- Menangkap tuna menjadi mata pencaharian utama nelayan kecil di Kabupaten Pulau Morotai, Maluku Utara. Dari pekerjaan ini, mereka dapat mencukupi kebutuhan hidup, seperti pendidikan, hingga membangun rumah.
- Data Pemkab setempat menunjukkan, tuna, cakalang dan tongkol (TCT) menjadi kontributor utama penangkapan ikan dalam kurun 2017-2021, mengalahkan kelompok ikan pelagis dan demersal lainnya. Tren hasil tangkapan juga terus meningkat.
- Banyaknya kapal penangkap tuna skala industri di zona perairan tradisional menyebabkan nelayan kecil semakin terhimpit. Para nelayan kecil ini bahkan harus melaut hingga radius 60 mil karena kalah bersaing dengan kapal-kapal besar.
- Nelayan juga mempersolkan kebijakan Pemkab Morotai yang melarang nelayan membeli BBM langusng ke Stasiun Pengisian Bahan Bakar Nelayan (SPBN), melainkan harus melalaui pemasok. Kebijakan itu dinilai memberatkan karena memperpanjang rantai pasok dan menyebabkan harga BBM lebih mahal.
Fandi Hole, menepikan perahunya di Pantai Desa Momojiu, Kabupaten Pulau Morotai, Maluku Utara (Malut) akhir Desember 2024 lalu. Ibu dan keponakannya yang sedari tadi menunggu di pinggir pantai membantu menurunkan hasil tangkapan.
Ada beberapa jenis ikan Fandi yang diperoleh, dari seharin melaut dengan perahu berukuran 1,5 gross tonnage (GT) itu. Ada lima tuna , salmon (suru), dan cakalang, yang menjadi tangkapan utama nelayan.
Kalau spek sesuai, tuna-tuna itu biasa diambil langsung oleh pemasok untuk ekspor. Tetapi, tidak hari itu. Tuna-tuna hasil tangkapan Fandi terlalu kecil karena bobot tak lebih dari 20 kilogram. Dia pun terpaksa menjual di pasar desa yang lokasinya tak jauh dari pantai. “Ukurannya terlalu kecil. Kalau tidak laku ya nanti disimpan di cool box ,” kata Fandi.
Nirwan, nelayan lain yang juga baru tiba lebih parah lagi. Selama hampir 15 jam melaut, tak satu pun tuna dia dapat. “Cuma dapat ikan suru sama cakalang,” katanya. Karena hari sudah menjelang petang, dia pun memutuskan untuk menjual ikan-ikan itu di pasar desa esok hari.
Bagi Fandi maupun Nirwan, akhir tahun bukan menjadi musim terbaik untuk menangkap tuna. Momentum itu bias terjadi di awal tahun hingga Mei. “Jadi, musim banjir ikan itu biasanya mulai awal tahun hingga Mei, setelah itu ya berkurang.”
Saat musim tuna tiba, Fandi dan nelayan lain bisa mendapat hingga 50 kilogram tuna sekali melaut. Jumlah yang lumayan besar untuk nelayan tradisional sepertinya.
Rata-rata, di Momojiu adalah nelayan tradisional dengan armada berukuran 1,5 GT. Aktivitas melaut biasa mereka lakukan dari pukul 03.00- 17.00. Pancing ulur (handline) mereka pakai sebagai alat tangkap utamanya.
Tuna memang menjadi komoditas utama hasil tangkapan ikan di Morotai bersama cakalang dan tongkol (TCT). Data Pemkab setempat menunjukkan, tren produksi TCT terus meningkat pada kurun 2017-2021, mengalahkan komoditas lain, termasuk kelompok ikan pelagis maupun demersal (selengkapnya lihat grafis) .
Hidup dari laut
Kehidupan nelayan tuna di Morotai terbilang makmur. Dari menangkap ikan tuna, mereka hanya mampu mencukupi kebutuhan sehari-hari. Tetapi, juga membangun rumah, hingga menyekolahkan anak. Saat hasil tangkapan banyak, pendapatan dari melaut bisa mencapai Rp1-Rp2 juta sehari.
Fandi, memperoleh penghasilan Rp500.000 dari penjualan lima tuna dan beberapa jenis ikan lainnya. Itu pun sudah mengurangi ongkos beli 50 liter BBM. Pasar ikan desa yang tidak jauh dari tempatnya tinggal mengurangi biaya operasional ketika menjual hasil tangkapannya. “Lumayan, bisa menutupi kredit di bank saat beli alat tangkap,” katanya.
Pengakuan sama datang dari nelayan dari beberapa desa lain, seperti Mandiri, Daeo, Sangowo dan Bere-bere. Berbagai kebutuhan, mulai dari kesehatan, pendidikan hingga kebutuhan hidup lainnya bisa mereka penuhi dengan bekerja sebagai nelayan tuna. “ Mangail tuna ini ya cukup lumayan hasilnya. Pas ikan bagus, satu hari bisa dapat Rp2 juta,” ujar Nirwan, nelayan lainnya.
