Warga Tolak Lahan Hijau Desa Iwul jadi Perumahan

3 weeks ago 32
  • Masyarakat Desa Iwul, di Kecamatan Parung, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, was-was kala lahan hijau yang menjadi ruang hidup dan daerah resapan air terancam jadi perumahan.
  • Sudah sejak 1990-an masyarakat Desa Iwul memanfaatkan lahan hijau sekitar 143 hektar di desa mereka untuk berkebun. Di sana tempat sumber air mereka. Seperti Inen, memanfaatkan lahan itu menanam berbagai tanaman pertanian maupun buah-buahan seperti singkong, jagung, ubi, padi darat, rambutan, sampai nangka.
  • Ketenteraman warga Desa Iwul yang mengandalkan penghidupan dari pertanian mulai terusik kala PT Kahuripan Raya (Kahuripan), ingin mengalihfungsikan lahan hijau. Kahuripan mengklaim memiliki sertifikat hak guna bangunan (HGB).
  • Pembersihan lahan mulai berjalan. Warga merasa, perubahan mulai terjadi sejak pepohonan berkurang, dari mulai alami banjir, air ribut, mata air berkurang sampai ular mulai banyak masuk ke pemukiman dan lain-lain.

Masyarakat Desa Iwul, di Kecamatan Parung, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, was-was kala lahan hijau yang menjadi kebun dan lahan pertanian serta daerah resapan air terancam jadi perumahan.

Sore itu, hujan mengiringi langkah Inen kembali ke rumah usai mengecek singkong di ladangnya.  Dia membersihkan rumput liar dan batang singkong layu.

Kalo kayak gini singkong bisa kecil,” keluh Inen, Januari lalu. Dia kesal pucuk daun singkong ada yang memetik.

Pria beruban ini mengelola lahan seluas dua hektar seorang diri. Mbah Inen, sapaan akrabnya, menanam berbagai tanaman pertanian maupun buah-buahan seperti singkong, jagung, ubi, padi darat, rambutan, sampai nangka.

Sejak 1990, Inen dan warga lain  berkebun di lahan yang secara status tanah negara, eks PT Perkebunan Nusantara (PTPN), di Desa Iwul, Kecamatan Parung, Kabupaten Bogor, Jawa Barat.

Mereka turun-temurun bertani di lahan itu.  Lahan itu sumber pangan dan penghasilan sehari-hari. Kini, petani terus bertambah sekitar 300 orang.

Inen bercerita, dulu lahan seluas 143 hektar ini merupakan perkebunan karet, kepemilikan pun berubah-ubah, mulai dari orang Belanda sampai tuan tanah asal Tiongkok.

“Bapak saya cerita, itu 1932 udah ada (perkebunan karet), zaman Belanda,” katanya. Dia sesepuh yang paham sejarah lahan hijau di Desa Iwul.

Warga Desa Iwul demo di depan Perumahan Telaga Kahuripan. Foto: Zaqi Ramdani

Kemudian, tuan tanah asal Tiongkok, menyewa lahan kepada negara. Setelah perkebunan karet angkat kaki, Inen dan warga bercocok tanam di situ. Mereka mendapat izin kepala desa untuk mengelola lahan sebagai pertanian.

Izin pengelolaan lahan itu tertuang dalam surat pernyataan yang berisi,” bahwa saya sedang menggarap sebidang tanah negara dengan tujuan baik, memelihara, menjaga dari erosi, dan memelihara kelestarian lingkungan.”

Surat itu Kepala Desa Iwul, Ali Ahmad yang menandatangani bersama sejumlah saksi di atas materai, tertanggal 21 Februari 1997. Dalam surat itu memuat batas-batasan lahan garapan masing-masing petani.

Bertahun-tahun warga menggarap lahan hijau itu dengan produktif. Matrik, misal, mengelola dua hektar lahan. Sehektar dia tanami singkong, sisanya padi darat, jagung, cabai, dan buah-buahan.

Khusus singkong, sekali panen–dalam waktu sembilan bulan–menghasilkan 40 ton. Matrik menjual hasil panen itu kepada pengepul di Jakarta, yang akan mengolah singkong menjadi tape, Rp2.000 per kilogram.

Total sekali panen Matrik mendapatkan uang Rp80 juta, belum dikurangi biaya tanam mencapai Rp15 juta per hektar. Biaya tanam itu meliputi, pupuk hingga upah pekerja yang bantu menggarap lahan Rp100.000 per hari.

Pucuk daun singkong pun ikut dia panen. Mereka mengirim daun singkong ke Jakarta untuk lalapan rumah makan Padang.

Untuk padi darat–jenis padi di lahan kering dan tidak bergantung irigasi–-warga tidak menjualnya, panen untuk konsumsi sendiri.

