- Tata kelola lahan gambut masih penuh tantangan. Di Riau, provinsi dengan 4,9 juta hektar Kawasan Hidrologis Gambut ini kehilangan lebih dari setengah tutupan hutan periode 1990-2020. Dari awalnya 3,5 juta hektar menjadi hanya 1 juta hektar untuk kegiatan non kehutanan.
- Okto Yugo Setiyo, Koordinator Jaringan Kerja Penyelamat Hutan Riau (Jikalahari), menyebut, gambut makin terancam, terutama dengan wacana 20 juta hektar hutan untuk pangan, energi, dan air.
- Studi Pantau Gambut di Food Estate Kalteng menunjukkan hampir seluruh lahan bekas proyek lahan gambut (PLG) untuk proyek ini tidak cocok untuk budidaya padi.
- Azwar Maas, Peneliti gambut Fakultas Pertanian Universitas Gadjah Mada, menyerukan, supaya tidak ada kegiatan yang mengganggu kawasan gambut yang masih utuh, terutama yang berkubah. Kubah ini, kata dia, merupakan sumber air untuk kesehatan tanah di sekitar ekosistem tersebut, khususnya pada musim kemarau.
Batang-batang pohon kering bercampur akar tunggang langgang, tak beraturan. Bertumpuk-tumpuk bercampur gambut tercacah di tepian torehan kanal selebar enam meter. Air kanal coklat pekat seakan bergetar seiring deru alat berat bersahutan di tengah hutan gambut yang masuk dalam konsesi perkebunan kayu di Kayong Utara, Kalimantan Barat. Begitulah salah satu gambaran miris kondisi gambut, bagian dari ekosistem lahan basah di Indonesia.
Kondisi gambut di Riau pun menyedihkan. Provinsi dengan 4,9 juta hektar kawasan hidrologis gambut ini kehilangan lebih dari setengah tutupan hutan periode 1990-2020. Awalnya, 3,5 juta hektar menjadi hanya 1 juta hektar untuk kegiatan non kehutanan, seperti perkebunan, pertambangan, pertanian dan pemukiman.
Kondisi ini tambah parah, dengan hanya 24.000 hektar atau 0,49% KHG dalam kondisi tidak rusak. Mayoritas, atau 4,1 juta hektar, rusak ringan.
Kerusakan ekosistem lahan basah ini membuat ketersediaan air terus menyusut dan membuatnya rentan terbakar. Badan Restorasi Gambut dan Mangrove (BRGM) bahkan mencatat lebih dari 284.000 hektar KHG di Riau terbakar sepanjang 2015-2020.
Okto Yugo Setiyo, Koordinator Jaringan Kerja Penyelamat Hutan Riau (Jikalahari), mengamini data itu. “Ke depan makin terancam karena ada rencana pembukaan 20 juta hektar hutan. Di Riau, sudah pasti menyasar gambut.”
Catatan akhir tahun 2024 Jikalahari menyatakan, korporasi memotori perusakan gambut di Riau, langsung, atau berlindung atas nama kelompok masyarakat dalam pemanfaatan kawasan hutan.
Sepanjang tahun lalu, Jikalahari masih menemukan penebangan hutan alam dan perusakan, ratusan titik panas di lahan gambut dengan kedalaman lebih empat meter, hingga konflik antara perusahaan dan masyarakat sekitar kawasan gambut.
“Deforestasi 50% di konsesi HTI dan sawit.”
Kerusakan gambut, katanya, juga mempengaruhi luas banjir di Riau. Pelalawan menjadi kabupaten langganan banjir. Dua tahun terakhir, lintas timur kabupaten ini selalu terndam sejak penghujung sampai awal tahun.
Setiap banjir, jalur penghubung Riau-Jambi selalu putus. Dilansir Tribunnews, banjir baru menyusut, namun arus lalu lintas masih belum normal.
“Di sekitar kawasan terkena banjir atau lebih kurang satu kilometer itu dulunya hutan. Sekarang berubah jadi perkebunan sawit. Kalau deforestasi tinggi, banjir makin tinggi dan luas,” kata Okto.
Analisis Jikalahari juga menguatkan, intensitas dan kejadian banjir makin meluas di Riau berkorelasi dengan berkurangnya tutupan hutan alam. Enam tahun terakhir terjadi 261 kali banjir pada 592 lokasi di seluruh kabupaten/kota. Sejalan dengan hilangnya 2,5 juta tutupan hutan alam selama 2000-2023.
