- Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mencatat, penurunan jumlah bencana, dari 5.400 pada tahun 2023 menjadi 2.107 pada tahun 2024. Pergeseran signifikan terjadi pada jenis bencana hidrometeorologi yang meningkat signifikan seperti banjir dan tanah longsor akibat La Niña dan perubahan iklim. Kerusakan alam akibat industri ekstraktif tidak masuk sebagai instrumen penyebab bencana.
- Eko Teguh Paripurno, Direktur Pusat Penelitian Penanggulangan Bencana Universitas Pembangunan Nasional (UPN) Yogyakarta, mengatakan, selama ini perubahan iklim acapkali menjadi kambing hitam saat terjadi bencana. Padahal, salah satu pemicu perubahan iklim adalah rusaknya ekologis, termasuk ekstraktivisme.
- Aktivitas industri ekstraktif, seperti tambang nikel di Sulawesi, menyebabkan kerusakan lingkungan, pencemaran laut, dan hilangnya sumber penghidupan masyarakat lokal, seperti ikan dan rumput laut. Kasus seperti ikan Mola mola yang mati tercemar lumpur di Konawe menjadi simbol dampak buruk aktivitas ini.
- Rencana pemerintah melanjutkan Proyek Strategi Nasional (PSN) seperti food estate dan industri sawit skala besar terukur mempercepat degradasi lingkungan. Kebijakan ini dianggap mengancam keanekaragaman hayati, meningkatkan risiko bencana ekologis, dan memicu konflik sosial akibat kerusakan sumber daya alam.
Rentetan bencana mendera berbagai daerah di Indonesia sejak awal tahun hingga saat ini. Data Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) menyebut, 7 Februari, tercatat 340 bencana terjadi dengan 84 orang meninggal dunia, 13 orang hilang dan 1,3 juta orang mengungsi. Tata kelola alam tak arif, krisis ekologis makin parah.
Masih merujuk data yang sama, bencana hidrometrologi mendominasi dengan jumlah 265 kejadian. Disusul cuaca ekstrem (34), tanah longsor (31), kebakaran hutan dan lahan (6), serta kekeringan (1).
Tren bencana hidrometrologi yang mendominasi sejatinya telah berlangsung dalam beberapa tahun. Pada tahun 2024 misal, kendatipun angka bencana secara keseluruhan turun, namun, bencana hidrometrogi meningkat tajam, kata Abdul Muhari, Kepala Pusat Data, Informasi dan Komunikasi Kebencanaan (Kapusdatin) BNPB saat telekonferensi “Kaledioskop Bencana 2024 dan Outlook Potensi Bencana 2025” belum lama ini.
BNPB menyebut adanya pergeseran signifikan jenis bencana mulai tahun 2023, dengan peningkatan dramatis pada bencana hidrometeorologi, terutama banjir dan tanah longsor akibat La Nina dan juga perubahan iklim.
Menurut Muhari, terminologi bencana adalah satu peristiwa alam maupun non alam yang berdampak pada kehidupan dan penghidupan, ada kerugian moril dan materiil. Dalam konteks ini, katanya, ada keterkaitan signifikan antara bencana dengan aktivitas ekstraktif.
Untuk penegakan hukum, katanya, jadi kewenangan Kementerian Lingkungan Hidup. BNPB tidak memiliki kewenangan menegakkan hukum atas perubahan lingkungan yang menyebabkan bencana.

Kambing hitam
Eko Teguh Paripurno, Direktur Pusat Penelitian Penanggulangan Bencana Universitas Pembangunan Nasional (UPN) Yogyakarta, mengatakan, selama ini perubahan iklim acapkali menjadi kambing hitam saat terjadi bencana. Padahal, salah satu pemicu perubahan iklim adalah rusaknya ekologis, termasuk dampak ekstraktivisme.
Dia bilang, pendekatan pembangunan lebih mengutamakan keuntungan ekonomi daripada masalah lingkungan hingga berkontribusi besar atas bencana . Pendekatan itu, katanya, cenderung mengabaikan risiko lingkungan.
