- Seratusan rumah Suku Soge Natarmage dan Goban Runut tergusur di Nangahale, Kabupaten Sikka, Nusa Tenggara Timur, karena berkonflik lahan dengan perusahaan milik Keuskupan Meumere. Masyarakat bertahan karena itu wilayah adat mereka. Sedang PT Kristus Raja Maumere (Krisrama), nyatakan, ‘pembersihan’ mereka lakukan karena rumah warga berada dalam hak guna usaha (HGU) mereka.
- Maximilianus Herson Loi, Ketua AMAN Nusa Bunga, mengatakan, gereja seharusnya melindungi umat, justru jadi aktor utama perampasan hak masyarakat adat.
- Dewi Kartika, Sekretaris Jenderal KPA, mengatakan, tindakan ini ilegal dan melanggar hak masyarakat adat yang mendiami wilayah itu sejak lama. Aparat seharusnya melindungi rakyat, bukan jadi perpanjangan tangan perusahaan.
- Eko Cahyono, peneliti senior dari Sajogyo Institute, mengatakan, Masyarakat Natarmage, telah menghuni tanah itu jauh sebelum kolonial datang. Bukti sejarah, seperti dokumen baptisan Ordo Jesuit, menunjukkan keberadaan mereka sudah lama. Karena itu, klaim masyarakat adat tinggal ilegal di tanah HGU itu tidak adil.
Tangis perempuan pecah mengiringi deru eksavator yang merobohkan rumah-rumah di Nangahale, Kabupaten Sikka, Nusa Tenggara Timur. Puluhan warga adat Suku Soge Natarmage dan Goban Runut hanya bisa menyaksikan, tak berdaya melihat alat berat meluluhlantakkan rumah dan tanaman mereka.
Para perempuan berupaya menghadang. Dengan bercucuran air mata, seorang Perempuan Nanghale ini memakan tanah dan dedaunan sebagai simbol perlawanan. Aksi itu tak mampu menghentikan penggusuran.
Pada 22 Januari 2025 itu, hari kelam bagi Masyarakat Adat Nangahale. PT Kristus Raja Maumere (Krisrama), lakukan penggusuran dengan pengawalan Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP), Polri dari Polres Sikka, dan TNI. Ada juga kelompok orang dengan ikat kepala kain merah diduga untuk memprovokasi masyarakat.
Tangis tak berhenti ketika rumah pertama roboh. Antonius Toni, warga yang rumahnya hancur, menceritakan keluarga mereka harus menghadapi situasi mengerikan ini.
“Istri saya memohon kepada operator eksavator agar tidak menghancurkan rumah. Tapi permohonan itu tak digubris,” katanya. Reruntuhan rumah mengenai kaki istrinya sampai terluka.
Antonius juga Pengurus Daerah Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Flores Timur. Saat penggusuran dia sedang berada di Maumere menghadiri sidang perkara delapan anggota masyarakat adat yang kena tahan karena diduga merusak plang perusahaan.
“Saya ditelepon dan langsung kembali ke Nangahale,” katanya.
Setibanya di lokasi, Antonius mendapati rumahnya yang pertama kena gusur.
Tragisnya, istri Antonius, Katarina Ulin dan dua warga lainnya berada di dalam rumah saat bangunan dihancurkan. “Istri saya dan dua orang lain mengalami luka akibat runtuhan batako rumah,” katanya.
Insiden ini menunjukkan bagaimana penggusuran tanpa memperhatikan keselamatan warga.
Antonius segera melaporkan kejadian ini ke Polres Sikka. “Hari (Selasa), saya dan istri saya dimintai keterangan oleh polisi.”
Sebelum digusur, beberapa lelaki yang menggunakan tanda kain merah putih terikat di kepala dan lengan sambil memegang parang masuk ke rumahnya. Mereka berusaha menemui isterinya, namun ditolak.
Beberapa menit kemudian alat berat langsung bergerak ke belakang rumah dan merobohkan bangunan. Terdengar perintah agar penghuni segera keluar.
“Isteri saya katakan saya tidak mau keluar karena rumah ini saya bangun dengar susah payah, kenapa kamu datang gusur begini,” katanya.
