- Konflik agraria petani yang tergabung dalam Forum Tani Sejahtera Indonesia (Futasi), terus terjadi hingga kini. Petani berupaya mempertahankan tanah mereka.
- Futasi adalah kelompok tani yang berdiri sejak 2004. Mereka menggarap lahan eks hak guna usaha (HGU) PTPN III Kebun Bangun. Awal berdiri, Futasi terdiri dari 18 kelompok bagian dengan anggota lebih dari 300 keluarga. Sebagian besar adalah petani yang tak punya tanah dan rumah.
- Okupasi tanah petani anggota Futasi menghancurkan ladang dan tanaman yang jadi sumber penghidupan. Para petani pun kehilangan mata pencarian. Di tengah kesulitan, mereka berupaya mencari pencarian lain. Mereka hidup susah.
- Konflik agraria juga memporak-porandakan mental anak-anak. Anak-anak melihat bagaimana ibu mereka harus menghadang alat berat. Melawan ratusan polisi. Anak juga tak ke sekolah. Mereka menonton atau diam menjaga rumah agar tak dihancurkan.
Jalanan itu dari tanah dan batu. Saat hujan, jalan berlumpur dan sulit dilewati. Kanan kiri sawit baru tanam. Ada juga pembangunan ring road berdampingan dengan jalan tol.
Tak jauh dari sana perkampungan dengan jalan kecil beraspal. Kampung Baru, namanya. Ini area Forum Tani Sejahtera Indonesia (Futasi), berjarak sekitar enam kilometer dari Kota Pematangsiantar, berada di Kelurahan Gurilla dan Bah Sorma, Kecamatan Siantar Sitalasari, Sumatera Utara.
Wilayah mereka berdekatan dengan PTPN III, hanya terpisah lapangan bola yang sudah berganti sawit. Konflik agraria berkepanjangan terjadi antara warga yang tergabung dalam Futasi dan perusahaan pelat merah ini.
Kalau masuk terus ke dalam perkampungan akan ada gardu. Pada tiang ada pamflet dengan tulisan “Gurilla Melawan.” Di sebelah gardu ada lapangan voli dan pohon beringin. Di sana anggota Futasi biasa berkumpul.
Futasi adalah kelompok tani yang berdiri sejak 2004. Mereka menggarap lahan eks hak guna usaha (HGU) PTPN III Kebun Bangun. Awal berdiri, Futasi terdiri dari 18 kelompok bagian dengan anggota lebih dari 300 keluarga. Sebagian besar adalah petani yang tak punya tanah dan rumah.
Martalena Limbong, anggota Futasi datang ke Gurilla pada 2004. Tanah itu belum ramai, tak ada listrik dan air.
“Dulu, kalau mau mandi harus ke embung. Dari sana juga angkat air ke sini buat masak,” kenang lelaki 49 tahun ini.
Menggarap tanah di eks PTPN III bukan perkara mudah. Tanah itu harus mereka bersihkan dari ilalang hingga menjadi ladang yang bisa ditanami. Mereka juga menanam dengan sistem kelompok.
Awalnya, para anggota Futasi hanya memiliki pondok-pondok kecil untuk menginap. Di tiap kelompok kecil ada piket untuk menjaga ladang. Setelah berbulan-bulan tanah itu berubah menjadi ladang ubi dan palawija. Perlahan penduduk mulai membangun rumah semi permanen.
Perjuangan Futasi tidak hanya mengubah tanah menjadi ladang. Mereka juga harus menghadapi intimidasi PTPN III. Pada 2006, PTPN III membakar dan merusak tanaman Futasi.
Tiomerli Sitinjak, Ketua Futasi–saat itu masih anggota– ikut berdemo ke DPRD Kota Pematang Siantar karena dua anggota Futasi ditangkap. Mereka menuntut, pembebasan anggota mereka tetapi tak digubris.
Para petani Futasi menginap di Kantor DPRD Kota Pematangsiantar. Mereka bawa peralatan masak dan tidur. Merasa sudah terlalu lama tak direspon, massa aksi yang sebagian besar ibu-ibu, memakan sirih dan meludahi Kantor DPRD Pematangsiantar. Air sirih yang berwarna merah itu memenuhi lantai, dinding dan jendela. Tak tahan, salah satu anggota DPRD menelepon Polres Pematangsiantar dan meminta lepaskan anggota Futasi.
