Sumber Pangan Hilang saat Tambang Nikel Sesaki Pulau Gebe

3 weeks ago 46
  • Tanah ulayat kampung Umera tersesak tiga IUP tambang nikel. Konsesi terhampar di kebun pala, kelapa, cengkih dan merusak sumber-sumber pangan warga. 
  • Selain sumber pangan, kehadiran tambang juga mengancam eksistensi tempat keramat adat setempat. Para tetua ada terpaksa memindahkan keramat dari konsesi nikel agar perusahan bebas beroperasi.
  • Temuan di lapangan yang terkonfirmasi laporan sejumlah media, hasil tambang nikel dari Pulau Gebe mengalir ke IWIP, sebuah kawasan industri pengolahan nikel di Halmahera Tengah yang juga sarat kontroversi.
  • Analisa Forest Watch Indonesia (FWI) sebut, tutupan hutan di Pulau Gebe susut 62,61 hektar dalam kurun 2022-2023 akibat tambang nikel. Selain Gebe, beberapa pulau yang turut dikeruk di antaranya Pulau Fau, Pulau Gee,  Pulau Pakal, Pulau Mabuli dan Pulau Malamala.  

Hutan gundul. Eksavator berkelir kuning mengeruk dan menumpuk ore nikel dari tanah lapang yang menjorok ke laut pada sisi kanan  bukit di Kampung Umera, Kecamatan Pulau Gebe, Kabupaten Halmahera Tengah, Maluku Utara (Malut),  Desember lalu. Sekop alat berat itu  mengangkat dan mengisikan gundukan material ke atas bak truk. Luapan abu pun menyebar saat truk melaju menuju pelabuhan tongkang di Teluk Inalo, tepat di sebelah bukit.

Di belakang kampung, hutan perbukitan juga terbabat habis,  menyisakan beberapa pohon. “Itu tambang nikel PT Bartra Putra Mulia (BPM),” kata Abdul Manan Magtiblo, Kepala Kampung Umera kepada Mongabay. Dia menunjuk ke arah perbukitan.

Perusahaan mulai beroperasi pada 2020. Sejak saat itu, kata Manan, warga mulai merasakan dampaknya. Sumber-sumber air yang ada di bawah bukit, sekitar tiga  kilometer dari kampung, banyak yang hilang. 

Begitu pula tempat keramat (sakral). Menurut Manan, para tetua adat terpaksa memindahkan ke luar konsesi melalui rangkaian ritual adat. “Perusahaan meminta keramat dipindahkan.” 

Izin usaha pertambangan (IUP) BPM  eks Bupati Halmahera Tengah dua periode, Al Yasin Ali keluarkan pada 2013 dengan luas  1.850 hektar, berakhir pada 2033. 

Warga tak pernah tahu bagaimana izin itu terbit. Padahal, lokasi izin  adalah hutan ulayat masyarakat di sana. Selama ini, kawasan itu menjadi tempat warga bergantung hidup dengan berkebun dan memanfaatkan hasil hutan.

Mengacu penelitian Helza Nova Lita dan Fatmie Utarie Nasution (2021), prinsip hak ulayat bersifat komunal. Hak ini ini diatur pada Pasal 18B ayat (2) UUD 1945 dan Pasal 3 UU  Pokok Agraria (UUPA). 

Sahud Hi Robo Magtublo,  warga Gebe mengatakan, pengelolaan tanah secara komunal masih warga Kampung Umera terapkan hingga kini. Mereka menyebut sebagai tanah waris marga yang bisa mereka pakai bersama. 

“Sesama warga kampung bisa saling memanfaatkan tanah dan mengambil tanaman di kebun. Yang penting kasih tahu saja,” katanya.

Petak tanah Sahud terletak di Hutan Sumpap.  Dengan mengendarai pikap, pria 70 tahun ini mengajak Mongabay berkeliling ke kebun melalui jalan setapak. Deretan pohon kelapa, kakao, cengkih dan pala berjejer hingga ke rumpun sagu. 

Melalui Avenza Maps— aplikasi pemetaan— terungkap bila sebagian kebun Sahud dan tanah adat masuk dalam konsesi  BPM. Sahud tak  tahu itu.

