Reklamasi Hilangkan Mangrove dan Sungai di Batam Berujung Bencana

11 hours ago 4
  • Masyarakat di pesisir Teluk Tering, Batam kembali protes reklamasi PT Batam Puri Mas yang menyebabkan banjir berkepanjangan satu tahun belakangan.  Reklamasi antara lain hilangkan kawasan mangrove,  dan sungai menyempit bahkan ada yang hilang. 
  • Reklamasi tak hanya menyebabkan banjir di pemukiman warga, ruang hidup nelayan juga makin terhimpit. Mereka sudah sulit dapatkan ikan ketika reklamasi menghilangkan hutan mangrove yang menjadi habitat bagi biota laut. 
  • Warga dan nelayan terdampak menempuh jalur hukum dengan cara melaporkan reklamasi ke Polda Kepri, pasalnya pemerintah setempat tidak menggubris keluhan mereka. 
  • Angelius, Direktur PT Batam Mas Puri mengakui reklamasinya telah menyebabkan penyempitan dan pendangkalan sungai hingga memicu banjir. Ia mengklaim kegiatan reklamasi telah mengantongi izin dan berjanji untuk segera mengembalikan alur sungai seperti semula.

Anwar Effendi Dalimunte tak bisa menahan emosi saat menunjukkan alur Sungai Teluk Tering di Pesisir Bengkong, Kota Batam, akhir Februari lalu). Betapa tidak, reklamasi PT Batam Mas Puri (BMP) menyebabkan hutan mangrove hilang, dan alur sungai menyempit hingga memicu banjir parah di permukiman. 

“Sama-sama kita lihat sekarang sungainya dangkal karena reklamasi,” katanya kepada Mongabay di lokasi. Ketua RW 12 Kelurahan Sadai, Kota Batam ini pantas emosi lantaran penyempitan itu telah menyebabkan arus sungai mampet. Akibatnya, banjir parah melanda permukiman. 

Selama 43 tahun tinggal disana, katanya,  belum pernah banjir sebelumnya. Tetapi hari itu, dia dan warga lain harus bersusah payah karena air setinggi dada merendam permukiman mereka.

Akibat penyempitan itu,  katanya, kala hujan lebat,  perumahan di Kelurahan Sadai banjir setinggi dada orang dewasa. Awalnya,  warga kebingungan karena sebelumnya tidak pernah seperti itu. 

“Setelah dapat laporan dari kawan-kawan nelayan, kalau di Muara Sungai Teluk Tering ini terjadi pendangkalan dan penyempitan alur sungai, kami langsung mendatangi lokasi. Selama ini,  kami tidak bisa masuk kawasan ini karena dilarang perusahaan,” katanya. 

Tak hanya Sungai Teluk Tering, beberapa anak sungai di sekitar juga hilang karena reklamasi BMP  itu. Dia memasang tiang bendera untuk menandai bagian alur sungai yang hilang karena reklamasi. “Kami menuntut agar sungai Teluk Tering ini dikembalikan seperti semula, jangan tunggu korban jiwa dulu?” katanya.

Gara-gara penyempitan alur sungai itu, ribuan rumah terdampak  banjir. Tak terhitung berapa perabot rumah tangga dan peralatan elektronik warga yang rusak. Bahkan, warga banyak alami diare, meski banjir sudah surut. 

Romi,  nelayan juga Ketua RW 3 Bengkong Kolam mengatakan  hal serupa. Reklamasi ini sudah berdampak lama kepada nelayan di Pesisir Bengkong. Sebagian dari mereka bahkan harus beralih mencari pekerjaan lain karena sulit dapat ikan. 

“Kalau dampak kepada nelayan sangat dirasakan, karena penimbunan ini sporadis tanah dituang-tuang begitu saja, sehingga terumbu karang Teluk Tering ini mati semua,” katanya.

Selain hasil tangkapan terus turun, nelayan juga terlibat konflik dengan nelayan seberang karena perebutan wilayah tangkapan. “Kami ribut dengan nelayan seberang sana, lokasi sempit, tangkapan susah, kami tidak boleh masuk sana, orang sana juga tidak boleh masuk sini, ini  dampak sosial yang luar biasa.” 

Reklamasi Pesisir Bengkong yang menutup alur sungai Teluk Tering dan menyebabkan banjir setinggi dada Batan. Foto: Yogi Eka Sahputra/Mongabay Indonesia.

