Was-was Deforestasi dari Sawit, Bagaimana Transisi Energi?

3 weeks ago 44
  • Tiga bulan pertama Pemerintahan Presiden Prabowo belum menunjukkan tindakan progresif untuk menyelamatkan hutan dan iklim. Malahan, diwarnai pernyataan dan program kontroversial yang berpotensi menimbulkan deforestasi, konflik, dan melemahkan transisi energi.
  • Anggi Putra Parayoga, Manager Komunikasi, Kerjasama dan Kebijakan FWI mengatakan Indonesia masih memiliki 90 juta hektar hutan alam. Meski demikian, keberlanjutan hutan itu terancam oleh ekspansi sawit dalam beberapa tahun terakhir. 
  • Roni Septian, Kepala Departemen Advokasi Kebijakan KPA mengatakan, dalam rentang 2017-2023, konflik warga dengan sawit terjadi di wilayah seluar 10 juta hektar. Dampaknya, 195.191 kepala keluarga di 533 desa menjadi korban. Konflik ini juga menyebabkan 9 orang meninggal dunia.
  • Bhima Yudhistira, Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (CELIOS), menyebut komitmen dekarbonisasi pemerintah masih jauh dari kenyataan.

Dalam tiga bulan pertama Pemerintahan Presiden Prabowo belum menunjukkan tindakan progresif menyelamatkan hutan dan iklim. Malahan, cenderung mengkhawatirkan dengan pernyataan soal ekspansi sawit maupun wacana pembukaan 20 juta hektar hutan untuk pangan dan energi yang berisiko menimbulkan deforestasi, konflik, sampai melemahkan transisi energi.

Anggi Putra Parayoga, Manager Komunikasi, Kerjasama dan Kebijakan Forest Watch Indonesia (FWI) mengatakan, Indonesia masih memiliki 90 juta hektar hutan alam. Meski demikian, keberlanjutan hutan itu terancam oleh ekspansi sawit dalam beberapa tahun terakhir. 

Sepanjang 2017-2023, deforestasi akibat sawit mencapai 330.500  hektar. Atau rata-rata 55.083 hektar tiap tahunnya.

Angka itu khawatir bertambah karena tata kelola tidak transparan. Saat ini, katanya, konsesi perkebunan sawit mencapai 20,9 juta hektar. Dari jumlah itu, 3,8 juta hektar tumpang tindih dengan konsesi lain, seperti kehutanan dan pertambangan. 

chart visualization

chart visualization

Pada 2024, FWI menemukan 795.000 hektar hak guna usaha (HGU) di dalam kawasan hutan. “Bagaimana bisa tumpang tindih? Ya karena dari sisi pemenuhan izinnya juga tidak transparan,” kata Anggi dalam diskusi di Jakarta.

Selain itu, perusahaan-perusahaan yang beroperasi di dalam kawasan hutan ini pun dapat keistimewaan pemerintah. Ada UU Cipta Kerja pasal 110 A dan 110 B, yang mendorong pemutihan sawit dalam kawasan hutan, mereka manfaatkan dengan maksimal. 

Kajian FWI dan Transparency International Indonesia, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (kini, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kementerian Kehutanan) memutihkan 1,7 juta hektar kebun sawit di kawasan hutan melalui penerbitan 1.697 izin sepanjang 2021-2023. 

Berdasarkan SK Menteri LHK tentang data dan informasi (Datin) I-XI, FWI dan TII menganalisis, 25 perusahaan terbesar yang dapat pemutihan sawit. Perusahaan-perusahaan itu disebut mengambil keuntungan dari celah UU Cipta Kerja.  

“Hampir semua perusahaan (yang dapat pemutihan) merasa (UU Cipta Kerja) angin segar. Karena selama ini beroperasi tanpa izin, atau beroperasi secara ilegal di lahan-lahan konsesi dalam SK 1-11 dari KLHK,” kata Lalu Hendri Bagus, peneliti TII, di kesempatan sama.

