Sidang Petani Ijen Vs PTPN Tidak Sesuai Prosedur?

1 week ago 16
  • Persidangan Trio Bondowoso, Ahmad Yudi Purwanto, Jumari, dan Fajariyanto, yang berkonflik dengan Java Coffee Estate (JCE),  garapan PTPN I Regional 5, Kamis (20/3/2025), tidak sesuai prosedur. Pasalnya, Majelis Hakim Pengadilan Negeri Bondowoso justru mendahulukan pemeriksaan terdakwa ketimbang saksi yang meringankan (a de charge).
  • Penasihat hukum trio bondowoso menyebut langkah ini tidak sesuai dengan Kitab Hukum Acara Pidana (KUHAP). Mereka sempat menanyakan dasar perubahan susunan pemeriksaan tersebut, namun Ketua Majelis Hakim hanya menyebut bersandar pada logika hukum.
  • Wahyu Eka Setyawan, Direktur Eksekutif Walhi Jawa Timur, menyebut, dakwaan terhadap trio bondowoso pun tidak berdasar. Pasal 160 KUHP yang digunakan seharusnya delik materiil, bukan formil.
  • Eko Cahyono, Sosiolog Pedesaan, mengatakan, kriminalisasi dan konflik agraria di PTPN menunjukkan beberapa hal. Pertama, dominasi positivisme hukum dan mistisisme hukum dari negara. Seolah-olah, hukum sudah mengandung keadilan dari sononya. Sehingga, menerapkan hukum sama dengan melakukan kebenaran.

Persidangan Trio Bondowoso, Ahmad Yudi Purwanto, Jumari, dan Fajariyanto, terjerat kasus buntut berkonflik dengan Java Coffee Estate (JCE), milik  PTPN I regional 5, berlangsung Kamis (20/3/25). Kuasa hukum warga menilai, persidangan tidak sesuai prosedur. Pasalnya, Majelis Hakim Pengadilan Negeri Bondowoso justru mendahulukan pemeriksaan terdakwa ketimbang saksi yang meringankan (a de charge).

Penasihat hukum Trio Bondowoso menyebut, langkah ini tidak sesuai dengan Kitab Hukum Acara Pidana (KUHAP). Mereka sempat menanyakan dasar perubahan susunan pemeriksaan  itu, namun Ketua Majelis Hakim hanya menyebut bersandar pada logika hukum.

“Tanpa memberikan penjelasan lebih lanjut logika hukum yang dimaksud,” kata M Ramli Himawan, kuasa hukum Trio Bondowoso.

Perubahan urutan ini akan mengubah susunan dan agenda pemeriksaan ahli yang sudah mereka siapkan untuk Trio Bondowoso. Kuasa hukum dan 60 petani Desa Kaligedang, Ijen, Bondowoso, sampai walk out karena hakim ngotot dengan agendanya.

“Sebenarnya ada apa dengan majelis hakim sampai berkeras melakukan pemeriksaan terdakwa terlebih dahulu? Apakah perkara ini pesanan? Wajar asumsi ini muncul karena tidak ada urgensi mendahulukan pemeriksaan terdakwa.”

Lapor ke Mahkamah Agung

Sidang akhirnya ditunda, namun Ramli bilang akan mengadukan ke Badan Pengawas Mahkamah Agung. Kesewenang-wenangan ini, katanya, merupakan preseden buruk.

“Terlebih kepada petani Ijen yang diperlakukan tidak adil lewat kriminalisasi melalui tuduhan murahan yang tidak dapat dipertanggungjawabkan,” katanya.

Wahyu Eka Setyawan, Direktur Eksekutif Walhi Jawa Timur, menyebut, dakwaan terhadap Trio Bondowoso pun tidak berdasar. Pasal 160 KUHP yang mereka gunakan seharusnya delik materiil, bukan formil.

“Artinya, harus ada bukti konkret bahwa tindakan mereka benar-benar menimbulkan kerugian atau tindakan kriminal lain,” katanya saat Mongabay hubingi. 

Kriminalisasi ini, katanya, hanya akan memperburuk ketimpangan agraria dan makin meminggirkan petani kecil. Negara harus hadir melindungi hak-hak warga, bukan malah jadi alat korporasi menekan rakyat.

Dia pun mendesak pemerintah bersikap adil terhadap masyarakat. Konflik antara Trio Bondowoso dengan PTPN I Regional 5 itu bertentangan dengan semangat reforma agraria, mandat Undang-undang Pokok Agraria (UUPA) 5/1960.

Dia juga desak,  pemerintah menghentikan kriminalisasi petani dan menghormati hak mereka atas tanah. Juga, mengevaluasi seluruh HGU dan izin perkebunan yang bermasalah, termasuk milik PTPN.

“Kami juga menuntut reforma agraria sejati tidak hanya jadi slogan, tapi benar-benar memberi kepastian hukum bagi petani dan masyarakat adat yang selama ini terusir dari ruang hidupnya,”

Catatan Walhi Jatim, konflik agraria yang melibatkan PTPN bukan hal baru di provinsi itu. Banyak kasus dengan pola ketimpangan penguasaan lahan serupa. Bukan mereka  selesaikan, lahan  berkonflik justru dapat  hak guna usaha (HGU). 