Abdul Rahman Latif, nelayan asal Desa Bere-bere, Morotai Utara mengungkapkan hal serupa. Menurutnya, tuna sudah menjadi sumber mata pencaharian warga. Sepekan sebelumnya, ia mendapatkan hasil tangkapan yang lumayan banyak, mencapai 80 kilogram.
Rahman adalah nelayan tuna yang pernah mengalami pengalaman pahit bersama kakaknya, Buhari Mandea. Keduanya hilang arah dan terbawa arus gelombang hingga terdampar di wilayah Filipina. Hampir sebulan lamanya mereka terombang-ambing gelombang sebelum akhirnya menyelamatkan nelayan setempat, Agustus 2022.
Kendati alami pengalaman pahit, Rahman tak kapok. Baginya, tuna memberi penghidupan. Dia bahkan bisa membeli perahu berikut mesin dan alat tangkap dari pekerjaan ini. “Saya terus melaut karena ini menjadi mata pencaharian.”
Sadar tuna telah menghidupinya, menjaga kelestarian laut sangatlah penting. Dia pun menyetujui bila penangkapan tuna harus dengan cara ramah dan berkelanjutan. Misal, tidak menggunakan rumpon atau jaring, hanya pancing ulur (handline) .
Kelebihan dari penggunaan pancing, kata Rahman, tuna langsung jadi target. Berbeda dengan alat tangkap lain, seperti rumpon, pukat cincin atau lain-lain. Tidak hanya tuna kecil (babytuna), ikan-ikan spesies lain juga berpotensi terkena terjaring.
Masalahnya, saat nelayan kecil seperti dia memilih pakai pancing, justru sebaliknya dilakukan kapal pencari tuna berukuran besar (skala industriu, di atas 30 GT). Selain menggunakan rumpon, mereka juga sering memasangnya di zona nelayan tradisional (di bawah 10 mil). Akibatnya, nelayan-nelayan kecil harus melaut lebih jauh, bahkan hingga radius 60 mil.
Bukan saja jarak tangkapan yang lebih jauh, tuna-tuna tangkapannya juga kini lebih kecil. Rata-rata hanya 20-30 kilogram per ekor. “Kalau dulu bisa sampai 50 kilogram. Kalau sekarang sudah jarang. Mungkin ya karena banyak yang pakai rumpon, jadi tuna yang kecil-kecil juga kena.” Rahman mengaku, dalam sebulan, ia bisa mendapat 500-1 ton, saat musim tuna.
Para nelayan sejatinya tidak mempersoalkan jarak tangkapan yang kian jauh. Sebab, biasanya ikan yang didapat lebih besar. Masalahnya, ada pada stok BBM dan stok es batu yang terbatas. Rahman bilang, sekali melaut, nelayan biasanya memerlukan 3-4 balok. Sedangkan BBM, bisa sampai 125 liter.
BBM itu hanya bisa mereka dapatkan dari pemasok yang pada akhirnya menciptakan kemandirian bagi nelayan. Terlebih lagi, karena bergantungnya nelayan pada pasokan bahan bakar minyak (BBM) dari pemasok ini, mereka tak bisa menjual tuna hasil tangkapan ke pihak lain. “Tidak bisa dijual ke luar, tapi harus diserahkan ke pemasok ini, karena mereka yang kasih BBM-nya,” ujar nelayan lain.

Atas izin KKP?
Para nelayan di Desa Momojiu, Daeo, Sangowo, dan Bere bere dikenal sebagai sentra penghasil tuna mengatakan, kapal tuna skala industri di zona tangkapan tradisional itu masif. Mereka pakai alat tangkap lebih canggih dan daya jelajah tinggi. Situasi itu jelas membuat nelayan kecil tak bisa bersaing. Eksistensinya pun kian terhimpit.
“Kehadiran kapal-kapal besar sampai di bawah 10 mil itu benar-benar mengancam kami. Sampai sekarang belum ada solusinya,” kata Rahman, nelayan asal Desa Bere-bere.
Kapal-kapal besar itu, kemungkinan besar berasal dari wilayah Bitung, Sulawesi Utara (Sulut).
Sejak kehadiran kapal-kapal itu, para nelayan kecil kian sulit mendapatkan ikan. Mereka bahkan harus mengejar gerombolan ikan sampai di atas 40-60 mil laut. Padahal dulu, paling jauh 20 mil, sudah bisa pulang dengan membawa banyak tangkapan. Saat ini, situasi itu tidak terjadi lagi.
Fandi, nelayan Momojiu mengatakan, para nelayan sudah berulang kali melaporkan masalah ini kepada pemerintah setempat, tetapi, belum ada hasil. “Kami sudah adukan, tapi sikap pemerintah tidak jelas. Mereka malah beralasan kalau kapal-kapal ini juga mendapat izin dari Kementerian KKP. Aneh sekali,” katanya.