Alat berat terus bergerak ke sebelah barat rumah tembok berukuran 8X6 meter lalu menghancurkan atap dan dinding. Bongkahan batako jatuh dan mengenai isterinya dan Katarina Kerong, warga lainnya.
Saat rumah hendak roboh, yang di dalam rumah berlari ke luar. “Anak dan isteri saya hanya menangis melihat rumah kami dirobohkan. Sampai hari ini mereka masih trauma,” katanya.
Setelah rumah Antonius roboh, alat berat bergerak ke lokasi lain di Utan Wair dan Pedan.
Maximilianus Herson Loi, Ketua AMAN Nusa Bunga, mengatakan, penggusuran ini tak hanya melibatkan aparat, juga kelompok preman yang terorganisir.
“Patut diduga, kehadiran mereka bagian dari skenario yang sengaja dirancang untuk menciptakan konflik horizontal di tengah masyarakat adat,” katanya.
Gereja, seharusnya melindungi umat, justru jadi aktor utama perampasan hak masyarakat adat. “Bagaimana mungkin seorang pastor yang mengajarkan cinta kasih memimpin penggusuran yang begitu brutal?” kritik Maximilianus.
Dia menilai, tindakan ini mencoreng nilai-nilai gereja dan memicu trauma mendalam bagi warga yang kehilangan tempat tinggal.
Jumlah tergusur sekitar 120 rumah, di Utan Wair (3), Wairheek (5) dan 113 di Pedan. Tak hanya orang dewasa yang alami masa sulit ini, puluhan anak juga kehilangan tempat tinggal karena penggusuran ini. Setidaknya, ada lima orang duduk di taman kanak-kanak, SD (23), SMP (10 ), SMA/SMK 12 dan sedang kuliah tujuh orang.
“Warga membuat tenda darurat di lokasi untuk menginap. Jaringan Listrik diputus dan sumur pun dirusak,” kata Antonius.
Warga di Desa Nangahale dan Likong Gete, yang menjadi korban penggusuran Krisrama, korporasi di bawah Keuskupan Maumere, mengalami trauma mendalam karena tindakan represif itu.
Mereka meminta, Pemerintah Sikka mengambil langkah serius menyelesaikan konflik ini dan memberikan bantuan bagi masyarakat yang kehilangan tempat tinggal maupun sumber penghidupan.
Antonius mengatakan, warga kehilangan tempat tinggal, lahan pertanian dan ratusan pohon produktif yang jadi sumber utama penghidupan warga pun rusak.
“Penggusuran ini bukan hanya merampas atap di atas kepala kami, juga menghancurkan kebun-kebun yang kami rawat turun-temurun,” ujar Antonius.
Bagi masyarakat adat, tanah bukan sekadar ruang fisik, juga pusat kehidupan sosial dan budaya. Wilayah adat, katanya, bagian dari identitas, spiritualitas, dan nilai-nilai warisan leluhur.
Penggusuran ini, memutus ikatan masyarakat dengan tanah leluhur, mengancam tradisi yang bertahan selama berabad-abad. “Bukan hanya rumah dan kebun yang hilang, juga sejarah dan identitas kami sebagai masyarakat adat.”
Langgar hak masyarakat adat
Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) dan Aliansi Masyarakat Adat Nusantara kecam tindakan ini. KPA nyatakan, HGU itu bermasalah secara administratif dan tak memenuhi syarat clear and clean.
Dewi Kartika, Sekretaris Jenderal KPA, mengatakan, tindakan ini ilegal dan melanggar hak masyarakat adat yang mendiami wilayah itu sejak lama. “Aparat seharusnya melindungi rakyat, bukan jadi perpanjangan tangan perusahaan.”
Ironisnya, penggusuran dilakukan saat delapan warga adat sedang menjalani persidangan di Pengadilan Negeri Maumere atas tuduhan merusak properti Krisrama.
AMAN nyatakan, jerat hukum kepada warga bentuk kriminalisasi terhadap masyarakat adat yang mempertahankan tanah leluhur mereka.
John Balla, Pengurus Dewan AMAN Nasional di Sikka, mengatakan, warga Nangahale dan Likong Gete, yang jadi korban penggusuran, mulai membangun rumah-rumah darurat di atas puing-puing reruntuhan rumah mereka.
