- Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) mengamankan sepuluh kapal perikanan yang diduga kuat melakukan kegiatan alih muatan kapal secara ilegal di tengah laut. Kegiatan itu melibatkan sebuah kapal pengangkut yang saat ini masih dalam pengejaran oleh kementerian
- Alih muatan kapal di tengah laut yang dilakukan oleh sepuluh kapal tersebut adalah pelanggaran, karena tidak memiliki dokumen perjanjian dengan kapal pengangkut. Oleh karena itu, kegiatan tersebut adalah ilegal
- Kegiatan tersebut menjadi gambaran bahwa perairan laut yang luas menjadi tempat incaran bagi para pelaku pelanggaran. Terlebih, perairan laut Arafura yang dikenal strategis dan memiliki sumber daya laut yang sangat kaya
- Sayangnya, pengawasan yang dilakukan Pemerintah juga masih sangat lemah di Arafura. Hal itu mengakibatkan masih ada kegiatan ilegal seperti alih muatan kapal atau penangkapan ikan dengan cara ilegal, tidak dilaporkan, dan melanggar aturan (IUUF)
Kekayaan laut di perairan Arafura melimpah hingga kawasan ini terus jadi sasaran para penangkap ikan ilegal (illegal fishing). Sepekan belakangan, Kementerian Kelautan dan Perikanan mengamankan 10 kapal penangkap ikan atas dugaan terlibat alih muat (transhipment) ilegal di tengah laut. Sementara satu kapal angkut masih dalam pengejaran.
Imam Trihatmadja, Direktur Program Destructive Fishing Watch (DFW) Indonesia benarkan marak aktivitas ilegal di perairan Arafura. Arafura yang merupakan bagian dari Wilayah Pengelolaan Perikanan (WPP) 718 mencakup perairan Aru dan Laut Timor di bagian timur.
Sayangnya, pengawasan di kawasan ini juga masih minim. “Dengan sumber daya laut melimpah, sementara pengawasan minim, tentu ini menjadi faktor utama mengapa banyak kegiatan ilegal berlangsung di sana, termasuk transhipment ilegal,” katanya kepada Mongabay.
Dia menilai, upaya pemantauan kapal melalui Vessel Monitoring System (VMS) oleh pemerintah belum optimal karena keterbatasan sumber daya manusia (SDM), armada, atau anggaran. Akibatnya, para pelaku dengan bebas beraktivitas mengeruk sumber daya secara ilegal.
Penyebab berikutnya, kata Imam, pemberian sanksi tidak efektif. Langkah pemerintah cenderung memberikan sanksi administratif belum cukup memberi efek jera kepada para pelaku dan rentan mengulangi perbuatannya.
Selain itu, banyak pelabuhan tak resmi beroperasi juga turut memberi kontribusi. Keberadaan pelabuhan itu menyebabkan kebocoran data yang memicu perikanan ilegal. “Jika terus dibiarkan, sampai kapanpun akan terus terjadi kegiatan ilegal di Arafura,” katanya.

Dalam buruan
Awal Maret, KKP mengamankan 10 kapal perikanan dan sebuah kapal pengangkut (masih dalam perburuan) atas dugaan alih muat ilegal di perairan Arafura. Saat ini, 10 kapal ini berada di Pelabuhan Perikanan Nusantara (PPN) Tual, Maluku guna proses penyidikan lebih lanjut.
Kesepuluh kapal itu adalah KM MJ 98 ukuran 98 gross ton (GT), KM MAS (82 GT), KM HP 3 (153 GT), KM U II (97 GT), KM FN (150 GT), KM SM 8 (96 GT), KM LB (58 GT), KM SM IX (97 GT), KM MJ 8 (59 GT), dan KM BSR (124 GT). Sedangkan satu kapal pengangkut berinisial KM MS 7A, sampai saat ini masih dalam pengejaran.
Imam mengatakan, alih muatan ilegal melibatkan 10 kapal perikanan , kian menegaskan kekayaan laut di perairan Arafura. “Kenapa bisa terus menjadi incaran, karena laut Arafura itu letaknya strategis. Dekat dengan zona laut bebas, sehingga memudahkan aktivitas ilegal,” katanya.
Saat jumlah kapal terus meningkat berkali-lipat di laut Arafura, saat sama pengawasan tak berjalan maksimal karena keterbatasan sumber daya manusia (SDM), sampai armada. Untuk meningkatkan pengawasan, pemerintah perlu mendorong pelibatan Kelompok Masyarakat Pengawas (Pokmaswas). Sekaligus sebagai upaya pemberdayaan masyarakat lokal di sekitar kawasan.
Pemerintah juga perlu memberi sanksi lebih tegas ketimbang hanya sanksi administrasi. Menurut dia, karakteristik laut Arafura sangat luas memerlukan pengelolaan tidak sekedar administrasi melalui perizinan. Tanpa itu, para pelaku pelanggaran di laut Arafura akan terus berlangsung.
Dia bilang, penegakan hukum dengan sanksi tegas, juga penting bagi Indonesia yang sedang menerapkan kebijakan penangkapan ikan terukur (PIT) berbasis kuota di perairan itu. Kebijakan itu konon bisa memberi kesejahteraan bagi semua yang terlibat.
