja di perkebunan sawit itu selagi dia obati anaknya di kampung.

Dua bulan setelah itu, sang suami pun menyusul balik ke kampung, meninggalkan pekerjaan dan barang-barang mereka.

Tiomerli menetap di Panombean, menyewa rumah. Mereka tanam padi. Kalau pekerjaan di sawah selesai, dia jadi buruh harian di sawah orang lain.

Keluarganya tak memiliki tanah hingga harus menyewa tanah orang lain seluas satu hektar dengan harga lima karung padi per satu rante.

Tiap satu hektar hanya hasilkan 25 karung padi sekali panen. Dipangkas biaya tenaga, pupuk, dan pestisida hanya mendapat sisa sedikit untuk setok makan sampai panen berikutnya. Belum lagi,  kalau padi terserang hama dan cuaca buruk, bisa gagal panen.

Enggak cukup buat hidup sehari-hari,” katanya.

Panombean merupakan lumbung pangan Kabupaten Simalungun. Pada 2021,  Panombean punya 17.000 hektar sawah dan jadikan Simalungun sebagai lumbung pangan terbesar kedua di Sumatera Utara.

Mereka menanam padi dengan instruksi pemerintah mulai dari pembibitan, waktu tanam, hingga pupuk apa yang akan dipakai.

08. PTPN III memasang plang HGU 1/Pematangsiantar di berbagai titik. Saat pemasangan plang ini anggota FUTASI berdemo hingga dua anggota mereka ditangkap. Foto: Widiya Hastuti

Pernikahan pertama Tiomerli tidak bertahan lama. Dia berpisah dengan suaminya dan merawat tiga anak sendirian.

Tiomerli ditawari menggarap tanah. Syaratnya, harus menanam secara kelompok. Dia tahu, tanah yang ditawarkan itu eks  HGU PTPN III di Kelurahan Gurilla.

Punya tanah adalah cita-citanya agar tak mau terus menyewa milik orang lain. Dia pun bergabung dengan Kelompok Tani Panombean untuk menggarap tanah. Saat pertama datang,  mereka mendirikan gubuk-gubuk dari daun sebagai tempat menginap satu-dua malam. Mereka datang berkala untuk mengurus tanaman.

Satu tahun di Gurilla, dia sempat menjabat sebagai sekretaris kelompok. Kemudian bertemu dengan Hesrun Manurung dan menikah. Tiomerli pindah kelompok tani dan berhenti jadi pengurus Panombean.

Setelah menikah Tiomerli pindah ke rumah suaminya di Tomuan. Dia menanam padi di tanah mertuanya. Sembari itu, dia mulai bangun rumah di Gurilla. Awalnya,  dari tepas, perlahan rumah mulai dibangun permanen.

Enggak bagus tapi rumah sendiri, daripada di luar ngontrak.”

Rumah itu terbuat dari bata, sebagian besar tak diplester. Di bagian depan terpasang bendera KPA dan tulisan “No Tali Asih.” Teras kecil rumah berpagar semen setinggi betis.

Di dalam teras itu ada kursi plastik hijau dan satu meja kayu. Orang-orang datang dan duduk di sana saat waktu luang. Sebagian duduk di kursi yang lain di pagar. Rumah itu jarang sepi. Anak-anak berlarian keluar masuk atau berteriak minta tebu di pekarangan rumah.

“Cucuku cuma dua ini, itu anak-anak tetangga suka main ke sini,” kata Tiomerli.

Di pekarangan dulu ada banyak pohon buah. Ada mangga, nangka, pidang, kelapa, durian, dan lain-lain. Pohon-pohon itu dibongkar saat okupasi. Dia pergi ke tempat lain saat pohon-pohon itu dibongkar, tak kuat melihat tanaman dirusak.

Cucu pertamanya yang berusia tiga tahun menangis dan melawan saat pohon mangga kesayangan dibongkar.

“Dia sering manjat mangga itu karena pohonnya rendah.”

