- Ada berbagai jenis rafflesia (bunga patma) yang ada di Indonesia, sebagai tumbuhan asli Asia Tenggara yang memiliki fase vegetatif dan generatifnya. Dalam fase puncak generatifnya bunga padma mekar sempurna.
- Ada tiga jenis rafflesia yang ada di Pulau Jawa. Salah satunya R. patma yang ditemukan di pesisir selatan Jawa. Salah satu habitat pentingnya berada di CA Pangandaran.
- Dengan luas wilayah konservasi 454,6 hektar, keberadaan rafflesia di Cagar Alam ini amat rentan karena gangguan fisik, cuaca, hingga tsunami.
- Sejak tahun 2004, para peneliti BRIN mencoba untuk melakukan konservasi ex-situ di Kebun Raya Bogor. Meskipun telah berhasil berbunga, para peneliti masih mencari cara penyerbukan bagi keberlanjutan spesies langka terancam punah ini.
Hidup di hutan-hutan hujan tropis di Asia Tenggara, seperti Indonesia, Malaysia, Filipina, Thailand hingga Brunei, bunga patma atau disebut rafflesia adalah tumbuhan unik. Spesies parasit ini memiliki fase vegetatif, yaitu periode ia bersembunyi di dalam inangnya, dan fase generatifnya yang ditandai dengan bunga merahnya yang mekar.
Saat mekar, rafflesia menampilkan kelopak bunga raksasa dengan bau menyengat seperti daging busuk, yang merupakan strategi alaminya untuk menarik lalat penyerbuk. Rafflesia pun amat tergantung pada inangnya yaitu tumbuhan rambat hutan yaitu tetrastigma sp. (Vitaceae).
Sebagai spesies yang tidak mampu berfotosintesa, sepenuhnya rafflesia bergantung pada inangnya untuk memperoleh nutrisi dan air. Hal ini membuat tumbuhan ini amat rentan terhadap perubahan fisik kawasan hutan.
Meskipun di Indonesia, jenis rafflesia yang paling terkenal dan ikonik R. arnoldii yang dijumpai di Bengkulu, wilayah pesisir barat Sumatera hingga kawasan Bukit Barisan. Sebenarnya jenis-jenis rafflesia lain pun dapat dijumpai di Pulau Sumatera, Kalimantan dan Jawa.
Di Pulau Jawa, terdapat tiga spesies rafflesia, yaitu R. zollingeriana yang ada di TN Meru Betiri (Jawa Timur), R. rochussenii di lereng TN Halimun Salak (Jawa Barat), dan R. patma yang berada di Cagar Alam Pangandaran (Jawa Barat).
Beberapa literatur menyebutkan bahwa R. patma, juga dilaporkan berada di wilayah selatan Jawa lain, seperti Nusakambangan, Leuweung Cipeucang di Geopark Ciletuh, Bojong Larang Jayanti, dan Leuweung Sancang.

“Saat ini, jumlah bunga Rafflesia patma di kawasan ini hanya sekitar 15 individu, baik yang masih berbentuk knop (kuncup) maupun yang sudah mekar. Jumlah ini lebih sedikit dibandingkan di wilayah lain,” jelas Kusnadi, Kepala Resor Konservasi Sumber Daya Alam (KSDA) Pangandaran.
Kawasan konservasi CA Pangandaran luasnya 454,6 hektar dan letaknya bersebelahan dengan Taman Wisata Alam Pananjung Pangandaran yang luasnya 35,2 hektar. Wilayah ini membentang di Semenanjung Pangandaran yang berada di Kabupaten Pangandaran, Jawa Barat. Kedua kawasan ini mewakili ekosistem hutan hujan dataran rendah yang sesuai dengan habitat hidup rafflesia.