Pada 2015, sekali lagi ladang ubi mereka hancur. Anggota Futasi datang ke polres membawa ubi. Mereka menyerahkan ubi dan berteriak minta keadilan. Seorang polisi memarahi karena berisik.
“’Ribut suara saja udah marah kalian’ ku bilang gitu ke polisi itu. ‘Kalian rusak ini, hidup anak kami, sekolah anak kami tapi kalian suruh kami diam,” kenang Tiomerli.
Sejak dulu perempuan aktif di Futasi. Saat demo dan rapat, mayoritas yang menghadiri adalah perempuan.
Dia nilai, perlawanan ibu-bu lebih efektif. “Kalau bapak-bapak yang maju, ngeri kali trus respon polisi itu, trus dipukulinnya dan ditangkap. Kami ibu-ibu ini lebih sabar.”
Kehilangan ruang hidup
Setelah hampir 20 tahun menggantungkan hidup sebagai petani di Kampung baru, Tiomerli akhirnya kehilangan mata pencaharian setelah PTPN III Kebun Bangun membongkar kebunnya. Ladang ubi, yang seharusnya panen dua bulan lagi, ludes kena obrak-abrik eskavator. Termasuk juga tanaman serai, pisang, dan pohon-pohon di pekarangan rumah hancur bersama puluhan hektar ladang lain. Tak ada sisa.
Pada 18 Oktober 2022, ketika pembongkaran lahan dan kebun petani PTPN lakukan, Tiomerli bersama anggota Futasi memohon, menangis, agar tak rusak lahan dan kebun mereka. Mereka juga upayakan mediasi, tak ada hasil.
Petani pun melawan. Melakukan apa saja yang dapat menahan alat berat dengan kawalan gabungan polisi, TNI, dan sekuriti perusahaan.
Saat suasana masih tegang, pada 22 November 2022, alat berat kembali turun bersama 500 personel gabungan lagi. Mereka menghancurkan rumah yang menerima tali asih, termasuk 12 rumah yang tak menerima tali asih.
***
Futasi mengelola 126,59 hektar wilayah eks HGU PTPN Kebun Bangun. PTPN III okupasi setelah mengklaim bahwa HGU masih aktif, sesuai sertifikat HGU Nomor 1 Pematangsiantar.
HGU itu dia nilai banyak kejanggalan.
Sebelumnya, PTPN III Kebun Bangun punya perkebunan seluas 1.595,8 hektar berdasarkan sertifikat HGU No.1/Talun Kondot tahun 1980. Luas sebenarnya hanya 1.544,77 hektar berdasarkan surat ukur No.1.669/1989. Sertifikat HGU berakhir pada 2004.
Pada 1986, Kota Pematang Siantar mengalami perluasan wilayah. Area sertifikat HGU No.1/Talun Kondot berada di Simalungun dan Kota Pematangsiantar.
Perkebunan yang masuk ke Kota Pematangsiantar terdiri dari dua afdeling: Afdeling Martoba (573 hektar) dan Afdeling Bah Kapul (126,59 hektar). Afdeling Martoba sudah keluar dari perkebunan dan jadi Kota Pematangsiantar.
Pada 2006, PTPN III memperpanjang HGU No.1/Talun Kondot/1980. Sertifikat itu dipecah jadi HGU No. 2/Talun Kondot seluas 895,8 hektar dan HGU No. 3/Talun Kondot 126,59 hektar berakhir pada 2029.
Padahal, berdasarkan SK Walikota Pematangsiantar No. 090.898/WK/2004, pemerintah kota mengusulkan kepada tim penyelesaian tanah HGU PTPN III agar tak memperpanjang HGU di Kota Pematangsiantar.
PTPN III yang masuk ke dalam Kota Pematangsiantar harus disesuaikan dengan master plan Pematangsiantar untuk jadi pemukiman, fasilitas umum, dan perkantoran.
Kemudian sertifikat HGU No.3/Talun Kondot/2006 di Kota Pematangsiantar keluar dari Badan Pertanahan Nasional (BPN) Simalungun. Seharusnya, sertifikat itu keluar dari BPN Kota Pematangsiantar.
“Wali Kota RE Siahaan dulu pernah kemari dan bilang kalau ini tanah Pematangsiantar, dia juga kasih kami tandon air sama mesinnya, juga dibangunkan jalan. Artinya ini tanah Pematangsiantar,” kata Tiomerli.
