- Para pemuda di Bangka Belitung dengan pelopor Yudi Amsoni menjaga dan merawat mangrove. Mangrove adalah nyawa. Mangrove penjaga kehidupan pesisir.
- Kondisi mangrove di Belitung Timur, makin parah. Selain ancaman dari tambang liar, mangrove juga berhadapan dengan masalah perkebunan sawit, pembangunan hotel, dan pemukiman yang menggerus hutan-hutan pesisir.
- Di Sorong, Papua Barat juga ada kelompok perempuan muda dengan motor Loesye Fainno. Mereka menjaga hutan mangrove ini bukan hanya karena bagi lingkungan, juga nilai budaya dan spiritual yang mendalam.
- Mereka juga menerapkan program adopsi mangrove. Wisatawan yang datang dapat menanam pohon dengan harga Rp50.000, tetapi banyak dari yang rela membayar lebih, hingga Rp500.000 untuk satu pohon. Pohon-pohon ini dijaga dengan penuh dedikasi oleh komunitas.
“Mangrove adalah nyawa. Ini bukan hanya tanggung jawab saya, tapi kita semua. Kita harus menjaga bumi ini sebelum terlambat. Kalau tidak, kita sendiri yang akan menanggung akibatnya.” Begitu ungkapan Yudi Amsoni, pejuang lingkungan dari desa kecil Sukamandi, Belitung Timur, Bangka Belitung. Memasuki usia 46 tahun, pemuda yang akrab dipanggil Yudi Senga ini mendedikasikan hidup untuk satu tujuan, menyelamatkan hutan mangrove.
Baginya, mangrove adalah penjaga kehidupan pesisir yang kian terancam oleh penambangan liar. Sebagai nelayan, Yudi tidak hanya bergelut dengan laut, juga menjadi ujung tombak perjuangan melawan perusakan mangrove di desanya. “Saya nelayan, tapi tugas saya bukan hanya mencari ikan. Mangrove adalah bagian dari hidup saya, bagian dari masa depan kita semua,” katanya, Juli lalu pada acara Mangrove for Future di Jakarta.
Yudi adalah Ketua Komunitas Akar Bakau, organisasi yang dia dirikan bersama teman-temannya untuk melestarikan wilayah pesisir yang jadi jantung kehidupan masyarakat. Dia juga aktif di Forum Daerah Aliran Sungai (ForDAS) Belitung Timur, berjuang menjaga keseimbangan ekosistem sungai dan pesisir.
Tantangan yang Yudi dan komunitas hadapi bukanlah hal sepele. Desa Sukamandi berada di tengah wilayah yang lebih 75% penduduk bergantung pada tambang, termasuk penambangan timah ilegal.
Yudi pernah melaporkan aksi tambang timah ilegal yang merusak mangrove. “Mereka meminta saya mencabut laporan di Polres Belitung Timur,” katanya.
“Bahkan, ada yang datang menawarkan mobil dan uang. Yudi tegas menolak. “Ini bukan tentang uang, ini tentang masa depan lingkungan.”
Penolakan Yudi bukan berarti selesai. Ancaman intimidasi dan persekusi menghantui. “Mereka datang, mengintimidasi, mendatangi rumah saya. Saya tidak goyah, karena mangrove ini nyawa bagi kami yang tinggal di pesisir. Kalau bukan kita yang melindunginya, siapa lagi?”
Penambangan ilegal di wilayah ini sudah mencapai titik kritis. “Akar mangrove ditombak, disedot dengan mesin untuk mengambil timah, airnya merendam akar mangrove, dan akhirnya mangrove mati,” katanya.
Kerusakan karena penambangan ini terlihat jelas dari citra satelit, hutan-hutan mangrove yang dulu hijau kini tinggal kerangka.
Kondisi mangrove di Belitung Timur, katanya, makin parah. Selain ancaman dari tambang liar, mangrove juga berhadapan dengan masalah perkebunan sawit, pembangunan hotel, dan pemukiman yang menggerus hutan-hutan pesisir.
“Mangrove di Belitung Timur itu lagi sakit. Ini ancamannya bukan cuma tambang ilegal, juga abrasi dan pemanasan global yang menggerogoti pesisir kita,” katanya dengan nada prihatin.
Pemerintah dan masyarakat, katanya, harus bersama-sama menjaga ekosistem ini. “Saya nggak bisa jaga sendirian. Kita harus berkolaborasi—dari pemerintah, akademisi, mahasiswa, sampai masyarakat umum. Mangrove ini bukan sekadar tanaman, tapi bagian dari diri kita sebagai bangsa Indonesia,” katanya penuh harap.
