- Para ilmuwan telah berhasil merancang protein sintetis menggunakan AI untuk menetralisir racun ular, yang telah terbukti menyelamatkan tikus dari dosis mematikan racun kobra.
- Temuan ini terinspirasi oleh karya David Baker, peraih Nobel Kimia 2024, yang mendorong penggunaan AI untuk merancang protein dengan kemampuan menempel dan melumpuhkan molekul racun.
- Proses pembuatan antivenom tradisional yang mengandalkan hewan sebagai sumber antibodi dianggap usang, mahal, dan beresiko, sehingga menimbulkan kebutuhan mendesak akan solusi teknologi baru.
Penggunaan kecerdasan buatan (AI) terus memperlihatkan terobosan di berbagai bidang, termasuk dalam upaya mengurangi resiko akibat gigitan ular berbisa. Dalam perkembangan terbaru, ilmuwan berhasil merancang protein sintetis yang mampu menetralisir racun mematikan, seperti racun kobra. Temuan ini membuka peluang besar bahwa di masa depan terapi gigitan ular bisa bergeser dari metode tradisional ke pengobatan berbasis protein hasil rekayasa. Laporan dalam jurnal Nature edisi Januari menunjukkan bahwa tikus yang disuntik racun fatal mampu selamat setelah diberikan protein sintetis tersebut. Michael Hust, ahli antibodi dari Technical University of Braunschweig, menyebut hasil ini sebagai pencapaian luar biasa dan menunjukkan potensi besar dari pendekatan ini kedepannya.
Baca juga: Seberapa Dalam Ular Laut Bisa Menyelam di Lautan?
Terinspirasi dari Riset Pemenang Nobel Kimia
Ketertarikan baru pada solusi racun ular ini berkaitan dengan karya David Baker, peraih Nobel Kimia 2024, yang dikenal dalam pengembangan protein berbasis AI. Timothy Jenkins, seorang bioteknologis medis dari Technical University of Denmark, tertarik setelah membaca hasil riset dari Baker pada tahun 2022. Dalam penelitian tersebut, Baker mengembangkan protein yang mampu berikatan erat dengan molekul tertentu, layaknya perekat super. Jenkins kemudian bertanya-tanya: “Bisakah AI merancang protein yang bisa menempel sekaligus melumpuhkan racun ular?”

Sebagai peneliti terapi gigitan ular selama bertahun-tahun, Jenkins sangat memahami urgensi solusi inovatif ini. Data global mencatat sekitar 100.000 kematian akibat gigitan ular berbisa setiap tahun. Racun ular, terutama racun jenis tiga-jari (three-finger toxins), dapat menyebabkan kelumpuhan otot, gangguan jantung, hingga henti napas. Antivenom konvensional memang sudah tersedia, tetapi proses produksinya dianggap usang dan tidak efisien. Jenkins menekankan perlunya investasi lebih besar dalam inovasi teknologi untuk mempercepat kemajuan di bidang ini.
Tantangan Produksi Antivenom Konvensional
Selama ini, proses pembuatan antivenom masih mengandalkan metode kuno: racun diambil dari ular hidup, kemudian disuntikkan dalam jumlah kecil ke hewan besar seperti kuda agar tubuh hewan tersebut menghasilkan antibodi. Antibodi inilah yang nantinya dipanen untuk diolah menjadi antivenom. Namun, metode ini tidak hanya berisiko tinggi tetapi juga memakan biaya besar serta waktu yang lama. Upaya memperbaiki metode ini telah dilakukan, misalnya dengan membangun bank antibodi sintetis. Meski begitu, pendekatan tersebut membutuhkan waktu lama untuk memindai berbagai kemungkinan antibodi yang efektif.
AI kini membawa harapan baru. Jenkins dan Baker menggunakan model AI generatif bernama RFdiffusion, sebuah alat open-source yang berfungsi seperti “AI pembuat gambar,” tetapi khusus merancang struktur protein. RFdiffusion dilatih melalui data struktur protein yang sudah dikenal dan dilengkapi algoritma yang mampu memahami bentuk tiga dimensi protein serta bagaimana komponen-komponennya saling berinteraksi.
Baca juga: Mengungkap Misteri ‘Jam Evolusi’ Ular yang Cepat
Eksperimen RFdiffusion: Menghadapi Racun Ular
Ketika Jenkins dan Baker menginstruksikan RFdiffusion untuk mencari protein penangkal racun ular, model ini menghasilkan desain protein yang unik. Protein tersebut kemudian direkayasa di laboratorium dan mampu menutupi “bagian berbahaya” molekul racun, seperti menutup kepala kunci agar tidak bisa berfungsi di dalam tubuh.

Eksperimen dilakukan pada 20 tikus yang disuntik racun kobra mematikan. Semua tikus tetap hidup setelah diberi protein sintetis tersebut, meskipun dosis racun seharusnya cukup untuk menyebabkan kematian. Hasil ini mengejutkan para ilmuwan dan menandai langkah besar dalam inovasi medis berbasis AI.
Baca juga: Bagaimana Ular Saling Berkomunikasi Satu Sama Lain?
Tantangan dan Prospek ke Depan
Michael Hust menekankan pentingnya uji keamanan sebelum terapi ini dapat diterapkan pada manusia. Protein sintetis berpotensi menimbulkan efek samping yang tidak diharapkan jika berinteraksi dengan jaringan tubuh secara keliru. Oleh karena itu, para ilmuwan harus memastikan segala resiko dapat diminimalkan.
Jenkins mengakui bahwa ini baru awal dari perjalanan panjang menuju penerapan klinis. Proses berikutnya mencakup uji klinis lebih lanjut, pengaturan dosis, hingga penyesuaian terhadap standar keselamatan medis. Meskipun beberapa pihak menyebut hasil ini masih dalam tahap “konsep pembuktian,” para pakar tetap optimis. Jika teknologi ini berhasil diterapkan secara luas, ribuan nyawa di seluruh dunia bisa diselamatkan setiap tahunnya.