Sebagai tumbuhan parasit, patma tumbuh setelah menginfeksi jaringan akar maupun batang tetrastigma inangnya. Karena tetrastigma umumnya tumbuh di daerah berlereng yang dekat dengan wilayah yang lembab dan sumber air, maka rafflesia pun dijumpai di wilayah ini.
Kusnadi menyebut rafflesia adalah spesies yang sangat sensitif terhadap perubahan cuaca. Bunganya akan dapat mekar di hutan yang lembab, sebaliknya pada musim kering dan tidak ada air, maka sulit sekali menjumpai tumbuhan ini sedang berbunga.
“Cuaca mempengaruhi raflesia untuk bisa bertahan lama, dan kalau sudah tumbuh biasanya bertahan untuk mekar hanya tiga hari saja,” ungkap Kusnadi kepada Mongabay Indonesia di akhir oktober 2024 lalu.
Sebelum mekar, biasanya perkembangan bunga patma ditandai dengan kuncup berbentuk bulat seperti bola dalam periode perkembangan 9-12 bulan.
Dalam tahap ini bunga patma memasuki proses yang sangat rentan. Kuncup bisa gagal berkembang menjadi bunga, akibat gangguan lingkungan atau serangan jamur dan serangga.
Secara morfologi, R. patma tidak berbeda dengan jenis-jenis rafflesia lain. Perbedaannya adalah bentuk ukuran bunganya. Jika R. arnoldii memiliki diameter hingga 100 cm, maka R. patma berukuran lebih kecil dengan diameter bunga sekitar 30-60 cm.
Bunganya sendiri berbentuk seperti mangkuk dengan lima kelopak berwarna merah kecoklatan dengan pola berbintik. Di tengah bunga, terdapat struktur lubang berbentuk cincin (peristom), dengan duri-duri kecil sebagai tempat melekat organ reproduksi.

Rafflesia di Tengah Ancaman Kepunahan
Hasil penelitian menunjukkan bahwa seluruh spesies rafflesia di dunia terancam punah dengan tingkat kerentanan yang berbeda. Berdasarkan kriteria IUCN, 25 spesies dikategorikan sebagai ‘Sangat Terancam Punah’, 15 spesies ‘Terancam Punah’, dan dua spesies ‘Rentan’.
Lebih dari 67% habitat tumbuhan ini tidak dilindungi, membuatnya rentan terhadap kerusakan akibat konversi lahan untuk pertanian dan pembangunan.
Selain itu, distribusi populasi rafflesia yang sangat terbatas turut mendorong spesies ini amat rawan punah. Banyak spesies hanya ditemukan di daerah kecil dengan jumlah individu yang sedikit, sehingga kehilangan satu habitat saja dapat menyebabkan kepunahan lokal.
Di luar kawasan konservasi, mungkin sudah sangat sulit untuk menjumpai rafflesia, baik karena gangguan fisik oleh manusia, maupun akibat konversi lahan dan deforestasi.
Sebagai spesies parasit rafflesia tergantung hidupnya pada keberadaan tetrastigma. Tetrastigma sendiri masuk dalam kelompok anggur-angguran, yang merupakan tumbuhan rambat yang hidupnya pun tergantung pada keberadaan pohon-pohon di lingkungan hidupnya.
Ancaman lain adalah peristiwa alam. Misalnya, pada bulan Juli 2006, sebagian habitat dari rafflesia di Pangandaran dilaporkan terkena dampak tsunami (Mursidawati, 2014).
Mengetahui betapa rentannya rafflesia di habitat aslinya (in-situ), dimulai sejak tahun 2004 para peneliti biologi BRIN (dulu LIPI) memulai proyek utntuk melakukan konservasi ex-situ di Kebun Raya Bogor.
Setelah enam tahun mencoba, usaha itu berhasil. Patma untuk pertama kalinya di dunia berhasil berbunga di Kebun Raya Bogor melalui teknik metode grafting (Mursidawati, 2017). Setidaknya hingga saat ini sudah 16 kali R. patma mekar di tempat ini.
Meski demikian, para peneliti mengakui bahwa belum sepenuhnya berhasil untuk mengembangbiakan bunga patma secara ex-situ. Hal ini karena bunga betina yang tidak mampu mencapai masa dewasa, akibatnya belum ada proses penyerbukan yang berhasil.
Untuk itu para peneliti masih mempelajari cara paling efektif untuk menyerbukkan rafflesia secara alami maupun buatan melalui campur tangan manusia.
Referensi
Sofi Mursidawati, Irawati & Ngatari. Rafflesia patma (Rafflesiaceae): Notes on Its Field Study, Cultivation, Seed Germination and Anatomy, Buletin Kebun Raya Vol 17 No 1. Januari 2014.
Sofi Mursidawati. Ex Situ Conservation of Rafflesia patma (Rafflesiaceae) in Bogor Botanical Gardens (Indonesia). Nature Conservation Research. Vol 2(2): p: 90–91. 2017