Tiomerli mulai menetap di rumah itu pada 2005, meninggalkan rumah mertua yang ditempati adik suaminya. Mulai saat itu dia membangun kehidupan di Gurilla. Satu anaknya lahir di sana, empat menamatkan sekolah di Gurilla. Dua cucunya juga besar di Gurilla.

Saat ini, dia tinggal di rumah itu bersama suami, dua anak, dan satu keponakan. Anak perempuan pertamanya yang sudah menikah, baru pindah rumah tak jauh dari Tiomerli. Anak perempuan yang lain merantau ke Medan.

Menurut Tiomerli, walaupun rumah kecil tetapi senang dengan lingkungannya. Dia sudah nyaman di sana. Di luar Gurilla, katanya,  belum tentu mampu membeli tanah dan membangun rumah. Rumah itu sampai sekarang terus dia pertahankan.

Tanah  tempat tinggalnya itu eks HGU tetapi dia belum memiliki sertifikat. Dia aktif dalam Forum Tani Sejahtera Indonesia (Futasi). Kalau ada desas-desus soal tanah dia segera tahu.

Suatu waktu, katanya,  pernah seorang laki-laki datang dengan pengacara dan kepala desa mengklaim tanah seluas tiga hektar yang dibangun rumah, sebagai miliknya. Lelaki itu membawa surat tanah ditandatangani kepala desa waktu itu. Mendengar kabar tentang surat tanah, Tiomerli segera menemui orang itu.

“Aku pikir kalau tanah ini udah ada suratnya, ngapain kita lawan PTPN III lagi.”

Dia penasaran tentang surat tanah itu. Warga pun marah mendengar kabar Tiomerli. Mereka menolak surat itu.

“Aku bilang, surat ini betul tanahnya di sini. Kalau bapak ini mau tanah ini kami kasih, syaratnya buatkan kami surat yang sama kayak gini ditanda-tangani ibu kepala desa.”

Kan ibu kepala desa mengakui surat ini, jadi kami juga bisa dibuatkan surat begini.”

Orang-orang setuju dengan Tiomerli. Setelah berdebat, kepala desa mengatakan tidak bisa mengeluarkan surat yang sama. Pengacara dan si bapak akhirnya pulang.

Rasa ingin tahunya itu juga yang membuatnya sering bersitegang dengan ketua-ketua Futasi terdahulu. Dia sering bertanya hal-hal detail soal dokumen. Dia juga tak segan bertanya kalau ada hal tak masuk akal. Dia bahkan dapat menyebutkan rincian luas tanah dan nomor HGU dari semua tanah milik PTPN III Kebun Bangun itu.

Sihaloho, Sekretaris Futasi menilai,  Tiomerli sosok kritis dan punya ingatan bagus. Tiomerli dapat menjelaskan dengan baik permasalahan tanah Gurilla.

Saat PTPN pengambilan lahan yang digarap warga (penggusuran) pertama Oktober 2022,  Futasi, manajer PTPN III, dan Kapolres Kota Siantar bermusyawarah di pondok perusahaan pelat merah itu. Anggota Futasi menyampaikan keluhan kepada polisi yang mengawal penggusuran.

Alasan polisi,  okupasi berdasarkan HGU Nomor 3 Pematang Siantar. Tiomerli membantahnya. Dia jelaskan, HGU yang dimaksud kapolres itu salah dan cacat hukum.

Tanah yang mereka duduki saat ini merupakan Kota Pematang Siantar. Berdasarkan surat keputusan Wali Kota Pematang Siantar,  tak boleh lagi jadi perkebunan. Polisi, katanya,  tak memiliki dasar untuk okupasi.

“Pak polisi bacalah, enggak usah aku yang ajari polisi,” kata Tiomerli.

Ucapan Tiomely ini direkam, diunggah ke media sosial, dan ditonton lebih 10.000 kali.