Berdasarkan pengamatan DFW Indonesia, laut Arafura memiliki karakteristik spesifik dari perairan laut lain di Indonesia. Selain luas dan memiliki potensi sumber daya perikanan banyak, pengawasan lemah menjadi salah satu khasnya.
Tak heran, kegiatan ilegal bisa berlangsung dengan mudah. Walaupun, saat sama sudah ada pelaporan dari Pokmaswas yang melihat kegiatan itu. “Pelaporan tersebut kadang tidak dihiraukan sama kementerian di pusat. Apalagi kalau melihat letaknya sangat strategis, dari (samudera) Pasifik bisa langsung memutar ke arena zona laut bebas. Jadi, pengawasan harus lebih diperketat.”

Biasa terjadi
Sihar Sitorus, Juru Kampanye Laut Greenpeace Indonesia katakan, dugaan alih muat ilegal oleh 10 kapal di Arafura sebagai sesuatu yang biasa terjadi. Perairan sana, katanya, memang minim pengawasan karena anggaran dan personel minim. “Kapal pengawas sangat terbatas, tidak cukup untuk mengawasi wilayah yang luas,” katanya kepada Mongabay.
Sihar bilang, pemerintah harus menyusun kerangka kerja jelas untuk menutup ruang illegal fishing di Arafura. Termasuk, mendefinisikan dengan tegas antara kejahatan dan pelanggaran dalam perikanan. Pemerintah harus melaksanakan optimalisasi pelabuhan perikanan dengan cara melakukan inspeksi berbasis resiko menggunakan data historis pelanggaran yang ada. Juga, menerapkan transparansi data agar publikasi data kepemilikan kapal bisa mendukung pengawasan di laut.
“Pengelolaan perikanan lebih baik memerlukan pengawasan terintegrasi dan efisien. Transparansi dan optimalisasi pelabuhan menjadi kunci dalam memerangi penangkapan ikan ilegal,” katanya.
Menurut Sihar, pemerintah harus lebih berani mengelompokkan setiap pelanggaran di laut ke dalam kategori kejahatan, bukan sekadar pelanggaran. Langkah itu. harus beserta sanksi tegas, misal, pidana, ketimbang sekadar administratif.
Kemudian, perlu peningkatan peran pelabuhan, karena kapal-kapal perikanan mengawali perjalanan mereka dari setiap pelabuhan. Saat proses awal itu berlangsung, peran pelabuhan menjadi sangat besar untuk memantau dan mencegah setiap kegiatan bersifat ilegal.
Pupung Nugroho Saksono, Direktur Jenderal Pengawasan Sumber daya Kelautan dan Perikanan (PSDKP) KKP menjelaskan, seluruh kapal kuat dugaan terindikasi melanggar Pasal 27 angka 7 (Pasal 27A ayat (1)) Undang-undang Nomor 6/2023 tentang penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti UU (Perppu) Nomor 2/ 2022 tentang Cipta Kerja.
“Kesepuluh kapal tersebut tidak memiliki dokumen kemitraan dengan KM MS 7A yang diduga sebagai kapal pengangkut hasil tangkapan dari sepuluh kapal ikan itu,” katanya akhir pekan lalu di Jakarta.
Saat pemeriksaan tim Pengawas Perikanan Pangkalan PSDKP Tual, mereka tidak menemukan ikan jenis apapun di seluruh kapal. Diduga kuat, hasil tangkapan ikan sudah beraloh ke kapal pengangkut yang sedang dalam perjalanan ke Jakarta.
Ipung, sapaannya menambahkan, untuk kepentingan pemeriksaan, mereka memanggil nakhoda dan pemilik dari 10 kapal itu. KKP juga terus pelacakan KM MS 7A melalui VMS agar bisa ditemukan posisi akurat terkini.
Lotharia Latif, Direktur Jenderal Perikanan Tangkap KKP pada kesempatan berbeda menyatakan telah membekukan izin 10 kapal penangkap ikan dan kapal pengangkut ikan ini. Menurut dia alih muat oleh kapal-kapal itu termasuk pelanggaran berat karena tidak memiliki dokumen kemitraan.
Terungkapnya transhipment ilegal oleh 10 kapal perikanan dan satu kapal penangkut menambah daftar panjang illegal fishing di Perairan Arafura. Akhir Januari, KKP juga amankan dua kapal perikanan, KM Kusuma 109 dan KM Mahatan Arujaya di perairan setempat.
Berdasar informasi yang Mongabay kumpulkan, kedua kapal dengan bobot 236 dan 250 GT itu merupakan kapal eks asing yang dimiliki PT Samudera Mas Group (SMG). Hasil pemeriksaan oleh petugas PSDKP, kedua kapal tersebut terindikasi memodifikasi alat tangkap dari jaring hela udang menjadi pukat harimau.
Selain alat tangkap yang tidak sesuai, petugas juga menemukan beberapa Awak Kapal Perikanan (AKP) asing di kedua kapal itu. KKP amankan kedua kapal ke Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan (PSDKP) Tual guna penyidikan lebih lanjut.
Pada 2024, KKP mengamankan 240 kapal perikanan terlibat illegal fishing. Dari jumlah itu, 30 merupakan Kapal Ikan Asing (KIA) sedangkan 210, berstatus Kapal Ikan Indonesia (KII) dengan total mencapai Rp3,7 triliun.
*****
Kapal Perikanan Ilegal Diamankan di Laut Arafura, Diduga Terlibat Perdagangan Orang