“Kita galakkan singkong. Kalau singkong itu nggak terlalu rumit ngurusnya. Gampang ngurusnya dan menjanjikan (hasilnya),” ujar Matrik kepada Mongabay, akhir Januari lalu.

Mbah Inen menunjukkan lahan taninya yang telah rata dan bakal jadi perumahan. Foto: Achmad Rizki Muazam/Mongabay Indonesia

Alih fungsi lahan

Ketenteraman warga Desa Iwul yang mengandalkan penghidupan dari pertanian mulai terusik kala PT Kahuripan Raya (Kahuripan), ingin mengalihfungsikan lahan hijau. Kahuripan mengklaim memiliki sertifikat hak guna bangunan (HGB).

Marim Purba, General Manager Kahuripan mengatakan, HGB di lahan 143 hektar itu terbit sejak 9 April 1996, berlaku sampai 24 September 2024, kini diperpanjang sampai Februari 2044.

“Kalau ragu tentang keabsahan HGB, bisa ditanya saja ke BPN. Kalau bukan ‘para pihak’ Kahuripan tidak wajib memberitahukan informasi mengenai status tanahnya. Kalau ‘para pihak’ atas perintah pengadilan meminta tunjukkan HGB itu perusahaan akan tunduk pada ketentuan hukum yang berlaku,” ujar Marim kepada Mongabay, awal Februari lalu.

Pada Juli 2024, perusahaan properti itu memberitahu petani bahwa lahan seluas 143 hektar akan jadi perumahan. Mereka memberi waktu petani segera mengosongkan lahan.

“Kita tuh diusir sama juga (kayak) ayam. Hush… Hush… Pergi-pergi, kayak gitu,” ujar Matrik.

Petani menolak perintah Kahuripan mengosongkan lahan. Matrik merasa, Kahuripan mengada-ngada. Mereka tak pernah mengurus lahan itu, sejak izin usaha perkebunan karet milik tuan tanah China habis.

“Turun-temurun kita di sini, dari tahun 1997 bapak saya garap, tahun 1999, saya gabung (ikut garap). Hampir 30 tahun kita merawat lahan itu,” ujar Matrik, Ketua Kelompok Tani Bina Warga.

Dia juga mempertanyakan keabsahan HGB perusahaan. Sejak konflik agraria ini mencuat, Kahuripan, tak pernah menunjukkan HGB kepada warga.

Padahal, katanya, warga sudah berulang kali meminta bukti fisik HGB. “Tiap kali kita minta gak pernah ditunjukkan,” ucap Matrik.

Meskipun warga menolak alih fungsi lahan, perusahaan tetap menurunkan alat berat meratakan perkebunan dan menebang pohon seperti sengon, waru, jambu, bambu, durian, dan kiara.

Berulang kali juga warga terlibat bentrok dengan perusahaan. Seperti pada 23 Januari 2025, perusahaan mengoperasikan alat berat (bulldozer) untuk menghabisi lahan garapan petani.

Keterangan foto: Lahan hijau Desa Iwul yang akan dialihfungsikan menjadi perumahan. Foto: Google Earth/

Orang perusahaan melakukan cut and fill meratakan permukaan tanah. Kurun waktu tiga bulan, perusahaan berhasil meratakan sekitar 30 hektar lahan dan menebang ratusan pohon. Penguasaan lahan itu akan terus berlangsung hingga 143 hektar.

Jarkasih,  tokoh masyarakat Desa Iwul, menaksir kerugian petani per orang Rp15 juta-Rp20 juta. “Itu kalau ditanami singkong per hektarnya.”

Dia khawatir alih fungsi lahan berdampak pada perekonomian warga. Menurut Jarkasih, mayoritas Desa Iwul menggantungkan hidup pada pertanian di lahan itu.

“Kalau ratusan petani ini beralih, perlu adaptasi dong. Mereka memang dasarnya petani. Sekarang dipaksa untuk alih profesi,” katanya.

Dinas Pemberdayaan Masyarakat Desa (DPMD) Kabupaten Bogor mengaku sudah menyiapkan antisipasi dampak ekonomi alih fungsi lahan hijau di Desa Iwul.

Dede Armansyah, Sekretaris DPMD  mengatakan, senantiasa mendampingi semua desa dalam menyusun program dan kegiatan, termasuk pemberdayaan masyarakat.

“Adapun program atau kegiatan di Desa Iwul yang sudah masuk dalam APBDES 2025 bisa ditanyakan langsung kepada Pemdes Iwul,” katanya.

Adhi Nugraha,  Camat Parung mengusulkan, 300 petani yang terdampak alih fungsi lahan di Desa Iwul libatkan pada program ketahanan pangan desa untuk menopang perekonomian petani.