Penggundulan hutan gambut juga memicu konflik satwa dan manusia. Catatan Jikalahari, sejak 2018, ada 13 korban meninggal kena diserang harimau sumatera. Sebelas terjadi di konsesi hutan tanaman industri akasia maupun eukaliptus, dan perkebunan sawit. Mayoritas terjadi di lanskap Kerumutan, kawasan hutan rawa gambut terluas Riau.
Eksploitasi lahan basah ini di pulau-pulau kecil dan terluar juga mengkhawatirkan. Okto bilang, pembukaan hutan rawa gambut dan kanalisasi mempercepat laju intrusi.
Dampaknya, perekonomian masyarakat dan kehidupan lain yang bergantung pada gambut. Belum lagi, lanjut dia, dengan makin turun dan terkikisnya daratan di pulau-pulau tersebut.
Sigit Sutikno, Ketua Pusat Unggulan Iptek Gambut dan Kebencanaan Universitas Riau, secara khusus menyoroti masifnya kanalisasi pada ekosistem gambut. Berdasarkan data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan 2017 (kini, jadi kementerian terpisah), panjang drainase buatan atau kanal di Riau mencapai 7.576,18 kilometer. Sekitar 1.248,31 kilometer di antaranya memotong kontur KHG.
“Kalau gambut dibuat kanal, argo kerusakan jalan terus. Subsiden (penurunan permukaan gambut) juga salah satu indikator kerusakan. Banjir di Pelalawan, kalau diamati airnya berwarna cokelat. Bukti bahwa gambut tak mampu lagi menyimpan air. Itu akan terjadi setiap tahun.”

Pemulihan lambat
Kerusakan gambut dan dampak yang muncul makin masif. Sayangnya, pemulihan justru berjalan lambat. Keberhasilan restorasi gambut pun dinilai Sigit sulit terukur.
“Restorasi gambut justru masih agak jauh,”katanya.
Sigit menilai, pemulihan lahan basah ini hanya bertumpu pada BRGM . Sementara, lembaga ad hoc ini tidak ada di tingkat provinsi maupun kabupaten, hingga kewalahan mengurusi kerusakan lahan basah ini yang tergolong luas.
Sedang program pemulihan gambut BRGM di daerah hanya melalui tugas perbantuan, seperti Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan (DLHK) jadi belum masif dan terstruktur.
Pemerintah Riau sebenarnya membentuk Tim Restorasi Gambut dan Mangrove Daerah (TRGMD). Hanya, kata Sigit, kerja TRGM tidak berdampak signifikan mendorong percepatan pemulihan gambut.
Salah satunya, karena komposisi di lembaga lokal ini yang tidak mewakili banyak pihak. Hanya berisi birokrat tiap organisasi perangkat daerah yang berhubungan dengan gambut. Bahkan, katanya, nyaris tanpa kegiatan nyata di lapangan.
Dia mengusulkan, BRGM jadi permanen dan TRGMD menjadi OPD tersendiri seperti BNPB dan BPBD. “Kalau begitu, saya rasa lebih masih dan terstruktur kinerjanya. Program pemulihan gambut lebih cepat.”
Okto menyebut, peran BRGM mengecil sejak diberi tugas tambahan memulihkan mangrove. Fokus mereka pada gambut dalam konsesi perusahaan kehutanan raib, membuat tujuan awal pendirian lembaga ini mengomandoi restorasi gambut makin kabur.
Tanggung jawab pemulihan gambut, katanya, tidak hanya di tangan pemerintah. Korporasi pun wajib memulihkan gambut bekas terbakar pada konsesinya. Mandat ini termaktub dalam Peraturan Pemerintah Nomor 71/ 2014 tentang perlindungan dan pengelolaan ekosistem gambut (PP Gambut) yang kemudian direvisi dengan PP 57/2016.
Temuan Jikalahari bersama koalisi delapan provinsi, restorasi gambut perusahaan masih mengutamakan kepentingan industri. Misal, pembangunan sekat kanal tidak sesuai standar, hingga air hanya tahan saat kemarau dan terbuang saat musim hujan.
Dua situasi itu berdampak pada area gambut di luar konsesi yang mayoritas masyarakat sekitar manfaatkan. “Perusahaan mengontrol penuh tata air dari dalam kanal mereka,” kata Okto.
Temuan lain, alih-alih memulihkan gambut bekas terbakar, perusahaan justru menanam kembali dengan komoditas akasia maupun eukaliptus dan sawit. Laporan ini pernah rilis bersama koalisi enam provinsi pada 2019. Antara lain, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Sumatera Selatan dan Jambi.