Warga lakukan ini sebagai bentuk perlawanan dan keberlanjutan hidup, meskipun kondisi mereka sangat sulit. Mereka, katanya, tak memiliki tempat lain untuk tinggal dan tetap ingin mempertahankan tanah adat itu.
Masyarakat, katanya, berharap pemerintah segera menyelesaikan konflik agraria ini dengan adil, mengakui hak historis, dan memberikan solusi yang tak merugikan masyarakat adat.
Respon perusahaan
Krisrama, membantah berbagai tuduhan kepada mereka. Romo Ephy Rimo, Direktur Utama PT Krisrama, dilansir dari Floresa.co menjelaskan, tindakan perusahaan bukanlah penggusuran, melainkan “pembersihan” terhadap “okupan yang masih berada di dalam lokasi HGU.”
“Kami sama sekali tidak ada persoalan dengan siapa pun. Hanya, ada satu dua rumah masih ada di dalam lokasi HGU, yang sebelumnya berdasarkan janji pemerintah, mereka direlokasi pemerintah,” katanya.
Dia bilang, tindakan itu berdasarkan upaya menertibkan lahan yang sudah ada izin HGU.
Dalam rilis kepada media yang Mongabay terima, dia bilang, pembersihan sudah melalui prosedur, mulai dari pengumuman di gereja, oleh pemerintah daerah, pendekatan dari orang perorang hingga somasi hukum.
Dia klaim, realita lapangan, sejumlah besar okupan sudah mengindahkan imbauan dan sukarela mengosongkan pondok-pondok mereka.
“Yang diviralkan kemarin itu hanya segelintir orang yang diminta bertahan oleh beberapa LSM dan aktor intelektual untuk kepentingan diri dengan mengorbankan masyarakat bahkan mengatasnamakan masyarakat kecil.”
Dia turun langsung saat penggusuran dan kalau ada pemilik di dalam pondok, maka meminta izin terlebih dahulu agar pemilik mengeluarkan barang berharga.
Ephy katakan, proses penggusuran berjalan baik dan lancar. Ada rumah tidak mereka bongkar karena ada penghuni sakit dan penghuni berjanji membongkar sendiri.
“Kami pastikan tidak mencederai atau melukai siapapun tetapi kami pastikan ada karyawan kami yang jadi korban pelemparan, pelecehan dan alat berat kami dirusak.”
Dia menjelaskan, tanah HGU Nangahale semula perusahaan Belanda, Amsterdam Soenda Compagni yang menguasainya.
Ephy katakan, penguasaan lahan sesuai surat keputusan Residence Timor en Onder Hoorigheden 11 September 1912, No. 264 dengan luas sekitar 1.438 hektar.
Pada 1926, perusahaan Belanda menjual tanah itu dan dibeli Apostholik Vikariat Van De Klanis Soenda Elianden seharga F.22.500 gulden.
Pada 16 Desember 1956, Vikariat Apostholik Ende (VAE) melepaskan sebagian tanah seluas 783 hektar kepada Pemerintah Swapradja Sikka untuk kepentingan masyarakat sebagaimana termuat dalam surat VAE No. 981/V/56.
Dengan pemberlakuan UU Pokok Agraria No. 5/1960, terbitlah Kepres No. 32/1979 tentang Pokok Pokok Kebijaksanaan dalam pemberian hak-hak baru atas tanah asal konversi hak-hak barat.
VAE yang kala itu sudah menjadi Keuskupan Agung Ende mengajukan permohonan HGU atas tanah perkebunan kelapa Nangahale.
“Tanah dengan luasan itu tidak bisa dimiliki orang perorangan tetapi badan usaha maka dibentuklah PT Dioses Agung Ende,” katanya.
Pada 5 Januari 1989, DIAG mendapatkan HGU dari Kepala No.4/HGU/89 dengan hak pengelolaan selama 25 tahun lewat sertifikat No. 3 / 1993, berakhir 31 Desember 2013.
Sejak November 2010, DIAG—berubah nama jadi PT Krisrama— mengajukan pembaruan HGU kepada Kementerian ATR/BPN.
“Proses pembaharuan memakan waktu cukup lama, karena HGU Nangahale yang dikuasai Krisrama dinilai masuk dalam kategori terindikasi terlantar.”