Dia contohkan, HGU PT Wongsorejo, di Banyuwangi  justru terbit gak guna bangunan (HGB). Padahal, lokasi itu prioritas reforma agraria. Di Desa Pakel, warga menghadapi ketidakadilan serupa akibat penerbitan HGU tanpa partisipasi masyarakat.

“Bahkan setelah HGU perusahaan habis, warga tetap tidak diakui haknya dan malah terancam penggusuran.”

Menurut dia, kasus yang menimpa Wonosobo berat karena melawan PTPN. Hukum pertanahan negara selalu menganut hukum negatif. Sehingga HGU PTPN selalu mereka akui keluar lebih dahulu. Sementara warga hanya bisa memohon kemurahan pemerintah.

Walhi Jatim, katanya, mendorong warga bersolidaritas dan tidak menyerah memperjuangkan hak atas tanah mereka. “Warga harus berorganisasi, menguatkan pengetahuan dan sadar kalau lawan mereka adalah bagian dari negara itu sendiri. Perjuangan agraria bisa puluhan bahkan ratusan tahun.”

Trio Bondowoso dalam persidangan. Foto: Penasihat hukum

Perhatikan sejarah

Eko Cahyono, Sosiolog Pedesaan, mengatakan, kriminalisasi dan konflik agraria di PTPN menunjukkan beberapa hal. Pertama, dominasi positivisme hukum dan mistisisme hukum dari negara.

Seolah-olah, hukum sudah mengandung keadilan dari sononya. Sehingga, menerapkan hukum sama dengan melakukan kebenaran.

“Benarkah hutan negara tak punya masalah dari sisi historis? Dalam banyak studi agraria kehutanan, jelas terlihat konsep hutan negara dipayungi UU 5/1967 dan 41/99 yang disusun sepihak oleh negara.”

Begitupun, katanya,  proses tahapan pembagian fungsi dan kewenangan melalui tata guna hutan kesepakatan (TGHK). “Pernahkah saat itu hak rakyat dan masyarakat adat di dalam dan sekitar hutan dipertimbangkan? Tidak!” 

Klaim hutan negara pun tidak lepas dari kekurangan. Eko bilang, hal ini legal but not legitimate, karena tidak ada legitimasi suara rakyat di sekitarnya. 

Hal itulah yang menjadi akar konflik agraria. Hingga, setiap konflik harus lihat sejarah panjangnya. Tak hanya lima tahun terakhir, karena rakyat yang menggarap di sana bisa sejak puluhan tahun, tetapi tidak negara legalkan.

“Watak pembangunan yang terjadi sekarang lebih ke model korporatokrasi. Negara bersimpuh di pundak korporasi, daripada kepentingan rakyat.”

Kriminalisasi rakyat di dalam kawasan hutan, katanya, menandakan negara hadir dalam wujud antagonis yang tidak berpihak pada rakyat. Negara bernalar proyek pembangunan kehutanan telah melayani kebenaran tujuan pembangunan.

“Pernahkah ditanyakan ke PTPN itu selama ini keuntungannya untuk siapa? Siapa yang paling banyak diuntungkan dan dirugikan dari JCE? Benarkah rakyat yang ada di sekitar hutan terimbas kesejahteraan proyek itu?”

Istilah penyerobotan dan pendudukan tanah negara, lanjutnya, berdasarkan basis argumen ‘negara lebih benar dari rakyat’. Sebab, hutan negara atau hutan politik tidak boleh dihuni manusia. Sehingga hutan harus steril dari manusia.

Jadi, rakyat yang ingin mendapat akses ke sumber  hutan untuk hidup harian malah mereka anggap pengganggu negara. “Pernahkah dibalik, benarkah negara selama ini memenuhi tanggung jawab pemenuhan hak rakyat sekitar hutan dengan serius? Kenapa justru pengelolaan hutan lebih banyak wajah konflik agrarianya?” 

Karena itu, perlu mengoreksi beberapa hal. Pertama, pendekatan hukum positivistik dan sepihak dalam penyelesaian konflik masyarakat di sekitar hutan. Menurut dia, penting untuk mendahulukan musyawarah dan sikap empati pada rakyat kecil sekitar hutan.

Kedua, penyelesaian kasus kriminalisasi yang mengabaikan aspek historis hak atas tanah rakyat sebelum ada klaim hutan negara. 

Ketiga, mengoreksi ukuran pembangunan yang masih dominan pertumbuhan dan GDP. “Pernahkah mau refleksikan tujuan akhir pembangunan termasuk PTPN dengan JCE itu?” 

Tiada demokrasi tanpa reforma agraria.Foto: Irfan Maulana/Mongabay Indonesia

*****

Pertahankan Tanah dari PTPN, 3 Petani Ijen Masuk Bui

Read Entire Article
Apa Kabar Berita | Local|