- Sebuah studi baru menyebut hanya 17% lahan gambut di seluruh dunia yang telah dilindungi. Meski luas kawasan ini hanya 3% luas daratan Bumi, gambut dapat menyimpan lebih banyak karbon dibandingkan semua hutan di dunia.
- Ada sekitar 15% dari lahan gambut di dunia yang saat ini telah dikeringkan untuk pertanian, dan sekitar 10% lagi telah terdegradasi.
- Kebakaran gambut di Indonesia telah menyebabkan kasus asma parah terjadi pada 635.000 anak dan ribuan kasus rawat inap.
- Komitmen negara-negara menjadi penting dalam mengimplementasikan strategi dan rencana aksi keanekaragaman hayati dan perlindungan kawasan gambut mereka.
Lahan gambut di seluruh dunia menyimpan lebih banyak karbon dibandingkan semua tipe hutan di dunia, namun ironisnya proporsi lahan gambut yang dilindungi secara global jauh lebih rendah dibandingkan ekosistem lainnya. Sebagai perbandingan, kawasan lindung hutan tropis mencakup 38%, dan hutan mangrove adalah 42% dari total luasannya.
Studi pemetaan yang terbit pada 12 Februari 2025 di jurnal Conservation Letters, ternyata hanya 17% lahan gambut yang berada di kawasan lindung. Penulis utama studi ini, Kemen Austin, Direktur Sains Program Hutan dan Perubahan Iklim di Wildlife Conservation Society, menyebut keterkejutannya saat menemukan angka yang begitu rendah tersebut.
“Padahal ini adalah salah satu ekosistem terpenting di dunia,” ungkapnya.
Lahan gambut sendiri tersebar luas dari lintang utara hingga zona beriklim sedang dan tropis khatulistiwa, meski hanya mencakup 3% dari daratan dunia. Selain penting sebagai penyimpan karbon, lahan gambut berfungsi sebagai rumah bagi tumbuhan dan satwa liar yang unik, juga berperan penting sebagai lokasi berpijah ikan dan kehidupan akuatik lainnya.

Ancaman terhadap Lahan Gambut Dunia
Lahan gambut di Bumi menyimpan 600 miliar metrik ton karbon. Sebagai perbandingan: untuk menyerap CO2 yang setara atmosfer, kita perlu menanam 36 triliun pohon dan menjaganya agar tetap hidup selama 10 tahun.
Gambut berasal dari lapisan tebal, padat, berwarna coklat (mirip tanah) yang berasal dari bahan organik. Selama beberapa abad bahkan milenium, uraian sisa vegetasi ini terkumpul di rawa-rawa, dan mengunci karbon untuk lepas ke atmosfer.
Namun, hal ini hanya bakal dapat terjadi jika gambut tetap basah dan tidak terganggu. Ketika gambut dikeringkan, dan rawa diubah menjadi lahan pertanian atau ketika gambut dibakar, karbon tersebut akan dilepaskan.
Dalam penelitian ini, Austin dan timnya menggunakan pembelajaran mesin (machine learning) bernama Peat-ML yang lalu ditumpangkan (overlaid) dengan serangkaian peta lain untuk memetakan cakupan kawasan lindung, wilayah adat, dan tekanan manusia.
Analisis mengungkapkan bahwa hanya sekitar 25% lahan gambut di zona tropis dan beriklim sedang, serta 11% lahan gambut boreal, yang telah mendapat perlindungan.
Dengan melihat kepadatan populasi dan faktor-faktor lain yang dikumpulkan oleh Indeks Dampak Manusia, peneliti menemukan bahwa hampir setengah dari lahan gambut tropis dan beriklim sedang di dalam kawasan lindung menghadapi tekanan manusia yang sedang atau tinggi.

