Perempuan Mekar Raya, Perawat Pengetahuan Lokal

4 days ago 13
  • Para perempuan adat Dayak  Simpankng di Ketapang, Kalimantan Barat, adalah penjaga hutan sekaligus perawat pengetahuan lokal. Mereka mengandalkan perkebunan karet (hutan karet) dan perladangan gilir balik. Mereka juga berburu, menangkap ikan secara tradisional, dan meramu hasil hutan bukan kayu bersumber dari tembawang, bawas, hutan lindung dan hutan di sekitar  mereka.
  • Serina Greta, perempuan adat Dayak Simpankng banyak mengenali tumbuhan di dalam hutan adat ini. Pengetahuan dia dapat dari ibunya. Ibunya mendapatkan hal sama dari sang nenek. Begitu turun temurun, karena budaya lisan Masyarakat Dayak.
  • Perempuan adalah kelompok paling erat beririsan dengan hutan. Ritual-ritual pun terdokumentasi dari tutur perempuan termasuk sanksi adat. Kegiatan di hutan atau desa mereka ajarkan dan teruskan kepada generasi muda.
  • Proses penetapan wilayah dan pengelolaan hutan kerap tidak seimbang dan malah memperkuat ketimpangan gender. Di Desa Mekar Raya, penetapan kawasan dan dokumentasi keanekaragaman hayati di hutan desa melibatkan perempuan. Para perempuan desa begitu aktif. Mereka sangat terikat dengan hutan. Perempuan Mekar Raya tidak hanya memegang peran domestik.

Serina Greta,  memimpin rombongan masuk ke hutan adat November lalu. Ikut dalam rombongan, beberapa pemuda desa dan pemuka adat. Perempuan 40 tahun ini memperlihatkan kekayaan hutan adat mereka di Desa Mekar Raya, Kecamatan Simpang Dua, Ketapang, Kalimantan Barat.

Dia berjalan paling depan, sesekali berhenti di beberapa pohon atau tumbuhan untuk menjelaskan nama lokal dan kegunaan tumbuhan itu.

“Ini doga, salah satu sayur tumis yang bisa dicampur rebung,” kata Serina, seraya memperlihatkan tumbuhan berdaun panjang dengan ujung meruncing layaknya tumbuhan dari famili jahe-jahean.

Selang beberapa langkah, dia memperlihatkan tumbuhan dengan nama setempat maliali atau mali-mali. Pada Masyarakat Dayak Simpankng, maliali untuk mengobati luka bakar atau melepuh. Caranya, hanya menempelkan daun ke bagian tubuh yang sakit.

Dayak Simpankng juga pakai maliali untuk ritual adat tertentu. Ada ritual adat mulang semparan, yaitu,  ritual membuka ladang, nyapa tahun, untuk pengucapan syukur setelah musim panen, dan bebantan yaitu ritual pembersihan kampung.

“Ritual bebantan ini membersihkan kampung dari hal-hal buruk, hingga kampung tidak terkena dampaknya. Biasa tiga tahun sekali,” kata Serina.

Serina tunjukkan rumpun bemban. Bemban atau bamban adalah sejenis tanaman terna. Tumbuh berumpun dengan batang lunak, kalau dewasa tinggi tidak lebih dari dua meter. Biasa berupa tanaman semusim atau tahunan.

“Kita bisa ambil air yang ada kuncup muda tumbuhan ini, fungsinya menjernihkan penglihatan,” katanya.

Serina juga menunjukkan semacam jamur. Itu disebut sebagai kulat tempurung untuk pengobatan anak kecil yang mengompol.

Dia sempat mempraktikkan racikan obat-obatan tradisional. Seperti ramuan tradisional yang biasa perempuan Mekar Raya konsumsi adalah minuman untuk menyehatkan tubuh dan menghilangkan rasa lelah. Serina rutin membuat minuman ini seminggu sekali.

Ramuan ini juga bisa untuk pemulihan pasca melahirkan.

“Bahan-bahannya,  ada jahe, kencur, serai dan kunyit. Gunanya untuk menyembuhkan pasca melahirkan dan diminum setiap hari dalam seminggu.”

Obat itu tidak memiliki nama namun semua perempuan Desa Mekar Raya tahu manfaat dari minuman ini.

Serina banyak mengenali tumbuhan di dalam hutan adat ini. Pengetahuan dia dapat dari ibunya. Ibunya mendapatkan hal sama dari sang nenek. Begitu turun temurun, karena budaya lisan Masyarakat Dayak.=

Dia bilang, mereka berupaya menuliskan tumbuhan-tumbuhan obat maupun tanaman pangan di hutan mereka untuk jadi buku.

“Semoga kalau buku daftar kumpulan tanaman obat dan bumbu itu jadi, bisa dibaca anak cucu, atau jadi pengetahuan untuk masyarakat banyak,” harap Serina.