Sejak lama

Reklamasi  di pesisir Bengkong  sebenarnya sudah berlangsung lama, sekitar  2002. Oleh perusahaan, kawasan itu  akan jadi  pusat perdagangan dan bisnis. Luas wilayah perairan yang tereklamasi mencapai 321,04 hektar, sebagaimana materi presentasi perusahaan. 

Romi menyebut, jauh sebelum perusahaan memulai reklamasi, wilayah pesisir cukup asri dengan hamparan hutan mangrove  rapat dan menjadi tempat ikan bersarang.  Dia yang menjadi nelayan sejak 1997 mengaku tak perlu mesin perahu untuk mencari ikan. Cukup mendayung ke tengah area mangrove, tiga kilogram udang  sudah bisa mereka dapatkan. 

Tidak dengan sekarang. Alih-alih dapat banyak,   satu kilogram saja susah. “Kami ini nelayan kecil semua, biasa melaut di pinggir, tidak ada melaut jauh, kalau jauh pun akan berebut dengan nelayan lain.”  

Romi katakan, reklamasi  saat ini makin menambah beban para nelayan. Sebelumnya, mereka harus bertahan melawan ombak akibat lalu lalang kapal penyeberangan, kini mereka harus bertahan dengan kondisi laut rusak dampak reklamasi. 

Ada sekitar 70 nelayan menggantungkan hidup dari mencari ikan di pesisir Sungai Teluk Tering ini. Massifnya pembangunan yang tidak memperhatikan keseimbangan ekosistem mengancam masa depan mereka.

Menurut Romi, pemerintah tidak pernah benar-benar memperhatikan kondisi nelayan. Itu terlihat dari kebijakan pembangunan yang kerap mengabaikan kepentingan nelayan.  Nelayan pun  terpinggirkan. 

“Memang ada bantuan, seperti alat tangkap. Tapi bukan itu yang kami butuhkan. Percuma ada bantuan alat tangkap kalau tempat kapal berlabuh dan juga mencari ikan malah terancam. Kalau laut Ocarina sudah direklamasi, tak ada lagi tempat kami melabuhkan kapal,” katanya.

Reklamasi oleh PT Batam Puri Mas di pesisir Teluk Terung, Bengkong, Batam untuk kawasan bisnis dan perdagangan. Foto: Yogi Eka Sahputra/Mongabay Indonesia.

Lapor polisi dan Kementerian Lingkungan 

Masyarakat di Bengkong bukan tanpa perlawanan atas situasi yang mereka hadapi. Pada 2019, mereka melaporkan kasus ini ke Polda Kepri dan instansi terkait. Sampai saat ini, tidak ada kabarnya. Faktanya, reklamasi terus berlangsung  hingga menyebabkan banjir.

“Pada 2019,  kami sudah bersurat ke pusat, 2022 sudah surat juga ke pemerintah daerah, tetapi tidak ada tanggapan sama sekali, sampai saya ajukan RDP (rapat dengar pendapat) Agustus 2022. Sampai saat ini,  tidak kunjung dipanggil. Pasti kecewa, kami ini seperti tidak dianggap sama sekali oleh pemerintah.” kata Romi. 

Dua pekan lalu, warga kembali melayangkan aduan ke Polda Kepri karena dampak dari reklamasi ini sudah begitu parah. Karena itu, dia pun berharap korps Bhayangkara ini bisa meresponsnya. 

Hendrik Hermawan, pendiri Akar Bhumi Indonesia (ABI) mengatakan,  telah membawa persoalan ini ke Kementerian Lingkungan Hidup (KLH). Saat ini, kasus itu  masuk dalam penyelesaian sengketa lingkungan KLH. “Seharusnya,  perusahaan tidak boleh melakukan aktifitas sampai sengketa penyelesaian lingkungan dengan masyarakat selesai,” katanya. 

Lima bulan lalu,  kata Hendrik, ABI bersama Gakkum KLH sudah turun ke lokasi untuk melihat langsung kondisi di lapangan. Hasilnya, ada beberapa temuan terkait indikasi kerusakan karang yang menjadi tempat ikan berkembang biak. 

Dia pun mengapresiasi upaya masyarakat menempuh jalur hukum dengan melaporkan kasus ini ke Polda Kepri. Menurut dia, apa yang warga lakukan ada dalam UU 32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH) yang mengatur ketentuan pidana, perdata dan administrasi. 