Mengapa itu terjadi? Menurut ET, sapaan akrab Eko Teguh, karena pemerintah belum memiliki kesadaran utuh bahwa kerusakan ekologi akan membawa dampak turunan. Dia contohkan, banjir dan longsor di Morowali dan Morowali Utara, Sulawesi Tengah (Sulteng) saat pergantian tahun lalu tak lepas dari tambang nikel masif di wilayah itu.
“Di mana ada tambang nikel, maka ada risiko yang tidak diurus. Tidak ada kesiapsiagaan dan kesadaran bahwa kegiatan tambang menghadirkan bencana,” katanya.
Dia menekankan, perlu perubahan pola pikir menuju pendekatan lebih holistik untuk manajemen risiko, terkait pembangunan. Prinsip ‘kehati-hatian’ dalam setiap proyek pembangunan, terutama yang libatkan industri ekstraktif, harus benar-benar diterapkan.
Pendekatan ini sangat penting untuk menekan risiko dan menjaga lingkungan. Sebaliknya, kalau pemerintah masih berpikir sumber bencana adalah fenomena alam, selamanya ‘alam’ akan jadi kambing hitam.
Uli Arta Siagian, Manajer Kampanye Hutan dan Kebun Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Nasional, meyakini, ancaman bencana terus meningkat selama pemerintah terus bergantung pada ekstraktivisme. Aktivitas ekstraktif, katanya, tidak hanya berbahaya bagi lingkungan, juga manusia.
Diam pun sentil program kerja pemerintah lima tahun ke depan justru mempercepat “kiamat ekologis.’ Fokus pemerintah pada produksi pangan skala besar dan kemandirian energi akan menyebabkan deforestasi lebih lanjut dan degradasi lingkungan, memberikan masalah seperti banjir dan tanah longsor serta memicu kehilangan keanekaragaman hayati.
Bagaimana kerusakan ekologi berdampak pada kehidupan spesies terlihat dari mola-mola atau ikan matahari terdampak dan mati dengan penuh lumpur di Dermaga Jeti PT Virtue Dragon Nikel Park (VDNIP) Konawe, Sulteng, akhir Desember lalu. Padahal, mola-mola yang merupakan ikan purba dilindungi ini biasa hidup di perairan dalam hingga 600 meter .
Situasi itu, katanya, berhubungan dengan kondisi laut tercemar lumpur dari tambang nikel selama bertahun-tahun. Bagi nelayan, kemunculan mola ke permukaan ini kali pertama.
La Ode Muhammad Aslan, Guru Besar Kelautan Universitas Halu Oleo, Kendari menyebut, kemunculan mola itu karena habitat rusak dampak paparan limbah tambang nikel. “Ia keluar dari habitat aslinya karena dasar laut sudah banyak sedimen (lumpur).”
Aslan memonitor dampak ekologis tambang di Sulawesi Tenggara yang merusak laut. Contoh, di Konawe Utara, memiliki izin usaha pertambangan (IUP) terbanyak di Indonesia. Kehadiran tambang nikel sejak akhir tahun 2000-an memberikan kontribusi besar pada deforestasi dan memicu perubahan iklim lokal.
Awalnya, rumput laut yang menjadi komoditas unggulan masyarakat pesisir mati karena suhu permukaan laut meningkat. Beberapa tahun terakhir, paparan lumpur dan limbah nikel telah menyebabkan ekosistem pesisir laut rusak hingga nelayan sulit mendapatkan ikan. Bahkan, laut Konawe Selatan juga tercemar Kadmiun dengan kandungan melebihi ambang batas.
Aslan meminta, BNPB tak melihat bencana hanya pada upaya penyelamatan manusia, juga tindakan pencegahan secara komprehensif. Terlebih lagi, banyak fakta yang menyebutkan, kerusakan ekologis memicu peningkatan bencana.