“Ini pesan yang penting,” kata Adam Hastie, seorang peneliti dan pemimpin kelompok karbon dan lahan basah di Charles University di Republik Ceko, yang tidak terlibat dalam studi ini.
Hastie mencatat bahwa para ilmuwan terkendala tentang luas pasti lahan gambut global, terutama di daerah tropis. Sebagai contoh, lahan gambut tropis terbesar yang diketahui di dunia, yang terletak di Cekungan Kongo (Congo Basin), baru terungkap pada akhir tahun 2010-an.
Untuk memeriksa keakuratan kesimpulan mereka, tim Austin membandingkan temuan mereka dengan peta global cakupan lahan gambut. Secara umum, hasil mereka tetap valid, katanya kepada Mongabay.
“Saya pikir [di masa depan] kita akan melihat banyak peningkatan dalam pemetaan lahan gambut pada skala nasional bahkan subnasional, sehingga negara-negara memiliki inventarisasi ekosistem bernilai sangat tinggi ini,” ujarnya.
Peta baru menunjukkan bahwa lebih dari 25% lahan gambut tumpang tindih dengan wilayah adat, mencakup area sekitar 1,1 juta kilometer persegi. Meski demikian, para peneliti menyebut data ini sebenarnya bisa lebih tinggi karena data wilayah adat kurang tersedia.

Perubahan Lahan Gambut
Austin menekankan pentingnya kualitas perlindungan lahan gambut. Menurutnya tidak semata-mata dari sisi legalitasnya, tetapi juga praktek implementasinya.
“Kita tahu bahwa penetapan kawasan lindung tidak menjamin semua hasil lingkungan dan sosial yang ideal,” katanya.
Berbagai faktor dapat memengaruhi keberhasilan perlindungan lahan gambut, lanjut Austin, seperti apakah komunitas lokal terlibat secara efektif dalam konservasi. Dia pun sebut sebagian besar lahan gambut yang dilindungi kekurangan sumber daya manusia dan dana untuk mencapai tujuan pelestarian.
Terlebih pembiayaan konservasi global juga mengalami pukulan baru-baru ini akibat pemotongan drastis untuk bantuan luar negeri AS yang tidak terduga oleh pemerintahan Trump.
Hastie mengatakan bahwa pengeringan lahan gambut untuk menghasilkan komoditas global seperti minyak sawit (yang telah berlangsung di Indonesia selama beberapa dekade) dapat terjadi di wilayah lain di dunia.
Contohnya, di Cekungan Kongo, lahan gambut Cuvette Centrale yang terbentuk setidaknya selama 10.000 tahun terakhir dan mencakup area seluas Inggris, kemungkinan berada di atas cadangan minyak yang berada di area tumpang tindih antara kawasan lindung gambut dan kawasan blok minyak.
Ada sekitar 15% dari lahan gambut di dunia yang saat ini telah dikeringkan untuk pertanian, dan sekitar 10% lagi telah terdegradasi. Hal ini menyebabkan lahan gambut, yang hanya mencakup 3% dari seluruh daratan, menyumbang sekitar 15% dari total emisi karbon yang dihasilkan akibat perubahan penggunaan lahan.
“Meski ada manfaat besar dalam restorasi lahan gambut namun tidak semua karbon yang terlepas ke atmosfer itu dapat dikembalikan,” kata Austin. Salah satu cara restorasi adalah dengan membasahi ulang gambut.
“Proses pemulihan dan restorasi itu sulit dan lambat,” kata Harrison. “Upaya melindungi lahan gambut dan mencegah gangguan ini harus dilakukan sedari awal.”
Meski demikian, program membasahi kembali lahan gambut dapat menjadi salah satu cara mencegah pelepasan karbon. Sebuah studi baru-baru ini menemukan bahwa di Asia Tenggara, yang menyimpan 40% lahan gambut tropis dunia, pengurangan emisi dari penggunaan lahan hingga setengahnya dapat dilakukan melalui perlindungan lahan gambut dan hutan mangrove di kawasan tersebut.

Dampak Kebakaran Lahan Gambut
Lahan gambut yang mengering akibat gangguan manusia terhadap ekosistem amat rawan terbakar. Dampaknya bisa buruk bagi kesehatan manusia. Sebuah studi menyimpulkan bahwa kebakaran gambut di Indonesia menyebabkan kasus asma parah terjadi pada 635.000 anak dan ribuan kasus rawat inap.
Kebakaran juga merusak lahan gambut. Proses akumulasi gambut terjadi dengan kecepatan sekitar satu milimeter per tahun di daerah tropis, namun, satu hari kebakaran akan menghancurkan sepuluh sentimeter gambut.
“Itu saja setara dengan 100 tahun atau lebih akumulasi gambut yang hilang dalam satu peristiwa kebakaran yang bisa terjadi dalam satu hari,” ungkap Harrison.
Karbon yang hilang dan lepas ke atmosfer akibat kebakaran atau pengeringan menjadi tidak dapat dikembalikan.
“[Ini yang membuat] lahan gambut berpotensi menjadi beban iklim yang sangat besar,” jelas Austin.