Masalah reklamasi ini  menjadi perhatian DPRD Kepri. Setelah  sidak lapangan, DPRD menggelar rapat dengar pendapat,  6 Maret lalu  dengan dihadiri warga terdampak banjir, nelayan,  perusahaan reklamasi, hingga dinas terkait.

Dalam rapat itu, Angelius,  Direktur BMP  mengakui reklamasi telah menyebabkan penyempitan dan pendangkalan sungai hingga memicu banjir. Dia  pun berjanji segera mengembalikan alur sungai seperti semula. 

Dia bilang, sudah mengantongi izin  reklamasi itu. “Kalau soal izin, Amdal dan sebagainya kami sudah ada, tidak mungkin juga kami lakukan reklamasi kalau izin itu tidak ada,” katanya.

Soal izin itu, Mongabay mencoba menanyakannya seusai rapat, tetapi Angelius tak menjawab.

Nelayan melintas di sekitar area reklamasi PT Batam Puri Mas. Selain memicu banjir, relkamasi juga menyebabkan hasil tangkapan ikan menurun. Foto: Yogu Eka Sahputra/Mongabay Indonesia.

Periksa keabsahan izin

Hendri, Kepala Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutan (DLHK) Kepri mengatakan, perusahaan memang  mengantongi izin reklamasi dari Pemerintah Kota  Batam, termasuk izin amdal dari DLH Kota Batam pada 2004. Namun, mereka  akan  memeriksa ulang.

“Kenapa reklamasi menutup sungai, itu perlu kita cek lagi ke lapangan, apakah reklamasi sesuai dokumen izin yang ada,” katanya. 

Hendrik sebut, ketidakjelasan perizinan jadi penyebab kerusakan lingkungan di Batam. “Kalau bicara perizinan reklamasi ini, kita tau perizinan di Batam karut marut, perusahaan melakukan atktivitas penimbunan tanpa izin lingkungan dan komunikasi publik yang memadai.”

Pada akhirnya, kekacauan perizinan itu menyebabkan pesisir Batam dalam status ‘darurat’ karena perusakan yang tidak henti. “Efeknya ya yang rugi nelayan, apalagi ini sampai menyebabkan banjir di darat, ini kesalahan pemerintah yang harus bertanggung jawab dan perusahaan,” katanya. 

Parid Ridwanuddin, aktivis lingkungan juga Bidang Politik Sumber Daya Alam LHKP PP Muhammadiyah  menilai,  reklamasi di Batam masif mempertegas watak pembangunan ekstraktif dan mengabaikan hak-hak masyarakat. Buntutnya, bukan hanya warga, masa depan pulau pun terancam.

“Salah satu penyebab hilangnya tutupan hutan mangrove dengan cepat melalui reklamasi, meskipun selama ini pemerintah mengklaim yang mendorong hilangnya mangrove biasa disebutkan penebangan kayu arang, ujung-ujungnya yang disalahkan masyarakat, tidak pernah disebutkan reklamasi” katanya,  9 Maret lalu. 

Selain di Batam, proyek reklamasi hilangkan mangrove primer setinggi di Kalimantan Timur. Di Semarang, pembangunan jalan tol tanggul laut memicu hilangnya wilayah mangrove. Di Teluk Jakarta, dulu hutan mangrove 1.100 hektar, seiring berjalan waktu  tersisa  25 hektar.

Perlindungan terhadap ekosistem ini dinilai sangat lemah. Para perusak mangrove acapkali hanya kena sanksi administrasi, tanpa hukuman setimpal. “Begitu juga di sisi regulasi mangrove sangat lemah perlindungannya, political will pemerintah sangat lemah, sanksi pembabat mangrove hanya administrasi,” katanya.

Mangrove, katanya,  berperan penting sebagai pagar hidup untuk meredam terjangan ombak yang jadi pemicu abrasi. Karena itu, hilangnya mangrove ancam eksistensi pulau dan penduduk . “Mungkin saja jika proyek-proyek reklamasi terus berlanjut, nelayan Batam akan hilang seperti nelayan di Singapura.”

*****

Akankah Hutan Mangrove Batam Lenyap Demi Industri?

Read Entire Article
Apa Kabar Berita | Local|