 Sejak tambang nikel beroperasi, sedimen lumpur kian menjadi hingga merendam kebun sagu milik warga. 

Material lumpur, katanya, berasal dari lokasi tambang di atas bukit. ”Hampir semua rumpun sagu waris marga di Kampung Umera ini sudah rusak,” katanya. Di kebun sagu waris Marga Magtublo di Hol dan Kayai, misal, sekitar 9 hektar sudah rusak.

Ramalam Abubakar Magpo, ceritakan hal yang sama.  Dia  bahkan tak lagi bisa ambil sagu di hutan Wagob karena tanah waris Marga Magpo sudah terendam sedimen bersama tanah waris milik marga  lain. 

Kondisi itu sudah terjadi berulang kali sejak 2021. ”Kitong, tidak bisa ambil sagunya untuk diolah.”

Tak hanya hutan-hutan sagu warga, kerusakan dampak tambang ini juga meluas hingga ke Telu Inalo yang membuat laut berubah warna. 

Cerita Sahud, sebelum beroperasi, perusahaan sempat bertemu warga dan mengukur batas tanah masing-masing marga. Perusahan juga menjanjikan ganti rugi bila kebun terdampak.  

“Nanti kitong (kita) lapor ke tim. Nanti tinggal tunjuk saja, akan dibayar atau bagaimana, tergantung permintaan pemilik,” katanya mengingat janji perusahaan.  Janji itu tak pernah terwujud. “Sampai sekarang belum dibayar.”

Di Malut, praktik ini jamak terjadi. Dalam penelitian Husen Alting berjudul Konflik Penguasaan Tanah di Maluku Utara: Rakyat Versus Penguasa Dan Pengusaha (2013)  menyebut, perusahaan dan pemerintah kerap menempuh mekanisme litigasi demi ketersedian bukti. Sementara masyarakat memilih jalur non litigasi yang pembuktiannya melalui hukum adat bukan sertifikat. 

Mongabay berusaha meminta konfirmasi atas persoalan ini kepada perusahaan. Surat permintaan wawancara yang Mongabay kirim melalui humas BPM, Jalaludin Ramalan, awal Februari, belum berbalas hingga berita ini rilis. 

Perkebunan kelapa milik warga di Pulau Gebe yang masuk dalam peta konsesi tambang. Foto: M. Jaya Barends.

Bagi masyarakat Kampung Umeru, sagu tak sekadar penopang ekonomi juga  satu ‘menu’  wajib dalam ritual jelang pernikahan. Ramalan Abubakar Magpo sebut, ketika lelaki meminang kekasih,  wajib membawa tiga hingga empat tumang—kemasan pelepah daun rumbia—berisi perasan pati sagu. Keberadaan tambang nikel, membuat warga was-was kehilangan hutan-hutan sagu yang jadi sumber penghidupan dan budaya mereka. Apalagi, tak hanya satu perusahaan yang mengambil ore nikel di pulau itu. 

Abubakar, warga Gebe,  risau memikirkan nasib rumpun sagu waris Marga Magpo dan Magimai seluas 30 hektar di Teluk Smingit, yang rusak terendam lumpur. Lokasi yang berbatasan dengan Kampung Sanafi Kacepo, ini terdampak tambang PT Anugerah Sukses Mining (ASM) yang menguasai 504 hektar.   

Tahun 2021, perusahaan mengeruk nikel hingga menyebabkan sekujur batang sagu tak bisa lagi tterpakai karena terendam sedimen lumpur. Belakangan, perusahaan setop operasi setelah menggunduli hutan.   

Dulu, sebelum kerusakan itu terjadi, ibu-ibu di Umera memanfaatkan daun sagu untuk membuat anyaman. Kini, runitias itu sulit dijumpai. 

“Di sana [ASM] paling buruk, kita Marga Magpo tidak dilibatkan sejak awal, hak kita (di Smingit) diabaikan begitu saja,” katanya.

Mongabay berupaya menanyakan masalah  kerusakan  ini ke perusahaan, ASM enggan membalas surat permintaan konfirmasi yang Mongabay kirim, awal Februari 2025.    