“Saat ini,  ada program ketahanan pangan di desa. Bisa saja (mereka dilibatkan) dari ketahanan pangan desanya,” ucap Adhi, awal Februari lalu.

Program ‘ketahanan pangan’ desa ini, katanya,  ada sejak pemerintahan Joko Widodo. Ia bertujuan meningkatkan ketersediaan pangan, keterjangkauan, dan konsumsi pangan yang sehat.

Peraturan Menteri Desa dan Pembangunan Daerah Tertinggal Nomor 2/2024 tentang Petunjuk Operasional Atas Fokus Penggunaan Dana Desa 2025 mengamanatkan, alokasi dana desa 20% untuk program ketahanan pangan.

Menurut Peraturan Menteri Keuangan Nomor 108/2024 tentang Pengalokasian Dana Desa Tahun Anggaran 2025, Desa Iwul mendapatkan alokasi dana Rp1, 341 miliar.

Spanduk penolakan alih fungsi lahan di Desa Iwul. Foto: Achmad Rizki Muazam/Mongabay Indonesia

Lingkungan terancam

Alih fungsi lahan juga mengancam lingkungan dan berisiko menyebabkan bencana.

Di Desa Iwul, dampak alih fungsi lahan itu sudah mulai terasa. Menurut Jarkasih, pembabatan lahan hijau seluas 30 hektar menyebabkan sumber mata air berkurang. Semula di lahan hijau ada 12 titik mata air tanah,  kini berkurang sebagian.

Dia mengajak Mongabay melihat sumber mata air tanah yang tersisa. Kondisi aliran air sangat kecil, dan area penampungan tidak terurus, banyak lumut.

Dulu, katanya, sumber mata air mengalir deras. “Karena pohon udah pada ditebangin.”

Sebagian lagi, kata Jarkasih, sumber mata air terurug pasir untuk proyek pembangunan perumahan.

Pasokan air sumur warga pun mulai berkurang. Dulu, air sumur berlimpah, kini warga harus menggali sumur sedalam 12 meter baru menemukan mata air. Di musim kemarau pasokan air pun berkurang.

Bencana pun menghampiri warga Desa Iwul. Pada November 2024, sebagian Desa Iwul banjir. Sungai kecil mengalir di desa itu tak mampu lagi menampung debit air, area resapan air terus berkurang.

Menurut Jarkasih, sebelum pepohonan ditebang tidak pernah banjir. “Sekarang aja banjir. Bagaimana kalau jadi beton semua?”

Selain banjir, belakangan ini pemukiman warga kerap kena angin kencang. Berkurangnya pepohonan, angin langsung menerpa pemukiman yang menyebabkan atap rumah rusak.

“Kalau dulu angin itu biasa mampir dulu di pohon-pohonan. Nggak langsung masuk ke kampung.”

Seorang petani menunjukkan sumber mata air tanah yang tersisa di lahan hijau Desa Iwul. Foto: Achmad Rizki Muazam/Mongabay Indonesia

Akhir-akhir ini, warga sering menemukan ular di pemukiman. Misal, sudah tiga kali ular sanca, piton, dan kobra masuk ke pesantren asuhan Jarkasih. Padahal,  ular-ular itu tak pernah ada di pesantren maupun pemukiman warga.

Jarkasih menduga, ular-ular itu muncul karena habitat satwa liar hilang dampak sebagian pepohonan terbabat..

Ketika Mongabay mengkonfirmasi kekhawatiran warga, Marim mengklaim tidak ada bukti signifikan terjadi kerusakan lingkungan.

Dia mengatakan, telah melakukan uji atas kualitas air dan udara, yang hasilnya lingkungan aman. Marim pun menegaskan, Kahuripan telah mengantongi izin dampak lingkungan.

“Kalau terjadi dampak lingkungan, masyarakat melalui Kades silakan laporkan saja ke pemerintah kabupaten cq, Dinas Lingkungan.”

Jarkasih bersama warga berkomitmen mempertahankan lahan hijau apapun yang terjadi, “Kita bertahan (melindungi lahan hijau). Tempur di sini bahasanya.”

Rahmat, Ketua Rukun Warga (RW) juga ingin lahan itu tetap hijau, tak beralih jadi perumahan. Dia khawatir,  perumahan mengganggu area resapan air dan mengikis pasokan sumber air di Desa Iwul.

“Masyarakat pengen ini jadi lahan hijau. Bila dibangun perumahan otomatis berdampingan dengan perkampungan. Takutnya (warga) kehabisan cadangan air. Sebab, (warga) mayoritas masih memakai air tanah,” katanya.

******* 

Menjaga Hutan Adat Teringkang

Read Entire Article
Apa Kabar Berita | Local|