Selain menjaga ekosistem, Yudi juga punya mimpi besar untuk desanya. Dia ingin kawasan pelestarian mangrove yang terbangun menjadi pusat edukasi dan wisata alam bagi generasi muda.
“Saya ingin tempat ini jadi sekolah alam, sekolah merdeka. Anak-anak bisa belajar langsung dari alam, bukan cuma di kelas. Mereka harus tahu betapa pentingnya menjaga lingkungan,” kata Yudi.
Baginya, ini bukan sekadar tanggung jawab pribadi, juga kebutuhan mendasar manusia. “Semua orang butuh oksigen, butuh udara yang sejuk, butuh perlindungan dari bencana alam. Mangrove bisa memberi semua itu.”
Pejuang mangrove Papua
Tak hanya di Belitung, dari Sorong, Papua Barat, juga ada kelompok muda yang sepenuh hati menjaga ekosistem mangrove mereka. Bagi mereka, kawasan ini lebih dari sekadar hutan bakau.
“Di tempat kami, pertama ada burung, kemudian ikan, dan semua kehidupan yang bergantung pada alam ini,” kata Loesye Fainno, perempuan penjaga mangrove dari Sorong.
Mereka menjaga wilayah ini bukan hanya karena pentingnya bagi lingkungan, juga karena nilai budaya dan spiritual yang mendalam. “Di Selat Rampir, ikan bertelur di sana sebelum keluar ke laut lepas.”
Kawasan ini adalah tempat leluhur mereka, tempat pertemuan dengan alam dan sumber makanan yang menopang kehidupan sehari-hari.
Yang membuat kawasan ini unik adalah ekosistem yang berbeda dari yang lain. Biasanya, mangrove tumbuh diikuti lamun, kemudian terumbu karang. Di sini, mangrove langsung bersebelahan dengan terumbu karang yang masih sangat sehat. Keunikan ini tidak hanya menjadi kebanggaan, juga potensi wisata yang tidak ditemukan di tempat lain.
Meski memiliki potensi wisata, komunitas ini tetap menjaga kawasan dengan prinsip keberlanjutan. “Banyak pengusaha pariwisata yang belum menjual kawasan ini sebagai paket wisata. Ini menjadikan tempat kami benar-benar eksklusif.”
Di sepanjang aliran sungai, terumbu karang tumbuh subur, menambah daya tarik kawasan ini.
Mereka juga menerapkan program adopsi mangrove. Wisatawan yang datang dapat menanam pohon dengan harga Rp50.000, tetapi banyak dari mereka yang rela membayar lebih, bahkan hingga Rp500.000 untuk satu pohon. Pohon-pohon ini dijaga dengan penuh dedikasi oleh komunitas.
Selain itu, mereka mengelola produk turunan dari mangrove, menjual bibit, dan mendukung edukasi lingkungan secara mandiri. Meskipun ada dukungan dari pemerintah, komunitas ini terus berinovasi dan bekerja keras untuk melestarikan lingkungan mereka. Mereka membuktikan bahwa pelestarian alam dan kehidupan ekonomi dapat berjalan beriringan, selama ada komitmen dan kerja sama.
Cerita Loesye Fainno, bersama kelompok perempuan di sana pun difilmkan.
“Kami tidak hanya menjaga mangrove untuk kami, tetapi untuk anak cucu kami dan untuk seluruh dunia. Hutan ini adalah sumber kehidupan, dari burung hingga ikan, bahkan terumbu karang yang sehat tumbuh di bawahnya,” kata Loesye.
Keunikan hutan mangrove yang langsung bersebelahan dengan terumbu karang menjadi kebanggaan tersendiri bagi mereka.
“Biasanya ada lamun dulu baru karang, tapi di sini, mangrove langsung bersentuhan dengan karang yang masih sangat sehat,” jelasnya.
Bagi Loesye dan komunitasnya, mangrove bukan hanya soal lingkungan, tetapi juga warisan budaya. “Di sini, kami melakukan sesembahan kepada leluhur, bertemu, dan mencari makan untuk kehidupan sehari-hari kami. Itulah mengapa kami benar-benar menjaga tempat ini.”
Melalui komitmen dan dedikasi, Loesye Fainno dan kelompoknya tidak hanya melestarikan lingkungan, juga menghidupkan kembali ekonomi lokal dengan menjual bibit mangrove, produk turunan, serta mendukung edukasi tentang pentingnya ekosistem ini. “Kami ingin semua orang tahu, bahwa hutan mangrove ini adalah masa depan kami,” katanya.
**********
Tolak Hutan Mangrove jadi Sawit, Polisi Tangkap Lagi Dua Nelayan