Bawas atau area berladang. Foto: Aseany Pahlevi/Mongabay Indonesia

Desa Mekar Raya,  dulu terbagi menjadi lima dusun,  yaitu Dusun Baya Keranji, sekarang jadi Desa Batu Daya, Dusun Kembra jadi Desa Kamora, dan Dusun Merangin menjadi Desa Kampar Sebomban.

Pola pemukiman masyarakat memanjang atau linier yakni mengikuti pola sungai. Pemukiman Desa Simpang Dua bekelok-kelok mengikuti sungai dan perbukitan.

Masyarakat adat  mengandalkan perkebunan karet (hutan karet) dan perladangan gilir balik. Mereka juga berburu, menangkap ikan secara tradisional, dan meramu hasil hutan bukan kayu bersumber dari tembawang, bawas, hutan lindung dan hutan di sekitar  mereka.

Desa ini berjarak delapan kilometer dari jalan provinsi. Mereka memiliki beberapa hutan kelola yang masuk dalam area konservasi kelola masyarakat (AKKM).

Masyarakat Adat Dayak Simpakng merencanakan penggunaan lahan dan pembagian ruang, diantaranya adalah, tembawang yang sebagian besar berada di status kawasan hutan produksi konversi (HPK), dan hutan lindung, serta sebagian kecil areal penggunaan lain (APL).

Tembawang di tiga kawasan itu mereka tata dengan peruntukan sebagai sumber ekonomi dengan hasil buah-buahan. Ada pula hutan keramat, ada di lahan dengan status HPK.

“Hutan ini untuk keperluan adat, dan tempat tumbuh tanaman obat, bahkan ada beberapa area yang tidak boleh dimasuki sama sekali kecuali untuk kepentingan ritual,” kata Serina.

Untuk sumber air bersih, masyarakat bergantung pada Bukit Berugak dan Senibung.

Ada pula Bukit Semugo,  berada di hutan lindung, sebagai tempat pemujaan dan bersemayamnya leluhur. Termasuk Sungai Keramat sebagai tepat berkembangbiaknya ikan, lokasi lubuk larang dan ritual adat. Serina juga mengatakan, Gunung Timur sebagai tempat wisata religi dan air terjun.

Perempuan, katanya,  bersama menjaga hutan ini agar dimanfaatkan secara lestari oleh masyarakat adat.

Proses penetapan wilayah dan pengelolaan hutan kerap tidak seimbang dan malah memperkuat ketimpangan gender. Di Desa Mekar Raya, penetapan kawasan dan dokumentasi keanekaragaman hayati di hutan desa melibatkan perempuan.

“Kami ikut mengawasi pemetaan kawasan, dan mengecek lokasi-lokasinya,” kata Serina.

Para perempuan desa begitu aktif. Mereka sangat terikat dengan hutan. Perempuan Mekar Raya tidak hanya memegang peran domestik.

Interseksionalitas sangat terlihat. Serina fasih menjelaskan tapal batas hutan. Areal yang kami masuki adalah kawasan tembawang. Di kawasan ini banyak buah-buahan. Hutan Tembawang hutan biasa terdapat humak atau rumah singgah, tidak jauh dari wilayah pertanian.

Masyarakat Dayak bercocok tanam dengan sistem gilir balik, biasa mereka mendirikan rumah atau pondok untuk beristirahat. Di areal pondok inilah yang menjadi tembawang. Buah-buahan hutan yang mereka makan, lalu ditanam.

Setelah panen, areal itu ditinggalkan. Kadang saat mereka kembali ke sini untuk berladang, biji buah yang mereka tanam sudah tumbuh besar.

“Sambil menyandau (panen buah) saat kami kecil, diceritakan oleh orang tua arti tanaman di hutan ini, nama pohon buah, atau bagaimana caranya merawat hutan,” katanya.

Perempuan Mekar Jaya, mencari rebung. Foto: Aeanty Pahlevi/Mongabay Indonesia

Kisah ini mereka tuturkan kembali ke anak-anak mereka. Perempuan Mekar Raya akan berkisah saat bersantap makan, atau bertukar kisah sebelum tidur. Sementara proses pengayaan pengetahuan antar perempuan biasa saat mereka menenun, menganyam atau masak bersama.

Berkembangnya zaman, membuat warga ingin mendokumentasikan keanekaragaman hayati melalui buku. “Kami mau mencatat setiap tanaman obat dan tanaman bumbu yang ada di hutan ini,” katanya.

Perempuan adalah kelompok paling erat beririsan dengan hutan. Ritual-ritual pun terdokumentasi dari tutur perempuan termasuk sanksi adat. Kegiatan di hutan atau desa mereka ajarkan dan teruskan kepada generasi muda.