Tiomerli juga tak segan-segan turun ke lapangan ketika okupasi maupun saat mereka aksi. Dia selalu ada di barisan depan, meletakkan badan di depan ekskavator.  Atau saat beruntung dia akan menduduki ekskavator. Di atas ekskavator ia akan bernyanyi atau membacakan proklamasi.

“Penjajahan di atas dunia harus dihapuskan! Tapi kita di sini diokupasi adalah bagian dari penjajahan!” kata Tiomerli. Dia berdiri dengan tangan terkepal di udara.

“HGU abal-abal, HGU abal-abal,” ejeknya di lain waktu.

Timerli Sitinjak, Keua Futasi. Foto: Widiya Hastuti

Ditunjuk jadi ketua

Kecakapannya itu yang membuatnya terpilih jadi Ketua Futasi menggantikan Jonar Sihombing. Pada 14 November 2022,  KPA mengundang Futasi menghadiri rapat dengar pendapat dengan Komisi II DPR di Jakarta.

Tiomerli pergi karena Jonar mengaku sakit,  tak mau pergi. Sementara dia di Jakarta,  anggota Futasi membuat rapat umum anggota. Mereka menuntut Ketua Futasi diganti karena dianggap kurang cakap.

Rapat mereka gelar.  Para anggota ganti ketua dan jadi dewan penasihat. Saat akan memilih ketua baru anggota Futasi mencalonkan Tiomerli.

Mamak pasti enggak mau, aku bilang gitu,” ucap Derhani Malau, anak pertama Tiomerli.

Darhani menelepon Timoerli dan menanyakan kesediaan.

Dari Jakarta, Tiomerli menolak tawaran itu. Dia merasa tak dapat jadi ketua karena tak pandai pakai ponsel, sepeda motor, juga administrasi lain.

“Ketua itu kan yang berurusan ke sana-kemari, gimana kalau enggak bisa (gunakan teknologi),” kata Tiomerli.

Anggota terus mendesaknya. Di Jakarta,  Dewi Kartika, Sekertaris Jenderal KPA juga menyarankan Tiomerli menerima tawaran itu.

“Bu Dewi bilang, hargai teman-teman kan sudah diminta jadi ketua,”

“Aku bilang, kalau sekretarisnya Pak Haloho, aku mau.”

Haloho atau Komter Sihaloho adalah pensiunan pegawai pajak. Dia datang ke Gurilla karena ingin bertani dan beternak. Tiomerli memintanya menjadi sekertaris karena merasa cakap dalam mengurus administrasi.

Sihaloho menyanggupi. Tiomerli jadi ketua.

Namun, pada 17 Oktober 2022, Jonar gugat Tiomerli dengan tuduhan kudeta dan kepemimpinan tidak sah. Di Pengadilan Negeri Pematang Siantar Tiomerli dinyatakan bersalah.

Pengadilan membebani denda Rp1 miliar padahal seluruh anggota Futasi mengakui Tiomerli sebagai ketua.

“Kami yang minta dia jadi ketua. Dia aja masih di Jakarta waktu itu,” kata Haloho.

“Ketua lama itu yang enggak mihak anggota, dia aja waktu rapat malah tidur. Waktu okupasi mana ada turun lapangan,  malah makan rujak di depan rumahnya.”

“Dia panen ubi duluan, enggak dibilangnya kalau mau okupasi ke kami.”

Tiomerli tak gentar dengan gugatan itu. Dia banding atas putusan itu.

Kendati begitu, jadi ketua bukan perkara mudah. Tiomerli terus jadi target orang-orang yang memihak PTPN III.

Matanya pernah membengkak karena dipukul pekerja PTPN III yang mencabut jagung yang dia tanam. Tiomerli juga sudah tak dapat menghitung berapa kali harus berguling-guling di tanah dan dibuang saat okupasi.

Polisi terus memanggilnya untuk minta keterangan. Mulai dari Polres Kota Pematang Siantar sampai Polda Sumatera Utara. Belakangan dia tak lagi memenuhi panggilan itu.

