- King of Borneo (KOB), band lokal Kapuas Hulu, Kalimantan Barat, berkolaborasi dengan rapper ternama Jakarta, Tuan Tigabelas menciptakan Suar, sebuah lagu yang mangadvokasi isu masyarakat adat.
- Surya Indrawan pentolan grup band KOB, menyebut musik ini jadi alat pengingat pentingnya pergerakan sosial, lingkungan dan budaya.
- Muhammad Syaifullah atau Tuan Tigabelas, menjabarkan, perjumpaannya dengan berbagai komunitas adat di Kalimantan menginspirasi Suar. Selain kagum budaya mereka, ia juga terkesan dengan filosofi hidup, spiritualitas, dan keberanian masyarakat adat.
- Trias Fetra Ramadhan, Program Lead Komoditas di MADANI Berkelanjutan, yang turut mengolaboratori semua proyek ini, menerangkan, seni dan budaya memang dapat menjadi pelengkap dalam upaya advokasi.
“Kamu lawan…Aku lawan…Kita lawan…Mereka yang ingin rampas…Tanah kita…Jangan biarkan…Masyarakat adat kehilangan… hak ulayat…Ruang hidup satwa liar terancam…Dan memecah belah keberagaman…”
Demikian lirik di bait pertama lagu berjudul Suar. Karya seni yang King of Borneo (KOB), band lokal Kapuas Hulu, Kalimantan Barat, bawakan, berkolaborasi dengan rapper ternama Jakarta, Tuan Tigabelas.
Bukan sekadar menghibur. Lagu ini mengajak setiap pendengar merenungi setiap petuah bijak nenek moyang leluhur. Tentang pentingnya menjaga keseimbangan dan tanggung jawab terhadap generasi mendatang.
“Musik ini bisa jadi sesuatu yang lebih daripada itu. Tetapi juga sebagai pergerakan sosial, lingkungan dan budaya,” kata Agustinus Surya Indrawan pentolan grup band KOB kepada Mongabay.
Aday, sapaan akrabnya, bercerita, proses penciptaan lagu yang sudah dapat dinikmati di layanan streaming Spotify itu tidaklah mudah dan sebentar. Sebab, bagian liriknya saja tidak pernah purna, sejak dia tulis 2019.
Sementara, bagian aransemen gitar, bass, drum, dan elemen musik lain direkam satu per satu dengan alat serba terbatas dan tempat yang sangat sederhana. Studio musik rumahan, bagian timur Kalimantan.
Project ini rampung setelah Yayasan Madani Berkelanjutan menghubungkan mereka dengan sang Rapper pada 2024. Selama enam bulan, mereka melengkapi komposisi, mixing, dan mastering hingga menghasilkan MP3 dengan kualitas lebih baik di Yogyakarta.
Aday bilang, dari sembilan track yang pernah tercipta untuk KOB hingga kini, mereka kerap mengangkat tema dengan isu lingkungan, termasuk satwa dilindungi. Beberapa singel pernah dia rilis lengkap dengan video klipnya yaitu Tanah Utara, Orangutan, Hutan Rimba, hingga Heart of Borneo.
Orang yang selalu menyisipkan unsur kearifan lokal dalam karyanya ini menceritakan, rencana membawa Suar live. Kalau semua sesuai rencana, kemungkinan mereka mengadakan mini tour di 14 kabupaten/kota di Kalimantan Barat terlebih dahulu, baru ke seluruh provinsi di Kalimantan.
“Jika semesta meridhoi diri, kami pengenlah secara live menampilkan lagu ini, singel ini dengan Tuan Tigabelas,” katanya.

Muhammad Syaifullah atau Tuan Tigabelas, mengatakan, perjumpaan dengan berbagai komunitas adat di Kalimantan menginspirasi Suar. Selain kagum budaya mereka, dia juga terkesan dengan filosofi hidup, spiritualitas, dan keberanian masyarakat adat.
Kehidupan sederhana masyarakat adat sering terganggu kepentingan pihak luar. Kenyataan pahit itu tergambarkan dalam lagu ini.
Suar juga menyisipkan kata-kata dari Apai Janggut dan Apai Remang, dua pejuang lingkungan dari Komunitas Dayak Iban Sungai Utik, yang memberikan ruh pada liriknya.
Upi, sapaan akrab Tuan Tigabelas, berharap lagu ini bisa jadi penyemangat mereka yang berjuang mempertahankan ruang hidupnya, sekaligus peringatan bagi pihak yang sedang, atau berniat, merampas hak-hak masyarakat adat.
Video klip Suar yang berdurasi enam menit sembilan detik tersedia di kanal YouTube Tuan Tigabelas. Sejak dirilis 16 Februari 2025, penonton lebih dari 44.000 orang.
Syuting di tanah leluhur
Produksi video Suar melibatkan Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Kapuas Hulu. Herkulanus Sutomo, Ketua Pelaksana Harian, menyebut, pengambilan gambar di Komunitas Adat Dayak Iban, Dusun Sungai Utik, Desa Batu Lintang, Kecamatan Embaloh Hulu.
Proses syuting memakan waktu sekitar tujuh hari, lima hari di antaranya untuk pengambilan gambar. Tambahnya, musik dan lirik video klip terasa makin relevan dengan kondisi Kapuas Hulu saat ini. Dia menyinggung sedikitnya orang dengan perhatian khusus terhadap keberadaan dan kehidupan masyarakat adat.
“Sangat pas liriknya dengan keadaan kita sekarang yang sedang ingin menggolkan Undang-undang Masyarakat Adat,” katanya.
“Mereka sekarang (komunitas masyarakat adat) dalam posisi yang tidak aman-aman saja.”
Trias Fetra Ramadhan, Program Lead Komoditas di Madami Berkelanjutan, mengatakan, seni dan budaya bisa jadi sarana dalam upaya advokasi.
“Jika kajian dan laporan hanya bisa dibaca kalangan tertentu, lagu bisa didengar oleh siapa saja dan kapan saja. Ini bisa menjadi ruang kolaborasi antara musisi dan seniman, hingga advokasi lebih strategis dan menjangkau publik yang lebih luas.”
Isu perampasan tanah, deforestasi, hingga marginalisasi hak masyarakat adat dari lagu itu tidak hanya untuk satu daerah, juga mencerminkan realitas di banyak tempat di Indonesia.
“Lagu ini juga untuk hak-hak masyarakat adat secara global.”

*****