Wilayah keramat, sama sekali tidak boleh warga masuki, kecuali untuk kepentingan ritual adat. Di sana, juga habitat satwa seperti macan dahan. Macan dahan adalah spesies kucing hutan langka dan dilindungi.

Sanksi adat yang mereka kenakan beragam. “Tergantung dari berat pelanggarannya,” kata Serina.

Tondi, mewakili ayahnya; ‘Pak Adat’ Desa Mekar Raya—yang hanya bisa bahasa Dayak—menjelaskan,  soal kedudukan perempuan dalam adat.

Perempuan,  katanya, memainkan peran penting sebagai perawat pengetahuan. Dalam beberapa sesi upacara adat, mereka yang berkontribusi menyiapkan prosesi. Mulai dari tata laksana, hingga menjelaskan secara verbal ke generasi muda, makna-makna dari prosesi termasuk bahan-bahan untuk melengkapinya.

“Misal, upacara talam panuta dalam upacara nikah, perempuan yang terlibat langsung,” katanya.

Perempuan-perempuan juga menjelaskan kepada anak-anak, untuk tidak sembarangan bermain di sungai.

Sungai bagi masyarakat adat adalah nadi kehidupan. Maka, pantang bagi warga Dayak merusak sungai. Pada aturan lubuk keramat di sungai, lokasi itu tidak boleh diganggu termasuk larangan tangkap ikan.

“Kadang yang ditakuti orang bukan sanksi adat, tapi sanksi dari penunggu di sana.”

Aturan mengenai larangan masuk ke hutan keramat pun oleh perempuan yang menuturkan. Siapa pun yang masuk ke hutan keramat akan mendapatkan sanksi. Tidak hanya sanksi adat, kerap kali datang dari ‘Sang Penjaga. Hal ini terlihat kalau si pelanggar sakit aneh.

Tumbuhan yang biasa sebagai bahan masak. Foto: Aseanty Pahlevi/Mongabay Indonesia

Tolak sawit

Desa ini pernah mau ada perusahaan sawit masuk. Masyarakat, termasuk para perempuan tegas menolak ketika ada ancaman di wilayah adat mereka. Serina, salah satu perempuan Mekar Raya yang vokal menolak perusahaan sawit.

“Awal mulanya, mereka datang dan langsung menanyakan wilayah HGU dan mengatakan bahwa wilayah kami sudah putih hingga mereka bisa menggarapnya,” kata Serina.

Warga langsung menunjukkan peta yang mana hutan mereka sudah jadi hutan desa, hutan lindung, hutan adat dan sedang proses legalisir di pusat hingga perusahaan tidak bisa seenaknya masuk.

Perusahaan itu berbatasan dengan desa. Warga bahkan mendapati beberapa pelanggaran seperti penerbitan IUP 1 April 2005 sebelum terbit izin lokasi pada 27 April 2005.

IUP diduga terbit tanpa analisis mengenai dampak lingkungan (Amdal). Amdal baru ada pada 2011. Hak guna usaha (HGU) seluas 12.500 hektar terbit pada 2013,  sedangkan kompensasi tanah kepada masyarakat 9.800 hektar baru selesai 2019.

Pada 2023, pemilik tanah juga ada yang melaporkan perusahaan karena menanam di luar HGU. Ia terbukti dari pengukuran tata batas yang menunjukkan, aktivitas perusahaan di luar HGU. Pada 11 April 2023, mediasi tidak terlaksana karena dari perusahaan tidak hadir.

Warga menolak tegas karena hutan bagi masyarakat merupakan sumber kehidupan. Belum lagi, ketika melihat desa-desa sekitar yang rusak setelah perusahaan sawit masuk.

“Kami tidak ingin nanti tidak ada suara burung, binatang-binatang juga susah ditemukan. Hal-hal yang sudah dijaga sejak kakek moyang tentu saja sebisa mungkin kami jaga.”

Cambang Cornelia, perempuan penganyam Mekar Jaya mengatakan,  hutan merupakan jantung desa mereka. “Disitulah air dari gunung-gunung mengalir ke desa dan untuk kebutuhan sehari-hari. Kalau dibikin sawit atau perusahaan masuk jelas akan membuat habis hutan dan air, nanti akan ikut menghabiskan manusia juga,” kata perempuan 57 tahun ini.

Gusti Suganda, dari Tropenbos Indonesia–lembaga pendamping masyarakat—mengatakan, hak pengelolaan hutan desa kepada Lembaga Pengelola Hutan Desa berdasarkan Surat Keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia Nomor: SK 5744 pada 2022.  Luas hutan desa 1.107 hektar dan “Yulius Yogi  jadi ketua LPHD.