Tawaran tali asih juga datang agar mau meninggalkan Gurilla. Tiomerli menolak.

Saat diperiksa Polda Sumatera Utara Januari 2023 selama hampir 10 jam, Tiomerli juga ditanyai penyidik soal tawaran uang PTPN III.

Penyidik menawarkan uang Rp2 miliar kalau mau pindah. “Rp1 miliar saja cukup pak,” kata Tiomerli

“Tapi kami semua dapat, jangan cuma saya.”

Bagi Tiomerli,  perjuangan di Gurilla tidak hanya untuk mempertahankan tanah pribadi juga petani lain yang telah bersama hampir 20 tahun.

Dia menegaskan,  jika ingin bertahan mereka akan bertahan bersama. Kalau mau mundur,  mereka juga akan mundur bersama.

“Masih kuat berjuang? Saya selalu bilang itu waktu rapat kalau mereka jawab ‘masih’ baru rapat dimulai,” kata Tiomerli.

Dia terus berusaha agar api semangat mereka tak padam.

06. Ibu-ibu berkumpul mengawasi eksavator yang baru masuk ke PTPN III. Mereka berjaga-jaga jika eksavator itu akan mengokupasi mereka. Foto: Widiya Hastuti

***

Tiomerli duduk di teras rumah sambil mengunyah sirih, sore itu. Kakinya sakit tanpa tahu penyebabnya. Dia baru kembali dari toko menanyakan peluang kerja.

Pemilik toko memintanya membuat bawang goreng. Bawang itu dimasak di rumah dan dijual ke pemilik toko.

Tiomerli ingin mencoba pekerjaan itu. Kalau menguntungkan dia akan ajak orang di kampung juga.  Warga di Gurilla kehilangan mata pencarian dan kesulitan ekonomi setelah penggusuran. Sudah setahun berlalu, tetapi kondisi ekonomi warga masih sulit walau sebagian sudah jadi buruh atau anak-anak merantau cari kerjaan.

Pada awal penggusuran,  warga Gurilla bahkan sampai kesulitan makan. Ada yang gagal panen, tak punya tanah, dan sibuk mengurusi ekskavator.

Pernah suatu pagi,  seorang tetangga datang ke rumah Tiomerli minta satu tumba beras (sekitar satu kg) karena anaknya belum makan.

Tiomerli marah karena tak datang dari  kemarin. Dia memberikan beras dan menyuruh tetangga itu segera memasak.

Di lain waktu Tiomerli berdiam diri karena tak memiliki uang untuk ongkos anak sekolah. Seorang tetangga datang dan memarahinya karena tak memberi tahu. Tetangga itu kemudian mengantarkan anaknya ke sekolah.

“Kami kesulitan, tapi juga jadi makin peduli,” katanya.

Tiomerli tak yakin mereka dapat bertahan tanpa bantuan di bulan-bulan sulit itu. Sampai akhirnya dia meminta laki-laki tak melanjutkan perjuangan dan cari pekerjaan. Sekarang, mereka harus bertahan dari kesulitan ekonomi dan bersiap kalau tiba-tiba ada penggusuran lagi.

Upaya mendapatkan  pengakuan dan perlindungan negara atas tanah yang mereka garap sudah dilakukan ke berbagai lembaga dan kementerian.

“Kami udah coba sana-sini buat minta bantuan ke Kementerian ATR/BPN, KSP, Komnas HAM, semua udah dicoba. Enggak ada penyelesaian. Kami cuma bisa menunggu sekarang. Yang penting kawan-kawan bisa bertahan,” katanya.

Tiomerli pun menggantung asa dengan menyanyikan lirik ‘Gurilla Melawan.’ 

Hai Gurilla Indonesia yang gagah perkasa….”  

*******

*Tulisan ini kolaborasi Mongabay Indonesia dan Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA)

Perjuangan Petani Siantar Merebut Tanah Pertanian

Read Entire Article
Apa Kabar Berita | Local|