Belakangan, PTPN III menunjukkan sertifikat HGU No.1/Pematangsiantar. Sertifikat HGU No.3/Talunkondot/2006 dengan coretan dan ketik ulang No.3 dicoret jadi 1. Simalungun coret ganti Pematang Siantar.
Pada 2021, PTPN III baru mendaftarkan tanah seluas 126,59 hektar ke BPN Kota Pematangsiantar untuk mendapatkan sertifikat HGU no.1/Gurilla. PTPN III kemudian membagikan surat keputusan (SK) pendaftaran tanah itu kepada Futasi, padahal SK itu bukan tanda bukti hak atas tanah.
“HGU-nya cacat hukum,” kata Tiomerli.
***
Pada 2022, konflik PTPN III dan petani memanas. Ladang anggota Futasi tergusur habis. Ketegangan antara mereka makin terasa setelah wilayah Futasi jadi area pembangunan ring road pada 2010 dan tol pada 2019.
Awalnya, BPN dan pegawai pembuat kebijakan (PPK) mau ganti rugi tanah beserta tanaman dan bangunan yang masuk tol. Karena status tanah simpang siur, ada musyawarah di Kantor Dinas Sosial Kota Pematangsiantar. Di sana, PTPN III mengklaim tanah itu, perwakilan BPN turut membenarkan. Anggota Futasi protes.
“Aku bilang, kami sudah 20 tahun di sana, kalian harus bayar tanah itu ke kami. Masa’ membuat kemajuan Indonesia rakyatnya dimiskinkan,” kata Tiomerli.
Akhirnya, PPK memutuskan ganti rugi tanah setelah status jelas milik siapa. Hitungan pun hanya untuk tanaman dan bangunan. Semua sepakat. Tiomerli jadi salah satu penerima, ladang masuk dalam pembangunan dan mendapat ganti rugi sekitar Rp8.500.000.
Tiomerli hadir di Kantor Dinas Sosial untuk mengambil ganti rugi. Tiap orang harus mengantri menandatangani beberapa lembar surat. Setelah menandatangani surat itu baru mereka dapat menerima uang ganti rugi. Tiomerli mendapat giliran paling akhir.
Ketika Tiomerli akan menandatangani surat tanda terima, dia melihat dua surat dengan nama PTPN III di atasnya. Dia segera menyingkirkan tangan petugas yang membuka lembaran. Di antara lembaran tanda terima itu ternyata terselip dua lembar surat pernyataan bahwa tanah garapan Tiomerli merupakan tanah PTPN III. Di bagian bawah terdapat kolom tanda tangan manager PTPN III, Kepala Desa Gurilla, dan dua saksi yang belum ditandatangani.
Dia marah kepada petugas dan minta penjelasan. Petugas mengaku tidak tahu. Tiomerli menolak menerima ganti rugi dan menarik seluruh surat atas nama dirinya.
“Itu kan mau ditipunya kami,” kata Tiomerli.
Pada 2022, dengan kawasan polisi PTPN III memasang plang yang menyatakan wilayah itu milik PTPN III berdasarkan sertifikat HGU No.1 Pematang Siantar. Anggota Futasi protes dengan menduduki plang yang akan perusahaan pelat merah itu pasang.
Enam anggota Futasi dibawa ke polres. Mereka bebas setelah ramai-ramai anggota Futasi menuntut pembebasan.
Futasi mulai memperjuangkan tanah mereka melalui jalur formal. Mereka surati Kantor Staf Presiden (KSP) dan Kementerian ATR/BPN untuk memperjelas status tanah mereka melalui skema lokasi prioritas reforma agraria (LPRA). Kementerian ATR/BPN menyatakan, lokasi konflik Futasi sebagai wilayah status quo, hingga tak dibenarkan segala bentuk kekerasan, intimidasi, dan kriminalisasi untuk mengeluarkan masyarakat dari wilayah mereka.
Utusan KSP juga hadir melihat konflik di Futasi. Tiomerli juga rapat dengar pendapat dengan Komisi II DPR dan audiensi ke Komnas HAM dan Kementerian ATR/BPN.
Lagi-lagi PTPN III kembali menghancurkan rumah-rumah yang mereka klaim menerima tali asih.