Kembali ke aturan
Menurut Okto, perlindungan gambut harus kembali mengacu pada PP Gambut. Di antaranya pengalokasian kawasan fungsi lindung gambut yang mengharuskan minimal 30% dari seluruh KHG pada bagian puncak dan sekitarnya.
Regulasi ini mengikat setiap pemerintah daerah yang memiliki kawasan gambut. Mereka pun harus menuangkannya dalam Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut (RPPEG).
Di Riau, RPPEG sudah diwujudkan dalam Keputusan Gubernur Nomor 803 Tahun 2022. Di dalamnya terdapat luas dan kondisi gambut yang telah dipetakan, strategi hingga rencana aksi pemulihan gambut beserta panduannya, termasuk pembagian peran dan tugas tiap perangkat daerah.
Selain itu, perlindungan gambut seharusnya juga dikuatkan melalui Perda Rencana Tata Ruang dan Wilayah (RTRW). Sayangnya, Pemerintah Riau belum melakukan ini setelah Mahkamah Agung mengabulkan uji materi beberapa pasal bermasalah.
Salah satunya, tentang penetapan luas kawasan lindung gambut yang tidak sampai 30 persen atau cuma 25.000 hektar dari 4,9 juta hektar keseluruhan gambut di Riau.
Jikalahari dan koalisi menggugat ketentuan yang tertuang dalam Perda 10/2018 ini pada 2019. Gugatan ini MA kabulkan dua bulan setelahnya.
“(Revisi) Perda RTRW 2018-2038 sudah ditetapkan dalam prolegda (program legislasi daerah), setelah eksekutif serahkan ke DPRD untuk pembahasan. Kita ngawal terus. Pasti akan kita kawal,” ujar Okto.

Bukan untuk food estate
Di Kalimantan, Pantau Gambut studi pemantauan pada 30 titik lokasi area pengembangan pangan skala besar (food estate) selama periode 2020-2023 di era Presiden Joko Widodo, berasal dari bekas lahan proyek pengembangan lahan gambut (PLG) 1 juta hektar di Kalimantan Tengah (Kalteng). Hasilnya, hampir seluruh lahan gambut terbuka tidak sesuai untuk budidaya padi.
“Dari 3 blok eks-PLG Kalteng, dengan total 243.216 hektar, hanya 1% yang cocok untuk pertanian, sisanya memiliki kesesuaian sedang hingga rendah,” kata Lola Abas, Koordinator Pantau Gambut, dalam siaran pers yang diterima Mongabay.
Dia bilang, sebagian besar lahan yang sudah dibuka ditinggalkan, yang lain berubah menjadi perkebunan sawit swasta.
Penggunaan lahan gambut untuk pertanian, katanya, hanya boleh di lahan gambut dangkal atau kurang dari satu meter yang sudah dibudidayakan sebelumnya. Itu pun harus dengan cermat.
“Menggunakan teknologi pengelolaan air dan menyesuaikan karakteristik gambut dan jenis tanamannya,” katanya.
Lola pun mendorong, pemerintah lebih mengutamakan pendekatan swasembada pangan berbasis lokal yang sesuai kondisi lahan gambut. Juga lebih melibatkan masyarakat, ketimbang korporasi, sebagai subjek utama pengelolaan lahan gambut.
Azwar Maas, Peneliti Gambut Fakultas Pertanian Universitas Gadjah Mada, dalam rilis menyerukan supaya tak ada kegiatan yang mengganggu kawasan gambut yang masih utuh, terutama yang berkubah. Kubah ini, katanya, sumber air untuk kesehatan tanah di sekitar ekosistem tersebut, khusus, musim kemarau.
“Lahan gambut di Merauke, Papua, yang digunakan sebagai food estate itu bekas rawa lama yang mengalami pengangkatan. Tandanya, ada banyak karat besi di permukaan,” katanya.
Dia bilang, karakteristik itu sama dengan di Lampung. Hanya saja, gambut di selatan Pulau Sumatera itu sudah lebih dari 100 tahun dimanfaatkan, sementara Merauke baru buka.
Azwar minta, pemerintah melibatkan perguruan tinggi untuk proyek masif food estate. Itu pun dengan proses tidak sebentar. Jangan sampai, pemerintah terlalu fokus dengan urusan engineering atau sipil dan abai pengetahuan tentang tanah.
“Jika lahan gambut terlanjur terbuka, restorasi tidak mungkin mengembalikan ke kondisi semula. Pemerintahan Prabowo harus menata kembali berbagai peraturan perundangan untuk pelestarian dan pemanfaatan gambut.”
Dirambah untuk Kebun Sawit, Ancaman Serius Suaka Margasatwa Rawa Singkil