Informasi yang Fandi peroleh, keluhan serupa juga datang dari para nelayan kecil di tempat lain, seperti Morotai Timur. Mereka terganggu dengan kehadiran kapal-kapal skala industri ini. Mereka juga tidak bisa berbuat banyak.
Joppy Jutan, Kepala Dinas Perikanan Morotai, saat Mongabay konfirmasi mengakui, keberadaan kapal ikan skala industri masuk ke wilayah tangkapan nelayan kecil. Dia pun tak bisa berbuat apa-apa. “Karena mereka juga punya izin beroperasi sampai di wilayah nelayan kecil. Dan izin kapal di atas 30 GT itu bisa ada di KKP. Itu yang menyulitkan kita,” katanya. Dia pun meminta, agar persoalan ini disampaikan ke KKP.
Suharta, Sekretaris Dirjen PSDKP yang ditemui terpisah mengaku, belum mengetahui permasalahan itu. Namun, jika informasi benar terjadi, jelas itu sebagai pelanggaran. “Jika benar demikian berarti itu masalah.” Setelah menghadiri Rapat Koordinasi Pengawasan Sumberdaya Kelautan dan Perikanan Maluku Utara di Ternate.
Dia memastikan, untuk menyampaikan keluhan dengan melakukan kroscek lapangan. “Seharusnya, karena kapal besar biasanya dipasang transmitter, jadi bisa terpantau oleh PSDKP. Nanti akan ditindaklanjuti.”

Praktik rente
Kehadiran kapal-kapal tuna skala industri bukanlah satu-satunya permasalahan nelayan kecil di Morotai. Mereka juga berhadapan dengan aturan soal larangan untuk membeli langsung BBM di Stasiun Pengisian Bahan Bakar untuk Nelayan (SPBN). Mereka harus melalui orang ketiga (agen) .
Munajib Pawane, Kepala Desa Daeo, mempersoalkan larangan itu. Meski tinggal dekat dengan lokasi SPBN, nelayan tetap saja tak bisa membeli langsung. “Ini menyusahkan nelayan. Padahal jika membeli langsung, nelayan bisa mendapatkan harga lebih murah.”
Sebagai perbandingan, di SPBN, harga BBM jenis pertalite Rp10.000 perliter. Pemasok itu jual Rp12.000 perliter. Bila untuk melaut nelayan butuh 50 liter, berarti harus mengeluarkan Rp100.000 kepada pemasok. Dengan kata lain, pemasok bisa mendapat Rp2 juta dari setiap ton BBM yang mereka jual kepada nelayan.
Menurut Munajib, kebijakan itu sebenarnya sudah lama menjadi keluhan para nelayan tetapi pemerintah bergeming dan membiarkan praktik terus berlangsung sampai sekarang. “Kebijakan seperti ini seharusnya dihapus karena tidak masuk akal dan juga merugikan nelayan kecil.”
Sabiin, Ketua Koperasi Tunas Pasifik Desa Sengowo sepakat dengan penghapusan larangan pembelian BBM langsung ke SPBN itu. Menurut dia, kehadiran pemasok itu menambah panjang rantai pasokan BBM ke nelayan yang membengkak. “Itu lebih baik (jika dihapus). Karena nelayan juga bisa merasakan langsung subsidi itu.”
Mayrudin Maende, Ketua Koperasi Produsen Lintas Maluku Utara mendukung pernyataan koleganya itu. Gara-gara larangan membeli langsung BBM ke SPBM itu, para nelayan harus mendapatkan BBM hingga Rp18.000.
Joppy Jutan, Kepala Dinas Perikanan Pulau Morotai membantah adanya keluhan nelayan perihal skema pembelian BBM itu. Kendati di pemasok lebih mahal dibandingkan di SPBN, harga BBM masih bisa terjangkau nelayan. Apalagi katanya, ketika harga ikan sedang tinggi-tingginya. “Nelayan tidak masalah, tidak ada mendengar soal keluhan itu. Nelayan itu, biar pun mahal yang penting barangnya ada,” katanya.
Dia pun menjelaskan ada kabar kelangkaan BBM di kalangan nelayan. Dia harus memastikan dulu jenis BBM yang digunakan nelayan. Kalau pakai Pertalite atau Pertamax, stoknya tetap ada. Kalau pakai minyak tanah, dia tidak menampik ada kelangkaan.
Hal utama yang sempat menjadi keluhan nelayan, katanya, tempat penyimpanan. Sebab, tidak semua hasil tangkapan nelayan langsung terjual ketika turun. Belum lagi, stok es batu juga terbatas. Namun demikian, persoalan itu juga sudah teratasi.
Joppy bilang, saat ini sudah ada cold storage berkapasitas 1000 ton baru di Morotai. “Kalau ini memang mendesak, karena berkaitan dengan kualitas produk. Jika tidak ada tempat penyimpanan, kualitas ikan juga akan turun. Sekarang sudah tersedia.”
Begitu juga dengan stok es batu. Saat ini, katanya, ada beberapa pabrik batu yang siap memenuhi kebutuhan nelayan.
*****