- Buah hutan mulai sulit ditemukan pada sejumlah daerah di Sumatera Selatan. Tapi, tidak di jongot yang berada di wilayah Kabupaten PALI (Penukal Abab Lematang Ilir).
- Jongot merupakan kebun buah hutan yang dikelola masyarakat di lanskap Penukal (Penukal Utara dan Penukal) dan Talang Ubi, Sumatera Selatan.
- Tanaman buah di agroforestry jongot merupakan hasil dari pre-domestikasi masyarakat lokal terhadap pohon hutan yang buahnya dapat dikonsumsi. Seleksi awal ini menjadi sumber kekayaan genetik, semacam konservasi plasma nutfah pohon penghasil buah, yang patut dipertahankan.
- Tercatat, 266 jenis buah asli Indonesia telah ditemukan yang sebagian besar tumbuh liar di hutan, dan hanya sebagian kecil dibudidayakan. Dari jumlah itu, sebagian besar berupa pohon (203 jenis), liana (26 jenis), perdu (17 jenis), herba (14 jenis), dan semak (4 jenis).
Buah hutan mulai sulit ditemukan pada sejumlah daerah di Sumatera Selatan. Tapi, tidak di jongot yang berada di wilayah Kabupaten PALI (Penukal Abab Lematang Ilir). Jongot adalah kebun buah hutan yang dikelola masyarakat di lanskap Penukal (Penukal Utara dan Penukal) dan Talang Ubi.
Awal Februari 2025, Mongabay Indonesia mengunjungi sebuah jongot di Desa Kota Baru, Kecamatan Penukal Utara, Kabupaten PALI.
Jongot milik keluarga besar Nanang Asri (90), berada di sekitar perkebunan karet, hume (padi talang], dan eks permukiman Kayu Aye Terung, perkampungan awal masyarakat Desa Kota Baru. Dibutuhkan perjalanan sekitar satu jam berjalan kaki atau sekitar 15 menit menggunakan sepeda motor.
Di jongot tersebut ditemukan puluhan pohon dari belasan jenis tanaman buah hutan, yang sebagian sudah tidak dikenali generasi muda saat ini. Tercatat, 18 jenis buahan hutan tumbuh subur.
Baca: Tumutan Tujuh, Tradisi Suku Semende Menjaga Sumber Air dan Kehidupan Kucing Liar

Ada tampui (Baccaurea macrocarpa). Buah anggota Suku Phyllanthaceae ini, masih kerabat dengan menteng dan rambai. Tampui di sini dagingnya putih.
“Ada juga yang kuning,” kata Muhammad Faizal, anak Nanang Asri.
Tampui menyebar di Asia Tenggara, dengan beragam nama. Misalnya, di Malaysia dengan nama merkeh, ngeke, lara, rambai, tampoi batang, tampoi, dan tampui. Di Pulau Bangka, dengan nama medang dan tampui. Di Kalimantan, namanya pasin, pegak, puak, tampoi, setai, jentikan, buah setei, empak kapur, kapul, terai. Sementara di Sumatera, dikenal beragam jenis tampui, seperti tampui daun, tampui bulan, tampui benar, dan tampoi saya.
Buah ini cukup akrab bagi masyarakat Penukal. Bahkan, sebuah desa yang tidak jauh dari Desa Kota Baru bernama Desa Lubuk Tampui.
“Dinamakan Lubuk Tampui, sebab dulunya ada pohon tampui besar yang tumbuh dekat lubuk Sungai Air Deras,” jelas Yusri Qolbi, Kepala Desa Kota Baru.
Baca: Kearifan Suku Semende: Menjaga Alam dan Bersahabat dengan Kucing Liar

Selanjutnya, rukam atau rukem (Flacourtia rukam). Buah yang batangnya bengkok dan berduri ini, kayunya yang keras sering dijadikan galah.
“Saat matang berwarna merah. Harus dipijit dulu agar rasa sepat dan pahitnya hilang. Rasa utamanya asam manis. Rukam oleh masyarakat kami dijadikan obat, misalnya buah mudanya untuk obat diare. Sementara akarnya direbus atau dijadikan jamu untuk ibu sehabis melahirkan.”
Baca: Tunggu Tubang, Perempuan Hebat Penjaga Pangan Masyarakat Adat Semende

Remanas atau kapulasan (Nephelium ramboutan-ake Blume syn. N. mutabile) yang dipahami masyarakat Penukal sebagai rambutan hutan, terlihat juga di sini. Namun, remanas tidak memiliki bulu seperti rambutan. Rasanya asam dan tidak ngelotok. Di Indonesia, remanas memiliki banyak nama, seperti kepulasan, pulasan, rambutan botak, kapulasan merah, kapulasan si babat, kapulasan koneng, dan rambutan utan.
Sengkowang atau rau (Dracontomelon sp.) juga ditemukan di jongot milik Nanang Asri. “Buahnya manis kalau sudah matang. Kulit batangnya bila direbus bisa jadi obat kembung, diare, dan ambeien,” kata Yusri Qolbi.
Sebuah kajian etnobiologi yang dilakukan Tania Dwi Yolanda Putri, Dharmono Dharmono, Nurul Hidayati Utami, terhadap tanaman sengkowang di Desa Sabuhur, Kecamatan Jorong, Kabupaten Tanah Laut, Kalimantan Selatan, menunjukkan kulit dari batang sengkowang digunakan masyarakat untuk pengobatan diare.
Baca: Hutan Marajai, Rumah Buah Khas Kalimantan