Kerusakan lingkungan di Kampung Umera adalah potret kecil yang terjadi di Pulau Gebe. Masuknya industri ekstraktif dalam beberapa dekade silam  mengubah wajah dan mencabik hak ulayat masyarakat. 

Mimin Dwi Hartono, Analisis Kebijakan Madya Komnas HAM  mengatakan,  perusahaan seharusnya menghormati hak asasi manusia.  Kehidupan masyarakat adat rentan ketika ruang hidup mereka berubah jadi tambang. Mereka hidup bergantung alam. 

“Kalau ada hak masyarakat adat, mereka bisa klaim atas dasar sejarah dan asal usul meski tidak memiliki dokumen hukum (sertifikat) sekalipun,” katanya. 

Sahud melintas di antara tanaman sagu di Pulau Gebe yang rusak akibat tambang nikel. Foto: M. Jaya Barends.

Sama dengan Kampung Umera yang masuk konsesi BPM, Blok Kaf,  merupakan tanah ulayat Kampung Sanof Kacepo masuk dalam konsesi  PT Mineral Jaya Moligana (MJM) seluas 914,50 hektar.  Dalam bahasa Gebe, Sanof atau Sanaf berarti  tombak. 

Hamdala, warga Sanof  mengatakan, wilayah itu mereka sebut El atau Gunung Kaf, yang warga yakini sebagai tempat keramat Kampung Sanof Kacepo. “Goa-goa di Bukit Kaf itu, semua  tempat keramat,” katanya.

Keberadaan manusia di Pulau Gebe sejak zaman purbakala, bersuku Wetef dan Wagiya. Mereka percaya kekuatan supranatural dan mendiami goa-goa, sebelum menyebar ke pesisir pantai karena transisi kebudayaan.

Gebe dalam bahasa Tidore, adalah dua suku kata: ge berarti di situ dan be berarti di mana.  Dalam bahasa Gebe, geb berarti lunas perahu

Sanof Kacepo,  sebagai kampung pertama di Pulau Gebe. Sebaliknya,  dengan Kampung Umera, berusia lebih muda. 

Marga di Kampung Kacepo ini terdiri dari empat kelompok, Umsipiyat, Umsero, Umlatti dan Fapofapo. Tanah ulayat mereka  berbatasan dengan Kampung Umera di Sungai Tuan hingga Tanjung Safa. 

Hamdalah bilang, sejak berstatus desa, batas administrasi wilayah adat mengikuti ketentuan pemerintahan desa. “Sekarang tong (kita) coba perbaiki. Wilayah administrasi desa beda dengan hak ulayat agar setelah tambang  berakhir, bisa kembali ke kampung.” 

Abdulajid Fatah Umsipiat, Tetua Kampung Sanof Kacepo, katakan, ketentuan adat mengikuti sistem adat Sangaji  dari Kesultanan Tidore ke Pulau Gebe. Kala itu, Maba, Wasilei, Bicoli dan Gebe, disebut Gam Ramrange, daerah otonom dari Kesultanan Tidore. 

Sultan Tidore ke-23, Achmad Mansur Sirajuddin Syah yang memerintah pada 1821-1856 mengeluarkan surat mengenai Pulau Gebe tentang hak ulayat. Surat ini tertanggal 6 Rajab 1241 Hijriyah. Gebe dari utara, selatan, timur hingga barat bagian wilayah Kesultanan Tidore. 

Menurut Guru Besar Hukum Adat Universitas Khairun (Unkhair) Ternate, Husen Alting, masyarakat hukum adat memiliki tiga kriteria, yakni masyarakat, wilayah hukum, dan pranata adat. 

“Jadi, ada pranata dan komunitasnya. Dengan begitu, perusahaan seharusnya tidak bisa begitu saja mengabaikan mereka. Istilah di masyarakat adat itu tidak ada tanah yang tidak bertuan,” jelasnya. 

Di Gebe, pranata adat terus tumbuh dan berkembang mengikuti perkembangan zaman. Hal ini terbukti dengan adanya eksistensi Sangaji Gebe dan Sangaji Patani dan Gimelaha (kepala kampung).