Dia kilas balik ke belakang. Pada 2014, perusahaan sawit, pernah berupaya mendekati masyarakat dengan patok batas di Desa Mekar Raya dan langsung mendapat penolakan keras dari masyarakat.

Tropenbos mengusulkan untuk melindungi sekitar 200 hektar kawasan tembawang (35 lokasi) dan 13 kawasan mata air. Hal ini juga mencakup tujuh lokasi sakral tradisional yang merupakan habitat alami macan dahan, yang dianggap sebagai nenek moyang Suku Dayak. Habitat yang mereka yakini sebagai tempat hidup macan dahan ini menjadi kawasan tertutup, bahkan untuk pertanian.

Tembawang. Foto: Aseanty Pahlevi/Mongabay Indonesia

Hutan, sumber kehidupan

Yulius Yogi, tokoh pemuda Desa Mekar Raya, mengatakan, hutan mereka jaga ketat. “Pembagian hutan menjadi tiga lapis, yakni bawas atau ladang, tembawang dan rimba,” katanya.

Tembawang merupakan bagian hutan yang memiliki kekayaan alam seperti buah-buahan, tanaman obat, dan bahan untuk menganyam. Sedangkan rimba adalah bagian hutan terdalam yang jarang masyarakat masuki.

Bagi masyarakat Mekar Raya, tembawang, merupakan lapisan hutan paling bermanfaat untuk mereka karena tempat mencari buah-buahan seperti durian, cempedak, gandaria, tengkawang, cemrangan dan berbagai tanaman obat.

Tembawang Mekar Raya juga sebagai penghasil durian terbanyak di Ketapang. Satu titik tembawang bisa menghasilkan 2.000–3.000 buah durian ketika musim dan menjadi sumber pendapatan tambahan masyarakat Mekar Raya. Awalnya,  tembawang merupakan bekas ladang nenek moyang.

Tembawang,   merupakan jantung penghidupan masyarakat Mekar Raya, terutama perempuan. Di sanalah sumber pangan dan bahan baku sehari-hari.

Para perempuan mengumpulkan bahan anyaman untuk membuat kerajinan tangan atau tikar. Mereka juga memetik buah-buahan selama musim panen seperti durian, cempedak, kandaria, langsat, duku, mentawa, dan pekawai. Selain itu, mereka mendapatkan air dari mata air di dalam area itu.

Fransiska, pengayam bembang  cerita, sudah menganyam sejak kecil. Dia pun kini tularkan keahlian itu kepada generasi muda agar tradisi anyam terjaga sekaligus ada tambahan pendapatan.

“Kami sudah punya kelompok anyam.”

Ilmu menganyam, termasuk pemilihan bahan, motif hingga warna merupakan pengetahuan turun temurun. Biasa mereka membuat tas, keranjang, dompet dan sampul buku. Harga kisaran Rp5.000– Rp300.000. “Bahan biasa kami cari ke hutan karena semua ada,” kata Siska.

Selain menganyam, dia juga berladang, menoreh dan menyandau atau menunggu durian jatuh.

Kegiatan menyandau hutan pun jadi wisata Desa Mekar Raya. Setiap musim durian, banyak orang berbondong datang untuk mengikuti menyandau bersama warga.

Meski demikian, masyarakat Mekar Raya melarang orang yang ikut menyandau untuk menjual durian hanya konsumsi pribadi. Biasa menyandau dari pukul 7.00- 9.00 malam oleh laki-laki, perempuan dan anak-anak.

“Ketika menyandau, orang tua akan membawa anak-anak mereka belajar langsung. Anak-anak juga semangat untuk ikut menyandau,” kata Cambang.

Aliran sungai yang bersumber dari mata air gunung yang jadi keramat masyarakat merupakan sumber pendapatan desa. Mereka memanfaatkan sumber air untuk bikin air galon isi ulang. Dengan model seperti ini, sekaligus menguatkan upaya menjaga hutan.  Kalau terjadi alih fungsi, sumber air akan terancam.

“Desa tetangga air tidak sebagus di desa kami karena di sana sudah ada perusahaan masuk. Entah itu karena polusi atau limbah dari perusahaan yang menghabiskan mata air dan membuat keruh air mereka,” kata Serina.

Mereka tak ingin, kerusakan juga terjadi di hutan mereka. Itulah mengapa,  warga Mekar Raya, juga para perempuannya gigih menjaga hutan.

Tak hanya menunjukkan peranan dalam perlindungan hutan maupun wilayah adat, perempuan Mekar Raya juga merawat pengetahuan lokal. Mereka melindungi hutan sembari memanfaatkan secara bijak.

*Tulisan ini hasil kerja sama Mongabay Indonesia dengan WGII.

******

Para Perempuan Penjaga Hutan Aceh

Read Entire Article
Apa Kabar Berita | Local|