Gandaria atau gandorio (Bouea macrophylla Griff.) adalah buah hutan yang ditemukan pada setiap jongot di Penukal. Sebab, buah mudanya sering dirujak, sementara yang matang sebagai bahan sambal buah, dan daunnya dilalap.
Di jongot ini juga terdapat dian rimbe atau durian rimba [Durio oxleyanus]. Ukurannya kecil dan durinya panjang. Di Kalimantan, durian ini disebut kerantungan. Dian rambe masih dapat ditemukan pada sejumlah jongot di Penukal.
“Pohon dian rimbe di jongot ini mati sekitar tiga tahun lalu. Usianya puluhan tahun,” kata Faizal.
Ada juga dian jerging atau durian jerging [Durio kutejensis]. “Jenis ini juga banyak mati karena usia tua atau disambar petir. Tapi, masih ditemukan pada sejumlah jongot dan kami akan menanam lagi.”
Tanaman buah hutan lain di jongot milik keluarga Nanang Asri adalah duku, manggis, rambai, petai, aren, kemang, bacang, jengkol, dan cempedak.
Baca: Rumbia, Buah yang Dijuluki Salak Hutan Aceh

Tumbuhan lokal
Nanang Asri menjelaskan, buah hutan yang ditanam di jongot, termasuk milik keluarganya, merupakan tanaman yang tumbuh dan berkembang di hutan Penukal. Biasanya, di rawa dan daratan.
“Bukan tanaman yang dibawa dari luar,” katanya.
Setiap buah hutan yang ditanam, selain untuk dikonsumsi juga dapat dimanfaatkan sebagai bahan obat tradisional. “Kami percaya, mengonsumsi buah dari jongot dapat menjaga kesehatan,” terangnya.
Tapi, tidak semua tanaman di jongotnya berusia lebih dari 50 tahun. “Sebab, tidak lagi menghasilkan atau buahnya jarang,” jelasnya.
Dikutip dari artikel “Review: Keanekaragaman Jenis Buah-Buahan Asli Indonesia dan Potensinya” terbitan Biodiversitas Volume 8 Nomor 2 Tahun 2007, disebutkan di kawasan Asia Tenggara terdapat sekitar 400 jenis buah yang dapat dimakan (Prosea, 1991). Lebih dari tiga perempat jenis tersebut, ditemukan di Indonesia.
Tercatat, 266 jenis buah asli Indonesia telah ditemukan yang sebagian besar tumbuh liar di hutan, dan hanya sebagian kecil dibudidayakan. Dari jumlah itu, sebagian besar berupa pohon (203 jenis), liana (26 jenis), perdu (17 jenis), herba (14 jenis), dan semak (4 jenis).
Sekitar 62 jenis telah dibudidayakan, 18 jenis merupakan jenis endemik dan 4 jenis termasuk tumbuhan langka. Keempat jenis tumbuhan langka adalah kerantungan (Durio oxleyanus), lahong (Durio dulcis), lai (Durio kutejensis), dan burahol (Stelechocarpus burahol) (Mogea, dkk., 2001).

Pertahankan jongot
Dr. Edwin Martin, Peneliti Ekologi Sosial, Pusat Riset Masyarakat dan Budaya BRIN (Badan Riset dan Inovasi Nasional), menyatakan tanaman buah di agroforestry jongot merupakan hasil dari pre-domestikasi masyarakat lokal terhadap pohon hutan yang buahnya dapat dikonsumsi (edible fruits).
“Seleksi awal ini menjadi sumber kekayaan genetik, semacam konservasi plasma nutfah pohon penghasil buah, yang patut dipertahankan,” terangnya, Kamis (6/2/2025].
Dijelaskan Edwin, dahulu masyarakat lokal fokus menanam tanaman semusim penghasil pangan yang berpindah, serta tidak butuh areal luas. Nah, lahan yang ditinggalkan itu dapat menjadi agroforestry, seperti jongot. Setelah masuk era komoditas berbasis tanaman industri yang ekspansif ditambah perkembangan ilmu pengetahuan, agroforestry terancam punah.
“Beruntungnya, sebagian besar agroforestry tidak di bawah sistem penguasaan privat, tetapi keluarga. Sehingga, mengurangi risiko dijual atau dikonversi menjadi kebun tanaman industri, seperti jongot.”
Guna menjaga kelestarian jongot, dapat ditetapkan sebagai taman kehati. “Tapi, perlu diidentifikasi, dipetakan, dan dibina,” paparnya.