- Perubahan iklim semakin nyata dengan dampak yang luas, mulai dari kenaikan permukaan laut hingga kepunahan satwa liar. Tanpa pengurangan emisi karbon, dunia akan menghadapi konsekuensi lingkungan yang semakin parah pada 2050 dan 2100.
- Sebagai negara kepulauan, Indonesia berada di antara wilayah yang paling rentan terhadap kenaikan air laut. Studi terbaru menunjukkan bahwa jutaan orang bisa kehilangan tempat tinggal akibat banjir tahunan yang semakin meluas.
- Mencairnya es di Arktik memperpendek musim berburu beruang kutub, mengancam kelangsungan hidup mereka. Jika emisi gas rumah kaca tidak dikendalikan, populasi beruang kutub bisa punah sebelum akhir abad ini.
- Dengan peningkatan suhu global yang terus berlanjut, negara-negara perlu segera beralih ke ekonomi rendah karbon. Langkah mitigasi yang tepat dapat memperlambat dampak perubahan iklim dan menyelamatkan ekosistem dunia.
Masih ada waktu 75 tahun lagi menuju 2100 atau 50 tahun lagi menuju 2050 untuk menekan laju peningkatan emisi karbon dioksida global. Jika tidak, sebuah studi menyatakan permukaan air laut kemungkinan besar akan meningkat antara 0,5-1,9 meter pada 2100. Tak hanya itu, ada peningkatan risiko banjir yang dahsyat di Indonesia bahkan punahnya beruang kutub di Arktik.
Tim peneliti interdisipliner dari Nanyang Technological University (NTU), Singapura dan Universitas Teknologi Delft (TU Delft), Belanda meneliti permukaan laut akan naik antara 0,5-1,9 meter pada 2100. Perhitungan ini lebih tinggi dari proyeksi IPCC yang hanya sebesar 0,6-1 meter. Studi terbaru ini mengancam beberapa aspek khususnya bagi Indonesia sebagai negara kepulauan.
Studi ini mengembangkan metode proyeksi baru yang disebut pendekatan “fusion”. Yakni, menggabungkan keunggulan dari berbagai model yang ada dengan penilaian dari para ahli, sehingga menghasilkan gambaran yang lebih jelas dan lebih dapat diandalkan mengenai proyeksi kenaikan permukaan laut di masa depan.
“Dengan menggabungkan berbagai pendekatan ke dalam satu model fusion, kita dapat memperkirakan ketidakpastian dan mengkuantifikasi kisaran very likely dari kenaikan permukaan laut di masa depan,” ujar Benjamin Grandey, penulis utama studi ini.
Tim peneliti percaya bahwa metode baru mereka mampu mengisi ketimpangan dalam menyediakan informasi yang lebih andal, sekaligus melengkapi laporan terbaru IPCC.

Baca juga: Banjir Pesisir di Semarang Meningkat
Dampak risiko banjir pesisir meningkat lima kali lipat
Studi sebelumnya, dari Climate Central dengan judul Rising Seas Stretch Risk Zones menyebutkan adanya perluasan risiko banjir pesisir tahunan, salah satunya Indonesia. Tanpa adanya pertahanan pesisir, ditingkatkan atau baru, populasi akan menghadapi banjir rutin atau bahkan tenggelam dalam 30 tahun ke depan.
Para peneliti menggunakan CoastalDEM—model elevasi digital baru yang dikembangkan oleh Climate Central yang mampu melakukan penilaian risiko banjir pesisir. Laporan ini berdasarkan skenario emisi menengah hingga tinggi dari IPCC terbaru dan diterapkan pada data kependudukan.
Berdasarkan data elevasi yang lebih akurat, penelitian menemukan meski terjadi pengurangan emisi gas rumah kaca secara moderat, 6 wilayah di Asia menghadapi ancaman peningkatan banjir pesisir. Yakni, Tiongkok, Bangladesh, India, Vietnam, Indonesia dan Thailand.
Indonesia menduduki peringkat kelima dengan risiko banjir pesisir tahunan akan meluas ke daratan dan berdampak bagi 23 juta orang, angka ini meningkat hampir 5 kali lipat dari perhitungan data elevasi sebelumnya.
Peter Girard, Direktur Komunikasi Digital dan Media Climate Central mengatakan perubahan iklim masif membuat suhu global mengalami kenaikan, membuat gletser dan lapisan es mencair, sehingga menyebabkan terjadinya kenaikan permukaan air laut.
“Ini berdampak hilangnya dataran tinggi di sepanjang pantai dunia. Ketika air laut naik, daratan yang dulunya aman berada di atas garis pasang surut kini berada di bawah tingkat risiko banjir tahunan, membuat warga menghadapi ancaman yang semakin besar,” ujarnya.