Krisrama diminta segera mengurus dokumen pembaruan HGU sesuai Surat Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional NTT 28 Juli 2021.
Dalam rentang waktu pengajuan permohonan dan kelengkapan dokumen, hampir delapan tahun, dia tuding ada oknum masyarakat menyerobot dan mengokupasi tanah HGU.
Masyarakat sengaja mendirikan pondok berukuran 2X2 meter beratap seng dengan dukungan LSM.
“Baru selama satu sampai dua tahun terakhir ini ada yang coba-coba mendirikan rumah tembok ketika mendengar permohonan pembaharuan HGU Krisrama dikabulkan BPN/ATR,” katanya.
Dalam permohonan pembaruan HGU, Krisrama menyerahkan kembali kepada negara tanah seluas 543 hektar dari luas 868 hektar, hanya mengelola 325 hektar. Hak pengelolaan itu mereka peroleh dengan SK Kepala Kantor Wilayah BPN NTT per 28 Agustus 2023.
Glory grabbing
Eko Cahyono, peneliti senior dari Sajogyo Institute, mengatakan, pernyataan Romo Ephy memunculkan polemik lebih lanjut di tengah masyarakat adat. Sebagai institusi keagamaan, seharusnya berperan melindungi jemaatnya, bukan mendukung tindakan yang dianggap sebagai pelanggaran hak atas tanah adat.
Konflik ini, katanya, mencerminkan ketegangan berkepanjangan antara klaim historis masyarakat adat atas tanah leluhur mereka dan penggunaan tanah untuk kepentingan perusahaan yang mendapat dukungan hukum melalui HGU.
Konflik ini, katanya, berakar dalam dan sejarah panjang. “Sejarah kepemilikan tanah melibatkan kerajaan Sikka, kolonial Belanda, hingga keuskupan ini harus ditelusuri. Klaim dari keuskupan atas tanah ini berakar pada warisan kolonial yang tidak diakui masyarakat adat,” katanya.
Masyarakat Natarmage, telah menghuni tanah itu jauh sebelum kolonial datang. Bukti sejarah, seperti dokumen baptisan Ordo Jesuit, menunjukkan keberadaan mereka sudah lama. Karena itu, klaim masyarakat adat tinggal ilegal di tanah HGU itu tidak adil.
Eko mengkritik keuskupan yang dianggap mengabaikan kesepakatan multi-pihak dalam Piagam Ledalero. Kesepakatan ini bertujuan menyelesaikan konflik melalui reorganisasi tata ruang yang mengakomodasi hak-hak masyarakat adat, keuskupan, dan pemerintah.
Namun, keuskupan justru memperpanjang HGU tanpa menyelesaikan sengketa yang belum berstatus clear and clean.
Penggusuran dengan kekerasan, bahkan melibatkan preman bersenjata ini, dia nilai melanggar kemanusiaan. Satu kasus mencolok, penggusuran rumah warga yang istrinya sedang sakit.
Sebelumnya, warga sudah meminta waktu membongkar rumah sendiri, tetapi diabaikan. “Tindakan ini tidak manusiawi,” kata Eko.
Dia menyebut, fenomena ini sebagai glory grabbing, yaitu, perampasan ruang hidup atas nama kepentingan keagamaan.
“Ironisnya, kekerasan ini dilakukan institusi keagamaan yang seharusnya melindungi jemaatnya.”
Meskipun begitu, katanya, tak semua institusi keagamaan bertindak serupa. Eko mengapresiasi, langkah Keuskupan Ende yang menolak proyek geothermal untuk melindungi masyarakat adatnya. Sikap ini menunjukkan, wajah keagamaan di Indonesia tak selalu seragam.
Dalam kasus Maumere, terlihat sikap antagonis terhadap jemaat sendiri.
Dia pun mendesak, keuskupan, Badan Pertanahan Nasional (BPN), dan pihak-pihak terkait untuk menghormati hak historis masyarakat adat Natarmage. “Konflik agraria ini tidak bisa selesai dengan pendekatan sepihak. Perlu itikad baik, dialog, dan penghormatan terhadap nilai kemanusiaan.”
********