Pada Desember 2022, KSP undang pengurus Futasi untuk menyampaikan permasalahan kepada Staf Kepresidenan bidang hukum. Pertemuan itu menghasilkan surat pernyataan bahwa PTPN III tak boleh menggusur rumah dan lahan warga yang tak mau menerima tali asih. Anggota Futasi juga boleh menanam di tanah-tanah mereka hingga ada keputusan statusnya.
Komnas HAM juga mengeluarkan rekomendasi terkait konflik dan pelanggaran HAM PTPN III terhadap anggota Futasi.
Sayangnya, semua surat-surat yang dikeluarkan berbagai kementerian dan lembaga ini bak angin lalu bagi PTPN.
Usai audiensi, anggota Futasi mulai menanam jagung secara berkelompok. Mereka juga membangun posko di dekat ladang jagung. Lagi-lagi, ladang-ladang petani kembali dihancurkan, tanaman di pekarangan rumah dicabuti. Juga ada perusakan Posko Futasi sampai terjadi bentrok.
Polisi, tentara, dan pekerja PTPN III berkeliling setiap hari, mereka patroli bisa 3-6 kali sehari. Menara-menara pengawas dan posko keamanan dibangun di sekitar area Futasi untuk memantau kegiatan para petani.
Petugas keamanan dan pekerja PTPN III biasa mengusik anggota Futasi dengan mencabuti tanaman atau bertanya dengan arogan. Mereka akan pergi setelah anggota Futasi ramai di tempat kejadian.
“Kami sudah mengadu ke sana-ke mari, tapi seperti tidak berguna. Entah harus kemana lagi kami mengadu baru didengarkan PTPN III,” kata Tiomerli.
***
Sore itu, Tiomerli sedang berada di Posko Futasi saat petugas polisi datang mencarinya. Dia mengantarkan empat surat, tiga merupakan surat panggilan. Isinya, meminta anggota Futasi yang namanya tertulis untuk memberikan keterangan atas dugaan tindak pidana pendudukan atau menguasai tanah perkebunan.
Surat sore itu bukan yang pertama, panggilan serupa berulang kali datang menyasar satu persatu anggota Futasi. Mereka dapatkan intimidasi. Tiomerli juga pernah dipanggil dengan tuntutan sama. Dia kena introgasi seharian penuh sampai ditawari uang.
“Kalau pulang dari sana, banyak anggota yang jadi takut. Sebagian jadi menerima tali asih.“ katanya.
Salah satu surat yang Tiomerli terima sore itu adalah surat perkembangan kasusnya. Dia melaporkan pekerja yang merusak kebun dan memukul matanya hingga bengkak. Isi surat itu keterangan semua terduga dimintai keterangan dan tak ada yang jadi terduga pelaku. Bukan sekali pula hal ini terjadi.
Laporan anggota Futasi tak pernah diproses. Alasannya, tidak menemukan pelaku.
Sebaliknya, dua anggota Futasi berstatus tersangka. Satu atas tudingan perusakan alat berat. Dia kena tuduhan melempar eksavator saat okupasi. Satu lagi, kena tudingan lakukan kekerasan membakar satpam. Padahal, dia membakar sampah dan satpam itu memijak api yang sedang menyala.
Tiomerli pun kena gugat perdata atas posisi sebagai Ketua Futasi. Dia dituduh merebut posisi itu dengan mengkudeta ketua sebelumnya. Di pengadilan tingkat satu Tiomerli dinyatakan bersalah dan mengajukan banding.
PTPN III juga menciptakan konflik antara anggota Futasi. Anggota yang menerima tali asih diminta membuat video pernyataan untuk menjelek-jelekkan forum ini.
“Uang tali asih mereka juga cuma dikasih sebagian, dikasih penuh kalau bisa ajak satu teman untuk minta tali asih,” kata Martalena, petani anggota Futasi.
Beberapa dipaksa menerima tali asih karena anggota keluarga merupakan PNS atau TNI/Polri.
Trauma anak, hidup terdampak
Okupasi tanah petani anggota Futasi itu tak hanya menghancurkan ladang, juga memporak-porandakan mental anak-anak di sana. Anak-anak melihat bagaimana ibu mereka harus menghadang alat berat. Melawan ratusan polisi.
Banyak anak tak ke sekolah. Mereka menonton atau diam menjaga rumah agar tak dihancurkan. Anak-anak ini perlahan menyimpan dendam. Siapa saja yang menggunakan seragam akan mereka teriaki “sambo”.