Pulau kecil di 6 negara Asia akan tenggelam
Pada 2100, studi ini juga menyatakan jika laju emisi yang kian tak terkendali, maka beberapa pulau yang ada di 6 negara tersebut bisa tenggelam. Totalnya ada 250 juta orang yang terdampak karena berada di bawah garis pasang tertinggi. Angka ini meningkat lima kali lipat dari perkiraan berdasarkan data elevasi sebelumnya.
“Saat garis pasang naik lebih tinggi dari tempat tinggal manusia, negara-negara akan semakin sering menghadapi pertanyaan tentang apakah, seberapa besar dan berapa lama pertahanan pertahanan pesisir dapat melindungi mereka,” ujarnya.
Adapun dampak ini akan terjadi pada 27 juta jiwa yang terdampak di Indonesia jika emisi tak juga terkendali pada 2010. Sedangkan, China menempati urutan pertama mencapai 87 juta jiwa, diikuti Bangladesh, India, Vietnam, Indonesia dan Thailand.
Penelitian Climate Central ini sebetulnya sudah terjadi dengan beberapa wilayah. Seperti, adanya pembangunan infrastruktur tanggul, tembok laut, dan pertahanan pesisir lainnya—diperkirakan ada 110 juta orang tinggal di daratan yang berada di bawah garis pasang tertinggi.
Sayangnya, studi ini tidak memperhitungkan dampak pertahanan saat ini atau potensi pertahanan di masa depan karena keterbatasan data.
Sementara itu, gelombang panas, kekeringan, kebakaran, banjir dan badai yang dahsyat. Dampaknya pada sektor pertanian, perikanan, infrastruktur, pariwisata dan sektor lainnya yang berdampak pada perekonomian. Tanpa upaya serius, Indonesia akan kehilangan 4,4% dari PDB-nya pada 2050 dan kerugiannya meningkat hingga 13,27% pada 2100.
Namun, jika Indonesia mau menekan laju emisi dengan meningkatkan perekonomian rendah karbon, Indonesia dapat menekan kerugian hingga 2% pada 2050.

Baca juga: Tanah Amblas hingga Banjir Rob Meningkat di Pulau Jawa
Kepunahan beruang kutub pada 2100
Studi yang rilis pada Nature Climate Change pada 2020 menyebutkan beruang kutub akan punah pada 2100 jika laju emisi gas rumah kaca masih pada skenario tanpa upaya pengurangan emisi. Penelitian ini meneliti 13 dari 19 subpopulasi di dunia, mewakili 80% dari total populasi secara global.
Tak hanya itu, beruang kutub akan mengalami kegagalan reproduksi pada 2080 di sebagian besar wilayah Alaska dan Rusia dan 2040 di bagian selatan Teluk Hudson dan Selat Davis, Kanada. Sehingga pada 2100, kegagalan reproduksi tidak dapat dihindari.
Penelitian ini menggunakan energi masa tubuh mereka untuk menentukan ambang batas jumlah hari tanpa makanan sebelum tingkat kelangsungan hidup dewasa dan anak menurun. Selanjutnya, studi ini mengkombinasikannya dengan jumlah hari di masa depan yang diproyeksikan tanpa es laut.
Peter Molnár, ahli biologi dan penulis utama studi ini menyebutkan jika emisi gas rumah kaca dikurangi, beberapa subpopulasi akan tetap punah pada akhir abad ini. “Namun, dengan pengurangan emisi, kita masih bisa mempertahankan lebih banyak populasi hingga akhir abad ini, meski tingkat produksi berkurang dibandingkan dengan skenario tanpa upaya mitigasi.”

Kelompok Spesialis Beruang Kutub IUCN memperkirakan populasi beruang kutub dunia kini kurang dari 26.000 ekor, yang terbagi ke dalam 19 subpopulasi yang tersebar di wilayah seperti Svalbard (Norwegia), Kanada, dan Alaska. Beruang kutub sangat bergantung pada es laut untuk berburu makanan. Namun, dengan mencairnya es akibat pemanasan global, mereka semakin sulit mendapatkan mangsa dan lebih rentan terhadap kelaparan.
Beruang kutub mengandalkan cadangan energi saat musim berburu di musim dingin untuk bertahan pada bulan-bulan musim panas. Pada musim panas, beruang kutub harus berada di darat atau di atas es yang tidak banyak mangsa. Meski memiliki kemampuan alami untuk berpuasa dalam waktu lama, kondisi tubuh, kapasitas reproduksi, dan tingkat kelangsungan hidup mereka menurun jika mengalami kelaparan terlalu lama.
Para peneliti dari University of Toronto, Scarborough, Kanada, mempelajari sekelompok beruang kutub di Teluk Hudson, Kanada yang kekurangan makanan akibat musim berburu yang lebih pendek karena es semakin menipis. Sejak 1979-2021, populasi beruang kutub di wilayah ini menurun hampir 50%.
“Model ini memberikan mekanisme yang menunjukkan apa yang terjadi ketika es berkurang, waktu berburu berkurang, dan energi secara keseluruhan berkurang,” ujar Molnár.

Ibu dan anak beruang paling rentan
Louise Archer, seorang postdoktoral dari U of T Scarborough dan penulis utama studi ini mengatakan periode waktu berburu yang lebih pendek menyebabkan ibu beruang memproduksi lebih sedikit susu, yang membahayakan kelangsungan hidup anak beruang. Sehingga anak beruang memiliki tingkat kelangsungan hidup lebih rendah selama musim kemarau atau puasa jika si ibu gagal menambah berat badan.
Data menyebutkan ukuran litter anak beruang menurun 11% dibandingkan hampir 40 tahun yang lalu. Ibu beruang juga melahirkan lebih sedikit anak dan cenderung mempertahankan anak-anaknya lebih lama karena belum cukup kuat untuk hidup mandiri.
“Ini sangat sederhana, kelangsungan hidup anak beruang secara langsung mempengaruhi kelangsungan hidup populasi,” kata Archer.
Populasi di wilayah ini, kata Molnár, menjadi indikator bagi populasi beruang kutub secara global. Ini karena Kutub Utara memanas dengan kecepatan 4x lebih cepat dari rata-rata global. Peneliti memperingatkan kemungkinan penurunan serupa pada populasi beruang kutub di wilayah lain.
(****)
Bencana Jabodetabek, Tanda Lingkungan Rusak dan Krisis Iklim