Dengan cukup membayar denda administrasi, aktivitas mereka kembali legal. Sementara, prosesnya berjalan tertutup, data KLHK dalam menghitung luas konsesi dan hutan yang diubah jadi kebun sawit tidak jelas, dan tidak ada kepastian verifikasi dan laporan mandiri perusahaan.

“Ribuan perusahaan dapat pemutihan sawit. Perjuangan pertahankan hutan berat.” 

Pembukaan hutan ilegal untuk sawit di Provinsi Riau. Gambar oleh Rhett A Butler/Mongabay.

Picu konflik

Selain deforestasi, wacana ekspansi sawit juga berpotensi menimbulkan konflik. Kajian Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), terjadi 111 konflik agraria di sektor perkebunan tahun 2024, terbesar selama lima tahun terakhir.

Dari jumlah itu, 67% di antaranya berhubungan dengan perusahaan sawit. Konflik berdampak pada 14.696 keluarga dan mencakup 127.281,30 hektar wilayah.

Roni Septian, Kepala Departemen Advokasi Kebijakan KPA, mengatakan, dalam rentang 2017-2023, konflik warga dengan sawit terjadi seluas 10 juta hektar. Dampaknya, 195.191 keluarga di 533 desa menjadi korban. Konflik ini juga menyebabkan 9 orang meninggal dunia.

“Semahal apa sih komoditas sawit, sampai mengakibatkan 9 orang meninggal di lokasi-lokasi konflik agraria?” katanya.

Menurut dia, salah satu pemicu konflik ini adalah penguasaan wilayah yang tidak adil. Sebanyak 2.389 perusahaan sawit bisa menguasai 17,76 juta hektar. Tetapi, 17,24 juta petani hanya memiliki 0,5 hektar lahan. 

Padahal, katanya, UU Pokok-Pokok Agraria melarang praktik monopoli. Pemerintah, katanya, harus berinisiatif menyelesaikan masalah struktural ini, dan tidak menutup mata pada praktik bisnis yang menjadikan warga korban pembangunan. Padahal, warga hanya ingin pertahankan tanahnya.

Praktik baik petani di berbagai wilayah Indonesia, lanjutnya,  harus jadi pembelajaran. Banyak petani berhasil mengelola tanah secara arif, produktif dan selaras alam. Karena itu, alih-alih memperluas lahan sawit, pemerintah seharusnya memperkuat pertanian rakyat. 

“Ketika pemerintah hendak mengekspansi bisnis sawit, (praktik baik) ini harus dipertimbangkan ulang. Konfliknya sudah tinggi, sudah banyak korban.”

kebun sawit warga yang tumpang tindih dengan perusahaan sawit hingga berkonflik sejak lama. Foto: Elviza Diana/Mongabay Indonesia

Edi Suhardi, Ketua Bidang Kampanye Positif Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI), dalam diskusi itu  merasa  perusahaan sawit sering kali dianaktirikan dalam pembangunan. Dari banyak bisnis di sektor perkebunan, katanya, industri sawit yang selalu dituduh menyebabkan deforestasi. 

“Padahal, program sekarang ada juga jagung, tebu dan lain sebagainya, kenapa sawit terus yang dipermasalahkan?”

Begitu pun dengan konflik agraria, Edi menyebut peristiwa-peristiwa kasuistik dan spesifik digeneralisir sebagai kasus industri sawit. Kemudian, masalah-masalah kecil yang ditimbulkan perusahaan sawit, muncul  berulang.

Dia bilang, perusahaan sawit pun mendukung transparansi dan keberlanjutan. Namun, kedua hal itu harus berkaitan dengan keadilan dagang. Artinya, pembeli harus memberi insentif pada perusahaan yang memproduksi sawit berkelanjutan.

Edi pun soroti  definisi hutan dan deforestasi. 