Komitmen Pelestarian Lahan Gambut Global
Janji internasional untuk perlindungan, dapat membantu melestarikan lahan gambut. Misalnya, negara-negara yang menandatangani Perjanjian Iklim Paris 2015 berjanji untuk menyusun rencana pengurangan emisi karbon yang dikenal sebagai Nationally Determined Contributions (NDC).
Dokumen NDC setiap negara merinci rencana untuk mengurangi emisi termasuk upaya melestarikan ekosistem yang menyimpan karbon, seperti hutan dan lahan gambut. Namun, baru sedikit negara yang benar-benar mampu memenuhi tenggat waktu Februari 2025 yang baru saja berlalu.
Selain itu, Kerangka Kerja Keanekaragaman Hayati Global Kunming-Montreal 2022 menyerukan negara-negara untuk menyusun rencana konservasi dalam strategi dan rencana aksi keanekaragaman hayati nasional mereka.
“Saya berharap negara-negara kaya akan gambut dapat memulai kebijakan efektif yang mengatur penggunaan lahan gambut di lahan tidak berada di kawasan lindung,” tutup Austin.
Artikel ini dipublikasikan perdana di sini pada tanggal 19 Februari 2025 oleh Mongabay Global. Tulisan ini diterjemahkan oleh Akita Verselita.
Referensi:
Austin, K. G., Elsen, P. R., Coronado, E. N. H., DeGemmis, A., Gallego‐Sala, A. V., Harris, L., … Zarin, D. (2025). Mismatch between global importance of peatlands and the extent of their protection. Conservation Letters, 18(1), e13080. doi:10.1111/conl.13080
Dargie, G. C., Lewis, S. L., Lawson, I. T., Mitchard, E. T., Page, S. E., Bocko, Y. E., & Ifo, S. A. (2017). Age, extent and carbon storage of the central Congo Basin peatland complex. Nature, 542(7639), 86-90. doi:10.1038/nature21048
Harrison, M. E., Wijedasa, L. S., Cole, L. E., Cheyne, S. M., Choiruzzad, S. A., Chua, L., … Page, S. (2020). Tropical peatlands and their conservation are important in the context of COVID-19 and potential future (zoonotic) disease pandemics. PeerJ, 8, e10283. doi:10.7717/peerj.10283
Hastie, A., Householder, J. E., Honorio Coronado, E. N., Hidalgo Pizango, C. G., Herrera, R., Lähteenoja, O., … Lawson, I. T. (2024). A new data-driven map predicts substantial undocumented peatland areas in Amazonia. Environmental Research Letters, 19(9), 094019. doi:10.1088/1748-9326/ad677b
Hein, L., Spadaro, J. V., Ostro, B., Hammer, M., Sumarga, E., Salmayenti, R., … Castañeda, J. (2022). The health impacts of Indonesian peatland fires. Environmental Health, 21(1). doi:10.1186/s12940-022-00872-w
Hidalgo Pizango, C. G., Honorio Coronado, E. N., Del Águila-Pasquel, J., Flores Llampazo, G., De Jong, J., Córdova Oroche, C. J., … Baker, T. R. (2022). Sustainable palm fruit harvesting as a pathway to conserve Amazon peatland forests. Nature Sustainability, 5(6), 479-487. doi:10.1038/s41893-022-00858-z
Sasmito, S. D., Taillardat, P., Adinugroho, W. C., Krisnawati, H., Novita, N., Fatoyinbo, L., … Lupascu, M. (2025). Half of land use carbon emissions in Southeast Asia can be mitigated through peat swamp forest and mangrove conservation and restoration. Nature Communications, 16(1), 740. doi:10.1038/s41467-025-55892-0
Williams, B. A., Venter, O., Allan, J. R., Atkinson, S. C., Rehbein, J. A., Ward, M., … Watson, J. E. (2020). Change in terrestrial human footprint drives continued loss of intact ecosystems. One Earth, 3(3), 371-382. doi:10.1016/j.oneear.2020.08.009
***
Foto utama: lahan gambut di Kalimantan Tengah. Foto: Junaidi Hanfiah/Mongabay Indonesia