Ubah paradigma
Selain ekstraktivisme, ancaman meningkatnya bencana juga bisa terjadi karena program perkebunan monokultur sawit sejuta hektar di Sulawesi oleh pemerintah. Uli Arta Siagian mengatakan, sama seperti tambang, proyek ini akan menggerus lahan dalam jumlah besar, mengancam keanekaragaman hayati dan mengurangi krisis iklim.
Global Forest Watch (GFW) mencatat, setidaknya 906.100 hektar hutan primer basah di Sulawesi hilang pada 2002-2023. Selain itu, 2,2 juta hektar tutupan pohon hilang dalam jangka waktu sama.
Uli mengatakan, bencana itu terjadi karena aparatur negara salah mengurus ekosistem. Catatan Walhi, periode 2015-2022, korban meninggal karena bencana ekologis 10.191 jiwa, korban luka–mengungsi sekitar 43 juta jiwa. Total kerugian mencapai Rp101,2 triliun.
Dalih BNPB yang menyebut bencana hidrometeorologi karena krisis iklim, sebenarnya tidak langsung memastikan bahwa kerusakan alam sebagai pemicunya. Sebab, krisis iklim terjadi akibat akumulasi pelepasan emisi dalam skala besar karena ekstraktivisme dan pembabatan hutan.
Uli pun khawatir jika proyek food estate terus berjalan di lahan seluas jutaan hektar di pulau-pulau besar di Indonesia, akan memperparah bencana. “Artinya, banyak yang harus dikorbankan ketika eksploitasi sumber daya alam semakin masif.”
Forum Cik Ditiro, organisasi masyarakat sipil berbasis di Yogyakarta, belum melihat keseriusan pemerintah dalam melihat bencana dari konteks kerusakan alam. Alih-alih, pemerintah baru di bawah Presiden Prabowo Subianto terkesan meneruskan program pemerintah sebelumnya, tanpa memberikan catatan kritis, termasuk, proyek strategis nasional (PSN).

Sebelumnya, Presiden Joko Widodo menyusun 244 PSN di Sumatera, Kalimantan, Bali, NTT, Maluku, Papua, dan Jawa. Dari ratusan PSN itu, 16 PSN lanjut kepada Prabowo, dengan dalih meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan pemerataan pembangunan.
Kehadiran PSN, seperti jalan tol, destinasi wisata, bendungan, dan energi tidak hanya berkontribusi terhadap bencana, juga sumber konflik dan bencana sosial.
Cik Ditiro contohkan, hasil penelitian Trend Asia, Foshal dan YLBHI di Maluku Utara menunjukkan, hilirisasi tambang nikel di Maluku Utara menghancurkan, dan melenyapkan sumber serta alat produksi ekonomi warga hingga menciptakan kemiskinan dan ketimpangan ekonomi.
Data statistik 2023, Maluku Utara (Malut) menunjukkan, penduduk miskin mencapai 79.870 orang, meningkat 83.800 dari periode sebelumnya. “Kebun dan pesisir hingga laut hancur,” kata Cik Ditiro, mengutip laporan berjudul “Daya Rusak Hilirisasi Nikel: Kebangkrutan Alam dan Derita Rakyat Maluku Utara itu.
AB Widyanta, sosiolog Universitas Gadjah Mada (UGM) yang tergabung dalam Cik Ditiro, kepada Mongabay, menjelaskan, situasi lingkungan yang kuat terhadap ekonomi. Saat lingkungan rusak, dampaknya tidak hanya perekonomian turun juga memicu bencana ekologis, dan berisiko memicu konflik horizontal.
Dia bilang, pemerintah harus mengubah paradigma soal bencana semata-mata karena faktor alam tetapi ada peran manusia yang membuat lingkungan rusak dan meningkatkan kerentanan.

*********
Foto utama: Truk terbawa banjir bandang di Morowali Utara. Foto: dokumen warga
Catatan Akhir Tahun: Makin Parah, Area Industri dan Proyek Infrastruktur Rentan Bencana