Pengerukan nikel di Pulau Gebe berawal dari Indeko Indonesia Development Company pada 1968. Jou Jau (Perdana Menteri) Kesultanan Tidore, H.M Amin Faaroek ikut menyaksikan awal perusahaan itu beroperasi. 

Data Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) menyebut, usai perusahaan asal Jepang itu setop beroperasi, datang PT Aneka Tambang (Antam) pada pada 1978 dan melakukan aktivitasnya hingga 2004. Selama 25 tahun beroperasi, Antam  mengubah bentang alam Pulau Gebe. Kebun-kebun warga yang berisi tanaman  kelapa, cengkih dan sagu tergusur jadi tambang nikel.   

Riset Foshal, Trend Asia dan YLBHI [2024] menyebut, aktivitas tambang Antam sisakan trauma bagi warga. Usai beroperasi, pelayanan air bersih dan listrik yang dulu disediakan Antam, juga berakhir.  Sampai kini, masih ada tujuh  konsesi nikel beroperasi di pulau dengan luas 224 kilometer persegi ini.

Perbukitan di Pulau Gebe yang mulai dibuka untuk tambang nikel. Tampak hutan yang dibabat. Foto: M. Jaya Barends.

Mongabay mengunjungi Pulau Gebe Desember 2024. Saat malam hari, terlihat tongkang mondar-mandir mengangkut ore nikel di perairan. 

Seorang pekerja tambang menyebut, hasil kerukan ore nikel perusahan-perusahaan tambang Pulau Gebe itu di bawa ke  kawasan industri nikel di Halmahera Tengah, PT Indonesia Weda Bay Industrial Park (IWIP). ”Dibawa ke Weda,” katanya.

Dalam tulisan di Project Multatuli juga menyebutkan, kalau sebagian hasil tambang nikel dari Pulau Gebe masuk ke IWIP.

Pengolahan ore nikel  di IWIP oleh PT Halmahera Persada Lygend dan PT Huafei melalui teknologi high pressure acid leaching (HPAL). Perusahaan patungan itu disebut-disebut memiliki kapasitas pengolahan terbesar di dunia. 

Keberadaan IWIP merupakan kelanjutan dari kebijakan hilirisasi nikel dengan dalih untuk meningkatkan nilai tambah. Bijih nikel diolah menjadi mixed hydroxide precipitate (MHP), bahan baku baterai kendaraan listrik.

Sayangnya, hilirisasi justru sarat persoalan di lapangan, seperti  pengabaian hak masyarakat adat, pencemaran, hingga memicu deforestasi, sebagaimana riset Aksi Ekologi dan Emansipasi Rakyat (AEER) tahun 2023

Analisa Forest Watch Indonesia (FWI) mengamini hal itu. FWI sebut, tutupan hutan di Pulau Gebe susut 62,61 hektar dalam kurun 2022-2023 akibat tambang nikel. Selain Gebe, beberapa pulau yang turut dikeruk di antaranya Pulau Fau, Pulau Gee,  Pulau Pakal, Pulau Mabuli dan Pulau Malamala. 

Anggi Putra Yoga, Manager Kampanye, Advokasi, Media Forest Watch Indonesia (FWI),  mengkritik konsesi nikel di pulau-pulau kecil di Malut. Hal itu bertentangan dengan UU 1 tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil (PWP3K). 

Selain melanggar UU, tambang di pulau kecil hanya akan meningkatkan kerentanan. Tidak hanya pulau itu sendiri, tetapi juga penghuni di dalamnya. 

“Perusahaan enak. Saat sumber dayanya habis, mereka tinggal pergi. Masyarakat di dalamnya hanya dapat kesengsaraan karena tak ada lagi yang bisa dimanfaatkan.” 

*****

 *Liputan ini merupakan fellowship transisi energi berkeadilan yang didukung Remotivi dan WRI Indonesia.

Nasib Warga Kala Tambang Nikel Kuasai Pulau Kabaena

Read Entire Article
Apa Kabar Berita | Local|