“Yang sekarang ini oportunis sekali. Pembukaan lahan di kawasan hutan meskipun itu gurun pasir sekalipun, dianggap deforestasi. Pembukaan sawit di APL (alokasi penggunaan lain)  yang non hutan tapi ada orangutan, karbon stok  tinggi, lahan gambut, itu juga deforestasi. Itu yang sangat tidak adil.”

Penetapan kawasan hutan, katanya, sebaiknya mengacu pada area yang punya nilai karbon dan konservasi tinggi. Sementara hutan produksi  sebagai kawasan budidaya. 

Namun, menurut Anggi, ketimbang mempersoalkan definisi hutan, yang seharusnya dilakukan justru fokus menjaga hutan yang ada, kemudian rehabilitasi lahan-lahan kritis. Pasalnya, pendefinisian hutan sendiri sarat kepentingan. 

Contoh, mengubah definisi hutan untuk menekan angka deforestasi, dan menjaga pasar ekonomi. “Padahal hutan tetap saja, terdiri dari tegakkan pohon yang ragam jenis dan lain sebagainya.”

Anggi pun mendesak pemerintah buka data lokasi, pemegang HGU, jenis komoditas, serta titik koordinat. Tata kelola yang transparan, katanya, membuat publik mudah mengawasi proyek-proyek pembangunan. Dengan demikian, risiko deforestasi, tindak korupsi serta konflik dengan masyarakat dapat diminimalisasi. 

surya mecan 14. Rizwan (baju biru) memperlihatkan atap panel surya PLTS komual di Pulau Mecan, Belakang Padang.Atap panel surya PLTS komual di Pulau Mecan, Belakang Padang, Kepri. Foto: Yogi Eka Sahputra/Mongabay Indonesia

Perbaiki sektor energi

Tak hanya soal perlindungan hutan, fase awal pemerintahan Prabowo juga belum menunjukkan tindakan progresif di bidang energi. Bhima Yudhistira, Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (CELIOS), menyebut komitmen dekarbonisasi pemerintah masih jauh dari kenyataan.

Salah satu faktor penting terlihat dari tidak ada niat merevisi Peraturan Presiden Nomor 112/2022 tentang Percepatan Pengembangan Energi Terbarukan untuk Penyediaan Tenaga Listrik. Di dalamnya, PLTU baru bisa dibangun dengan sejumlah ketentuan.

Konsekuensinya, PLTU bisa ada  di kawasan industri. Produksi batubara pun akan meningkat pada 2025.

Sementara Presiden Prabowo sempat menyatakan rencana penutupan PLTU batubara dalam waktu 15 tahun ke depan, kembangkan 75 GW energi terbarukan, serta mencapai 100% energi terbarukan dalam 10 tahun di KTT G20 Brasil.

“Jadi, apa yang disampaikan di forum itu jauh berbeda dengan yang dilakukan pemerintah,” ucap Bhima, dalam forum berbeda, di Jakarta.

Sisi lain, katanya, pemerintah malah rencanakan pembangunan 5 GW pembangkit listrik tenaga nuklir untuk transisi energi. Juga, lebih 21 GW pembangunan pembangkit listrik tenaga gas hingga 2045.

Sementara, proyek geothermal yang banyak lahirkan konflik di sejumlah tempat, sampai saat ini tak kunjung mendapat evaluasi. “Jadi, kita tidak melakukan transisi energi yang betul-betul dibutuhkan, tapi berbelok arah untuk dapatkan investasi-investasi baru,” katanya.

Greenpeace Indonesia memproyeksikan pesan ke bukit, sebelum KTT G20 di pantai Melasti di Bali, pada 14 November 2022. Pesan tersebut ditujukan kepada para pemimpin G20 yang berkonferensi membahas 3 pilar utama, salah satunya tentang transisi energi dan kemitraan. Diketahui, KTT G20 akan menyepakati salah satu proyek transisi energi di Indonesia, dan sebagian besar akan mempensiunkan PLTU lebih awal. Foto : Greenpeace Indonesia

Institute for Essential Services Reform (IESR) dalam kajiannya menyatakan,  pensiun dini PLTU batubara dan pengurangan subsidi energi fosil bisa jadi jalan untuk komitmen dekarbonisasi Prabowo. 

Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif IESR, mengatakan, penyetopan operasional PLTU batubara secara dini dapat diterapkan pada 105 PLTU, dengan total kapasitas 25 GW dan  penghentian pembangunan PLTU captive.

Pemerintah, katanya, harus dukung pengembangan energi terbarukan dengan mengurangi subsidi energi fosil secara bertahap. Sebab, berdasarkan data Kementerian Keuangan pada 2024, pemerintah menghabiskan anggaran Rp386,9 triliun untuk subsidi dan kompensasi energi fosil, termasuk BBM, LPG dan listrik.

“Sejauh ini, pemerintah Prabowo-Gibran belum memiliki strategi penurunan subsidi energi kotor dan mengatasi dampak harga energi.”

IESR juga mendorong pemerintah untuk kaji dampak kebijakan subsidi batubara dalam bentuk domestic market obligation (DMO)  US$70 per ton kepada PLN. Kebijakan ini, katanya, menghambat keekonomian energi terbarukan. Sebaiknya, pemerintah membuat skema pendanaan baru untuk membantu pendanaan transisi energi di Indonesia.

“(Skema pendanaan) Ini bisa dilakukan dengan memungut 2,5%-5% dari nilai batubara yang diekspor.”

Dari pungutan tersebut, IESR memperkirakan pemerintah dapat mengumpulkan lebih dari US$1,25 miliar-US$2,5 miliar per tahun. Dana ini, nantinya bisa  untuk membiayai investasi pembangkit energi terbarukan.

Koalisi organisasi non-pemerintah,Walhi Kalteng dan SOB, sedang melakukan aksi di salah satu perusahaan HTI di Kalimantan Tengah. Foto: Dok. Walhi Kalteng

Gerak cepat

Leonard Simanjuntak,Kepala Greenpeace Indonesia, mendesak pemerintah bertindak cepat jika ingin mencapai target 100% energi terbarukan dalam 10 tahun ke depan. Soalnya, hingga saat ini, bauran energi terbarukan Indonesia baru ada di angka 14% dengan, pertumbuhan sekitar 1% setiap tahun.

Menurut dia, komitmen iklim dan dekarbonisasi Presiden Prabowo di forum internasional hanya bisa terwujud dengan memperkuat konsolidasi di jajaran kementerian. Sebab, di kabinet yang terdiri dari 48 menteri, koordinasi menjadi tantangan tersendiri.

“Dalam kabinet yang sangat ‘gemuk’ seperti ini, ada kepentingan-kepentingan partai, kelompok tertentu, macam-macam. Itu yang harus diatasi oleh presiden. Pada kabinet yang ramping jauh lebih mudah,” ujar Leonard.

Belum lagi dinamika politik di Amerika Serikat membuat pendanaan transisi energi, seperti Just Energy Transition Partnership (JETP) kemungkinan tidak lanjut. Sebab, Presiden  Donald Trump  menarik diri dari Perjanjian Paris. Juga, membatalkan kebijakan-kebijakan iklim Joe Biden, Presiden AS periode sebelumnya.

Leonard mengingatkan, pemerintah Indonesia mesti bersiap diri jika AS turut membatalkan komitmen iklimnya di negara-negara berkembang. 

“Terus terang, kita tidak punya harapan besar pada JETP. Yang kemungkinan besar terjadi, AS akan mengakhiri itu. Kan, kalau di Indonesia itu (pendana) utamanya Amerika dan Jepang.”

*****

Perkebunan Tebu Jutaan Hektar, Bagaimana Nasib Hutan Papua?

Read Entire Article
Apa Kabar Berita | Local|