“Dipikir orang itu (polisi) kami ajari, padahal anak umur 2-3 tahun juga ikut teriak ke polisi itu,” kata Martalena.
Selama tiga bulan okupasi PTPN, warga Futasi tak bekerja. Penghasilan utama mereka dari pertanian tak bersisa.
Rospina, anggota Futasi panen serai dan lengkuas belum cukup umur di halaman rumahnya siang itu. Serai akan dia jual ke pasar.
Selagi membersihkan lengkuas, empat ibu-ibu duduk di kursi kayu di teras rumah. Salah seorang tengah memintal manik-manik.
“Inilah kerja kami sekarang, itu buat manik-manik satunya dibayar Rp1.000. Tapi mau gimana lagi, ga ada kerjaan lain,” kata Rospina.
Anggota Futasi mengerjakan apa saja yang bisa mereka lakukan. Ada yang memintal rumbai-rumbai ulos—kain tradisional Batak dengan bayaran Rp1.000 persatu ulos. Dalam sehari rata-rata mereka bisa megerjakan 10 lembar ulos.
Penghasilan yang tak tetap ini membuat mereka juga menunggak pinjaman yang diambil sebelumnya. Ada pinjaman Koperasi Mekar atau kredit barang. Dia bilang, jangankan untuk bayar utang, makan saja mereka kesulitan.
“Kau cek aja itu di dapurku, ga ada apa-apa. Istilahnya, kalau dulu makan ikan satu orang satu, sekarang satu ikan bagi tiga. Itupun kalau ada ikan. Seringnya daun ubi sama garam saja,” kata Rospina.
Sekolah anak-anak juga terganggu. Ada saat guru meminta anaknya mencetak tugas atau membeli alat peraga, orangtua tak punya uang. Anaknya tak mau pergi ke sekolah.
Rospina harus ke sekolah untuk protes ke guru, dan menyampaikan kalau desa mereka tengah kesulitan serta meminta agar tak menambah bahan ajar dari luar.
Menurut dia, banyak anak-anak muda yang tidak melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi karena biaya. Mereka lebih memilih merantau untuk mencari pekerjaan.
Sekarang mereka mulai beradaptasi, ketika okupasi keadaan jauh lebih buruk. Rospina mengenang, saat itu hampir semua orang tak punya penghasilan. Beberapa orang mengirimkan bahan pokok untuk dapur umum. Saat-saat sulit itu, dapur umum yang membantu mereka.
“Dari gereja, dari KPA [Konsorsium Pembaruan Agraria], ada juga orang-orang yang kirim beras ke sini. Itulah yang membantu kami makan,” katanya.
Rospina ingat Natal setelah PTPN ambil tanah mereka, tak sama seperti Natal tahun-tahun sebelumnya. Dia dan banyak orang tak dapat pulang kampung. Tak dapat bertemu keluarga yang jauh. Di rumah-rumah juga tak ada makanan enak dan kue natal.
“Biasanya Natal kami meriah, banyak kue, banyak makanan. Kami juga biasa kirim kue untuk orang tua dan janda. Tahun itu, enggak ada apapun.”
Malam tahun baru 2023 mereka lewati dengan berkumpul di bawah pohon beringin. Dalam temaram berdoa dan bersyukur masih dapat melewati tahun kelam itu. Malam itu, mereka menyatukan tekad, meski dalam kesulitan akan terus bertahan di tahun-tahun berikutnya.
Semangat perjuangan anggota Futasi tak padam. Mereka yakin, tanah bukan hanya keterangan di atas kertas juga siapa yang menerima manfaat darinya. Dalam kekurangan anggota Futasi terus belajar bagaimana sejatinya perjuangan.
Pada bulan-bulan berikutnya, anggota Futasi terus menyerukan dalam tiap kesempatan bahwa mereka bagian dari rakyat yang seharusnya diberikan tempat oleh negara. Tak sepantasnya menerima kesewenang-wenangan dari perusahaan negara.
Pada Hari Tani, Hari Buruh, juga di tiap kesempatan lain mereka terus mengingatkan semua orang bahwa mereka yang merawat tanah di Gurilla. Sembari pelan-pelan kembali menanam.
******
*Tulisan ini kolaborasi Mongabay Indonesia dan Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA)